Islam yang lahir beberapa abad lalu di suatu kota di semenanjung Arab, sekarang sudah masuk ke segala penjuru dunia. Dalam perjalanannya dari kota asal menuju daerah yang dimasuki, tentunya Islam bertemu, bersinggungan, dan bergaul dengan berbagai macam budaya dan peradaban.
Hal ini merupakan sebuah keniscayaan, layaknya orang yang ingin memiliki banyak teman dan relasi, dia harus bergaul dan beradaptasi dengan banyak orang dengan karakter beragam, jika tidak ingin bersentuhan dengan hal asing, diam saja dalam gua.
Maka, menyimpan dan mengeksklusifkan Islam agar tidak bersentuhan dengan banyak hal (yang dianggap mengurangi nilai keislaman oleh sebagian kalangan) sama saja menutup atau paling tidak mempersempit pintu dakwah Islam.
Fakta sejarah pun tidak menganjurkan sikap seperti itu. Prof. Nadirsyah Hossen memberi tamsil lain: Kentucky Fried Chicken (KFC) yang ada di Kentucky, USA tentu berbeda dengan KFC Indonesia, jika di sana disajikan dengan kentang, di Indonesia disajikan bersama nasi, namun menu utamanya sama, ayam goreng.
Saat masuk ke Indonesia dan sekitarnya, otomatis Islam pun beradaptasi dengan budaya setempat. Adaptasi di negeri ini pada saat itu bukanlah hal yang mudah, karena budaya daerah setempat sudah tercampur ajaran kepercayaan lain seperti Hindu.
Kemenangan Islam dalam pertarungan budaya demi memperebutkan tempat di bumi Nusantara ini adalah hasil jerih payah yang tak kenal lelah para pendakwah, dalam waktu yang tak sebentar pula. Di samping keilmuan, tentu kesabaran, ketelatenan, keikhlasan, dan kebijaksanaan menjadi modal pokok para pendakwah Islam di bumi Nusantara kala itu.
Sudah sepantasnya kita bersyukur dan menghormati jasa-jasa para wali tersebut. Langkah yang diambil oleh mereka tentu sudah melalui proses pemikiran yang matang, tidak sepatutnya kita dengan congkaknya merubah tatanan yang sudah sedemikian mapan.
Metode dakwah demikian terbukti efektif menarik banyak massa, seperti yang dicatatkan Kiai Abul Fadhl Senori, Tuban dalam bukunya, “Ahla al-Musamarah”:
فلم يزل السيد رحمة يدعون الناس إلى دين الله تعالى وإلى عبادته حتى أتبعه في الإسلام جميع أهل عمفيل وما حوله وأكثر أهل سوربايا وما ذلك إلا بحسن موعظته وحكمته في الدعوة وحسن خلقه مع الناس وحسن مجادلتهم إياهم
“Sayyid Rahmat (Sunan Ampel) tak henti-hentinya mengajak orang-orang untuk masuk ke agama Allah dan menyembah-Nya, hingga seluruh penduduk Ampel dan mayoritas penduduk Surabaya masuk Islam. Hal tersebut tak lain karena bagusnya nasihat beliau, kebijaksanaan beliau dalam berdakwah, akhlak beliau yang luhur, dan perundingan (adu argumen) yang santun yang beliau lakukan jika diperlukan”
Seperti itulah Islam mula-mula merebak ke penjuru Nusantara, maka bukan sesuatu yang mengejutkan jika karakteristik Islam masyarakat Indonesia cenderung santun dan luwes, di samping juga karena karakteristik penduduknya yang santun dan bersahabat.
Itu merupakan hasil adaptasi Islam dengan kultur Nusantara, hal ini bukan berarti mengubah Islam dari watak orisinilnya, akan tetapi merupakan sebuah perantara agar Islam dapat diterima dengan lapang dada tanpa paksaan oleh penduduk Nusantara. Inilah manifestasi khuluqin hasan yang diperintahkan Nabi
وخالق الناس بخلق حسن
“Dan perlakukanlah manusia dengan akhlak yang baik”
Sayyidina ‘Ali sebagaimana dikutip oleh Syekh Nawawi Banten dalam Mirqat Su’ud al-Tashdiq menjelaskan makna dari kata khuluqin hasanin, menurut beliau akhlak yang baik adalah:
موافقة الناس في كل شيئ ما عدا المعاصي
“Mengikuti (adat) orang-orang dalam segala hal selain kemaksiatan”
Maka, selagi kultur dan budaya Nusantara tidak melanggar rambu-rambu syari’at, hal itu tetap dipertahankan sebagai penghormatan terhadap budaya setempat pelestarian keberagaman yang sudah menjadi sunnatullah (ketetapan Allah).
Jika ada praktik atau ritus budaya yang melanggar rambu-rambu syari’at, langkah yang diambil adalah membersihkan ritus tersebut dari kemaksiatan, bukan menghilangkan praktiknya secara keseluruhan.
Wallahu A’lam.