Tidak semua amal yang dilakukan di dunia itu diterima di sisi Allah. Pernahkah sejenak merenungkan kisah dalam Alquran yang menceritakan penghuni neraka yang ternyata mereka adalah bukan ahli maksiat. Mereka rajin beribadah hingga kelelahan, namun tetap saja berada di kawasan neraka yang dimurkai Allah. Rupanya amal yang dikerjakan tidak serta merta diterima oleh Allah.
Hak veto untuk menjatuhkan putusan atas diterima atau tidaknya suatu amal hanya milik Allah, namun kita bisa melihat tanda-tanda penerimaan amal tersebut dari sekarang. Seperti yang dijelaskan oleh Ibn Atha’illah dalam Al-Hikam:
من وجد ثمرة عمله عاجلاً فهو دليل على وجود القبول اجلا
“Siapa yang merasakan buah amalnya di dunia maka itu bukti bahwa amalnya diterima di akhirat.”
Adapun yang dimaksud dengan “buah amalnya di dunia” adalah kenikmatan dalam beramal. Jika seseorang sudah beramal dengan baik kemudian ia merasakan kenikmatan (bukan merasakan lelah atau tertekan) maka bisa jadi itu pertanda bahwa amalnya di terima di sisi Allah Swt.
Syaikh Zarruq menjelaskan lebih detail lagi dalam Syarah Hikam, bahwa buah dari amal yang nyata itu adalah bisa merasakan kebahagiaan dalam mengarungi kehidupan tanpa dicampuri sebuah rasa sedih dan khawatir. Mengutip dari Q.S. Yunus, ayat 62-64:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63) لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
“Ketahuilah, para wali Allah tidak dihinggapi kekhawatiran dan kesedihan. Mereka yang beriman dan bertakwa akan menerima kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat.”
Buah amal selanjutnya adalah ketenangan hidup yang ditandai dengan keridaan batin dan sifat qana‘ahatas segala pemberian Allah. Semisal seseorang yang sudah beramal dengan baik, namun tetap saja belum beruntung dalam hidupnya. Jika seseorang tersebut bisa menerimanya dengan rida atas takdirnya, bisa jadi ini contoh konkret dari buah amal di dunia.
Selengkapnya, klik di sini