Pro dan kontra pemulangan eks ISIS di Suriah masih menjadi pembahasan di berbagai lini masa media sosial. Salah satu video yang sedang viral saat ini adalah video tentang seorang perempuan asal Indonesia bernama Nada Fedulla. simpatisan ISIS
Nada mengaku diboyong ayahnya untuk tinggal di Suriah dan menjadi pendukung ISIS. Namun, apakah Nada termasuk dari bagian dari pendukung ISIS? Hal ini mungkin perlu parameter lebih jauh, pasalnya banyak sekali diksi atau sebutan untuk orang-orang yang berkaitan dengan ISIS. Kita perlu mengetahui beberapa diksi untuk menyebut orang-orang yang berkaitan dengan ISIS ini.
Pertama, simpatisan. Diksi ini adalah mereka yang bersimpati positif terhadap (propaganda) ISIS. Biasanya karena mereka merasa bahwa ISIS telah mempraktekan syariat. Tapi orang-orang ini tidak pernah memberikan kontribusi apapun terhadap gerakan ISIS. Ketertarikan mereka kepada ISIS hanya pada soal ideologi semata.
Simpatisan ISIS seperti ini jumlahnya terhitung sangat banyak di Indonesia. Mereka susah dijerat hukum, karena tidak ada tindak pidana yang sudah mereka lakukan.
Kedua, pendukung. Mereka adalah orang-orang yang sudah bersimpati dan sudah pernah memberikan bantuan kepada pergerakan ISIS, misalnya dengan memberi sumbangan, baik langsung, ataupun lewat organisasi pengumpul dana yang menyalurkan dananya ke ISIS.
Para pendukung ISIS seperti mereka ini dalam hukum Indonesia sebenarnya bisa dijerat dengan UU 5/2018 tentang tindak pidana terorisme.
Ketiga, anggota ISIS. Diksi ini disematkan kepada orang-orang yang telah bergabung dengan ISIS melalui kelompok-kelompok teror yang berafiliasi ISIS di Indonesia. Mereka ini juga bisa dijerat dengan UU tindak pidana terorisme.
Keempat, deportan ISIS. Nama ini diperuntukkan simpatisan atau pendukung ISIS yang berniat tinggal di wilayah yang (dulunya) dikuasai oleh ISIS, tapi kemudian ditangkap dan dipulangkan dari negara transit. Secara ideologi, bahkan mereka menyetujui ideologi yang dipraktekan oleh ISIS.
Mereka ini bisa dijerat dengan UU atau aturan-aturan tentang pelanggaran keimigrasian, tapi sulit untuk dijerat dengan UU tindak pidana terorisme.
Kelima, returnees. Ini adalah WNI yang berhasil masuk dan tinggal di wilayah yang (dulunya) dikuasai ISIS di Iraq dan Syria. Mereka diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, yaitu kombatan dan non-kombatan.
Kombatan adalah mereka yang ikut kegiatan militer/non-militer ISIS, baik langsung, maupun tidak langsung. Sedangkan non-kombatan adalah orang-orang yang tidak pernah ikut kegiatan apapun selama tinggal di wilayah ISIS.
Bagi returnee yang termasuk kelompok kombatan, bisa dijerat dengan UU tindak pidana terorisme. Tapi bagi yang non-kombatan, agak sulit untuk dijerat dengan UU tindak pidana terorisme, karena mereka tidak melakukan tindak pidana yang bisa diproses dalam UU tindak pidana terorisme.
Dari beberapa kategori di atas, ada beberapa contoh yang bisa membuat kita memahami diksi di atas. Misalnya, keluarga pelaku bom gereja di Surabaya adalah termasuk deportan, begitu juga dengan pelaku BOM di Jolo, Filipina. Mereka tidak sampai tinggal di wilayah yang dikuasai ISIS, karena sebelum sampai di sana, mereka sudah terlebih dahulu dideportasi. Orang-orang deportan seperti mereka, saat kembali ke Indonesia ‘hanya’ diharuskan untuk ikut program deradikalisasi.
Sedangkan keluarga Dhania adalah returnees. Mereka pernah tinggal di dalam wilayah ISIS, kemudian berhasil keluar, dan dipulangkan oleh pemerintah Indonesia.
Di antara semua kategori di atas, manakah yang paling berbahaya? Menurut hemat kami, yang paling tinggi tingkat bahayanya adalah kombatan ISIS. Hal ini jelas karena mereka punya kemampuan militer. Apalagi kalau mereka sudah pernah melakukan tindakan teror saat di Iraq, Syria, atau saat di Indonesia.
Walaupun demikian, deportan juga punya potensi resiko yang cukup tinggi, karena mimpi mereka untuk masuk dan tinggal di daerah ISIS itu belum kesampean. Para deportan ini masih penasaran dan belum ada pembuktian diri. Mereka bisa jadi menyalahkan pemerintah karena menggagalkan impian untuk tinggal di Daulah Islamiyah bentukan ISIS.
Returnees yang non-kombatan sebenarnya punya resiko yang lebih rendah, karena mereka sudah menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan di ISIS yang tidak sama dengan apa yang dijanjikan. Akan tetapi, semakin lama mereka tinggal di ISIS maka penguatan ideologi semakin mengeras itu menjadi meningkat. Namun tentu asesmen terhadap deportan maupun returnees ini menjadi sangat penting, sebagai diagnosa atas keterlibatan mereka. (AN)