Di dalam ilmu Al-Qur’an, kata yang jelas biasanya disebut dengan muhkam. Secara bahasa, kata muhkam berasal dari “hakama-hukm” yang berarti mencegah. Seperti hukum yang berfungsi mencegah terjadinya penganiayaan, begitu juga dengan hakim yang berarti orang yang mencegah. Jadi, muhkam adalah sesuatu tercegah/bebas dari keburukan.
Jika disifatkan pada satu bangunan dengan kata ini, maka bangunan tersebut kokoh, indah, dan tidak mempunyai kekurangan. Jika susunan kalimat tampil dengan indah, benar, baik, dan jelas maknanya maka kalimat tersebut disebut muhkam. Sebagaimana firman-Nya:
.. كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ
“Suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci…” (Q.S. Hud[11]: 1).
Sedangkan kata yang samar biasanya disebut dengan mutasyabih. Secara bahasa, kata mutasyabih berasal dari syabaha yang berarti menyerupai. Syubhah adalah suatu keadaan tentang satu dari dua hal yang tidak dapat dibedakan dengan lainnya karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkret atau abstrak.
Misalnya dua anak kembar, secara sepintas keduanya sama, akan tetapi keduanya berbeda. Sebagaimana firman-Nya:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا
“Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa.” (Q.S. az-Zumar[39]: 23).
Selanjutnya, penjelasan mengenai muhkam dan mutasyabih dijelaskan juga dalam firman-Nya yang lain:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ
“Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (Q.S Ali Imran[3]: 7).
Ayat di atas agaknya mengisyaratkan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang muhkam dan ayat-ayat yang mutasyabih. Atas dasar itulah kemudian para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi tentang muhkam dan mutasyabih, berikut penjelasannya:
Pertama, ahl as-Sunnah berpendapat bahwasanya muhkam atau muhkamat adalah ayat yang bisa dilihat pesannya dengan gamblang atau dengan melalui ta’wil, karena ayat yang di-ta’wil mengandung pengertian lebih dari satu kemungkinan. Sedangkan mutasyabih atau mutasyabihat adalah ayat-ayat yang pengertian pastinya hanya diketahui oleh Allah swt. Misalnya saat datangnya hari kiamat, dan makna huruf-huruf munqatha’ah. Seperti Alif-Laam-Miim, dan lain sebagainya.
Kedua, Ibnu Abbas berpendapat bahwasanya muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung bermacam-macam pengertian.
Ketiga, Subhi Shalih merangkum pendapat ulama dan menyimpulkan bahwasanya muhkam adalah ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang maknanya tidak jelas, dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat.
Keempat, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berpendapat bahwasanya muhkam adalah ayat-ayat yang jelas maknanya yang tidak ada keraguan dan kesamaran di dalamnya. Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung kesamaran arti sehingga orang-orang yang memiliki keraguan akan menempatkan pada hal-hal yang tidak semestinya kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-Nya.
Kelima, Thabathaba’i menyebutkan dua pengertian yang berbeda antara golongan Sunni dan Syi’ah tentang mutasyabih. Menurut Sunni, mutasyabih adalah ayat yang makna lahirnya berbeda dengan yang dimaksud. Sedangkan makna hakikinya yang merupakan ta’wilnya tidak ada yang dapat mengetahui maknanya selain Allah swt. Oleh sebab itu hanya boleh diimani tanpa diamalkan. Menurut Syi’ah hampir sama dengan Sunni, akan tetapi Rasulullah dan Ahlul Bait juga dapat mengetahui makna hakikinya dengan tepat, sehingga tidak hanya diimani akan tetapi juga diamalkan.
Dari berbagai pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa muhkam adalah kata yang dipakai oleh Al-Qur’an untuk menunjuk ayat yang terang makna dan lafadnya yang diletakkan untuk suatu makna yang kuat dan mudah dipahami.
Sedangkan mutasyabih adalah kata yang dipakai oleh Al-Qur’an untuk menunjuk ayat yang bersifat mujmal (global), mu’awwal (yang membutuhkan ta’wil) dan yang musykil (sulit dipahami). Sebab ayat-ayat yang bersifat mujmal membutuhkan perincian, ayat-ayat yang mu’awwal baru diketahui setelah di-ta’wilkan, dan ayat-ayat yang musykil samar maknanya dan sulit untuk dimengerti membutuhkan penjelasan.
Menghadapi berbagai macam pendapat di atas, barangkali tidak keliru jika dikatakan bahwa tujuan dari ayat muhkam dan mutasyabih adalah mengantar setiap muslim untuk berhati-hati ketika menafsirkan ayat Al-Qur’an. Terlebih ayat mutasyabih, seperti halnya ucapan seorang ibu kepada anaknya “di jalan banyak duri” tanpa menyebutkan dimana lokasi duri tersebut. Tujuannya tidak lain adalah agar sang anak berhati-hati dalam setiap langkahnya agar tidak menginjak duri tersebut.
Wallahu A’lam