Sejak diputuskan dalam sidang pleno Munas NU mengenai status non-muslim dalam konteks negara bangsa Indonesia, pro kontra atas keputusan itu terus menyebar. Bahkan, hasil Munas NU itu ditarik ke wilayah politik praktis. Saya misalnya ditanya mengenai status Pak Hasyim, adik Pak Prabowo; apakah dia kafir, non-muslim atau apa? Ini seperti menguji keputusan Munas NU langsung pada kasus riil.
Saya jawab, jika menggunakan parameter aqidah Islam, dia adalah kafir. Dan jenis kafir itu telah tuntas dibahas para ulama ketika menafsirkan Surat al-Kafirun dalam kitab suci al-Qur’an. Namun, penting diketahui bahwa Munas NU kemarin sama sekali tak mendiskusikan jenis kafir aqidah ini.
Yang dibahas dalam Munas NU adalah tentang status Non-Muslim dalam konteks negara bangsa? Apakah mereka bisa disebut kafir dzimmi, mu’ahad, musta’man atau harbi?
Forum Munas NU menyepakati bahwa status Non-Muslim dalam konteks negara & bangsa seperti Indonesia adalah warga negara (muwathin) karena dia tak memenuhi syarat untuk disebut kafir dzimmi, kafir mu’ahad, kafir musta’man apalagi kafir harbi seperti dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.
Kalau jawaban ini tak juga bisa dipahami, maka memang harus ngaji lagi. Sebab, sejauh yang saya pantau, kesalah-pahaman terhadap keputusan Munas NU itu terjadi karena mereka tak mengerti bahwa ada banyak kategori kafir dalam fikih.
Wallahu A’lam.
Sabtu, 2 Maret 2019
Salam, Abdul Moqsith Ghazali