Heran juga apanya yang musti diributin. Patung ini tidak dibangun di alun-alun. Tidak di tengah jalan, tidak di depan masjid. Patung ini dibangun di lingkungan mereka sendiri di dalam klenteng. Tidak mengganggu kepentingan umum. Tidak melanggar aturan. Dan sepengetahuanku, biaya pembuatannya juga dari jamaah Konghucu sendiri tanpa melibatkan pemerintah atau umat lain.
Beberapa waktu yang lalu, aku dan mbak Ienas Tsuroiya sempat mampir ke sana. Iseng aja karena kebetulan kami lapar dan memutuskan makan di warung dekat klenteng. Selesai makan, masih ada waktu longgar, jadi kami bermaksud melihat-lihat klenteng sebentar.
Tidak ada maksud apa-apa masuk ke dalamnya, kecuali cuma penasaran karena konon katanya, klenteng ini terbesar di Asia dan terkenal indah dengan warna merahnya yang menyala.
Buat kami yang suka selfie dan belum mendapat hidayah untuk berhenti, tentu tidak melewatkan kesempatan mengabadikan momen ini. Apalagi pas siang terik, cahaya lagi bagus-bagusnya, ditambah dengan pemandangan cantik dan warna bangunan klenteng yang menarik. Bakal keren nih hasil fotonya. Itu saja yang ada di pikiran kami.
Melihat patung segede gaban, kami juga cuma bilang wow, tinggi banget ya? Udah gitu aja tanpa usil menelisik ke pengurus klenteng, semacam takmir kalo di masjid, yang mendampingi kami. Nggak tau dan nggak mau tau juga, itu dewa apa pahlawan perang. Toh kami tidak menyembahnya.
Bukankah hak mereka membangun apapun di tanah miliknya? Bisa jadi mereka butuh simbol bahwa mereka ada. Apa salahnya sih memberi kesempatan umat lain membanggakan tempat ibadahnya? Sama seperti kita yang bangga mempunyai masjid akbar di mana-mana?
Masak iya keimanan kita berkurang dan akidah kita goyah hanya karena keberadaan patung dewa sesembahan umat lain?
Yang bener saja…