Puncak Hari Raya Idulfitri 1439 H/2018 M telah usai beberapa hari lalu, namun nuansa bermaaf-maafan masih begitu kentara di setiap sendi kehidupan. Baik di rumah, kantor, maupun pusat keramaian. Semuanya memanfaatkan momen Idulfitri sebagai sarana untuk saling meminta dan memberikan maaf, setelah sebulan penuh ditempa di kawah candradimuka melaksanakan puasa di bulan suci Ramadhan.
Berkunjung ke rumah orang yang lebih tua, para kyai, guru, alim ulama, sanak saudara, handai taulan, dan orang yang dihormati menjadi tradisi khas masyarakat Indonesia. Selain mempererat rasa persaudaraan juga sebagai bentuk silaturahim yang mampu membukakan pintu rezeki, memanjangkan umur, dan diampuni dosanya oleh Allah Swt., Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak ada dua orang muslim yang bertemu kemudian bersalaman, kecuali dosanya diampuni oleh Allah Swt. sebelum mereka berpisah.” (HR. Tirmidzi)
Di tengah proses silaturahim tersebut, sudah barang tentu tuan rumah menyediakan aneka hidangan atau kuliner sebagai bentuk memuliakan tamu. Jika menelisik kebiasaan para leluhur Jawa yang tersebar melalui tradisi lisan, penyediaan hidangan khas terilhami dari ajaran para penyebar Islam di tanah Jawa (baca: Walisongo). Walisongo utamanya Sunan Kalijaga menggunakan pendekatan budaya untuk mengislamkan tanah Jawa, di antaranya memberikan wewarah (ajaran) Islam melalui simbol-simbol atau pasemon (perumpamaan).
Salah satunya melalui makna filosofis dari kuliner (dhaharan) yang disajikan masyarakat Jawa saat lebaran atau hari-hari besar tertentu. Setidaknya terdapat tujuh jenis kuliner khas yang sering disajikan. Adapun angka tujuh (pitu) itu sendiri memiliki makna agar kuliner yang dinikmati tersebut mampu memberikan tiga hal yaitu: pitutur (nasehat), pituduh (petunjuk), dan pitulungan (pertolongan). Ketujuh kuliner tersebut yaitu:
Pertama, kupat (ketupat). Kuliner ini biasanya disajikan di hari ketujuh lebaran, sering disebut Syawalan, Kupatan, atau Bodo Kupat (Lebaran Ketupat). Kupat bermakna ngaku lepat (mengakui kesalahan). Artinya manusia adalah tempat salah dan dosa, sehingga mutlak baginya untuk mengakui kesalahan dan dosanya.
Kupat juga sering dimaknai laku papat (tindakan empat) yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran artinya lebar (selesai) dalam menjalani ibadah puasa. Luberan berarti meluber, melimpahnya pahala, sehingga dianjurkan memperbanyak kebaikan.
Leburan berarti lebur atau habis. Artinya saling maaf memaafkan sehingga segala kesalahan yang telah dilakukan menjadi suci lahir dan batin. Laburan artinya putih dan bersih, berasal dari kata labur (kapur). Manusia dianjurkan agar selalu menjaga perilaku dan jangan mengotori hati yang telah suci.
Kedua, apem, berasal dari bahasa Arab ‘afwun yang artinya maaf. Setelah seseorang mengakui kesalahan, maka selanjutnya meminta maaf. Apem sebagai simbol permintaan maaf dan merupakan bentuk mengagungkan asma Allah Al-‘Afuww (Maha Pemaaf).
Ketiga, santen (santan). Terdapat aneka hidangan yang menggunakan santan dalam memasaknya, seperti opor dan aneka sayur pelengkapnya. Santen bermakna ingkang salah nyuwun pangapunten (yang salah meminta maaf) atau sami-sami paring pangapunten (sama-sama memberikan maaf).
Keempat, lepet, maknanya disilep sing rapet (disimpan yang rapat). Maksudnya setelah semua saling meminta dan memberikan maaf, maka hendaknya semua kesalahan yang telah lalu disimpan yang rapat, dilupakan, dan tidak diungkit-ungkit lagi.
Kelima, lontong, maknanya olone dadi kothong (jeleknya menjadi kosong/hilang). Setelah bermaaf-maafan maka semuanya menjadi netral lagi, menjadi kosong-kosong. Kesalahan/keburukannya menjadi hilang.
Keenam, ketan, maknanya ngraketaken ikatan (merekatkan ikatan). Artinya setelah saling mengakui kesalahan, bermaaf-maafan, kesalahan telah bersih maka selanjutnya dianjurkan untuk merekatkan ikatan, yaitu ikatan kekeluargaan dan persaudaraan sesama manusia.
Ketujuh, kolak, berasal dari bahasa Arab Khaliqun (Sang Pencipta). Kolak biasanya berisi umbi-umbian yang tertanam di dalam tanah (pala kependhem), seperti ketela rambat, ketela pohon, dan lainnya. Ini maknanya agar manusia selalu ingat bahwa dirinya pada akhirnya akan kembali ke tanah dan bertanggungjawab atas segala perbuatannya kepada Sang Pencipta, Allah Swt., sehingga memacu dirinya agar senantiasa berbuat kebaikan.
Demikian, betapa melalui kuliner saja Walisongo dengan arif dan bijak mampu menginternalisasi ajaran yang luar biasa, mengkompromikan budaya dengan ajaran Islam. Maka di era kekinian ini, sudah seyogyanya semua elemen umat Islam satu lini dan barisan untuk terus mengkampanyekan dan membumikan ajaran tersebut. Hal tersebut sebagai bentuk aktualisasi kaidah:
المحُاَفَظَةُ عَلَى القَدِيْمِ الصَالِحِ وَالأَخْذُ باِلجَدِيْدِ الأَصْلَحِ
“Memelihara hal-hal lama yang bagus dan mengambil hal-hal baru yang lebih bagus.” Hal ini menjadi sesuatu yang penting agar masyarakat Jawa tidak tercerabut dari ajaran lokal daerahnya (local wisdom), sehingga mampu bertransformasi menjadi wong Islam sing Njawani dan wong Jawa sing Islami. Wallahu a’lam.