Sahabat Abu Hurairah pernah berkisah, ketika kami (para sahabat) sedang duduk bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seorang lelaki dan mengadu kepadanya,
“Duhai utusan Allah, aku telah celaka.”
“Apa yang membuatmu celaka?” Tanya Rasulullah.
“Aku telah menggauli istriku, dan aku sedang berpuasa (Ramadan),” adu lelaki tadi.
“Apa kamu punya budak untuk dibebaskan (sebagai kafarat)?” Rasulullah bertanya dengan tenang. “Tidak,” jawab lelaki itu. Rasulullah bertanya lagi, “Apakah kamu bisa berpuasa dua bulan berturut-turut?” “Tidak,” lelaki itu kembali menjawab. “Kalau memberi makan enam puluh orang miskin, bisa?” Lelaki itu tetap menjawab, “Tidak.”
Rasulullah lalu bangkit, dan tidak lama kemudian ia datang kembali membawa keranjang besar berisi kurma. Rasulullah memberikan sekeranjang kurma kepada lelaki tadi dan berpesan, “Ambil dan bersedekahlah dengan kurma ini.”
Tetapi lelaki tadi protes, “Duhai utusan Allah.. Memangnya di Madinah ini ada seseorang yang lebih berhak menerima sedekah dariku? Demi Allah, di antara bumi Madinah ini tidak ada keluarga yang lebih miskin dari keluargaku.” Lalu Rasulullah tertawa hingga terlihat gigi taringnya. Rasulullah lalu berkata, “Berikanlah kurma ini kepada keluargamu.” (HR. Bukhari: 1834).
Dalam sepanjang sejarah manusia, bisa dimungkinkan tidak ada seorang manusia pun yang memiliki kasih sayang sesempurna Rasulullah Saw (al-Rahmah al-Syamilah). Kasih sayang Rasulullah terhadap manusia terlebih umatnya tidak hanya terbatas pada mereka yang taat saja, melainkan juga pada mereka yang sudah jelas melakukan perbuatan dosa.
Sebagai umat Rasulullah, kita malah seringkali berlaku sebaliknya terhadap saudara kita yang melakukan perbuatan dosa, alih-alih membimbingnya kembali kepada kebaikan dengan kasih sayang, kita seringkali malah mencaci maki dan bahkan memperlakukan dan memandangnya dengan keji. Dan kita juga kerapkali “merasa lebih suci” dari saudara-saudara kita yang melakukan perbuatan dosa.
Jangankan kepada saudara kita yang berbuat dosa, tak disadari kita juga berlaku keji –dan jauh dari yang Rasulullah ajarkan— kepada saudara sesama muslim yang hanya berbeda pendapat dengan kita. Padahal, dalam berbagai kesempatan Rasullah bilang bahwa perbedaan umatnya adalah rahmat.
Dalam kisah di atas, bisa kita bayangkan Rasulullah SAW tidak sama sekali menampakkan kekesalan, kemarahan apalagi kebencian terhadap lelaki yang mengaku telah berbuat dosa di hadapannya, Rasulullah malah menyabutnya dengan penuh kasih sayang dengan harapan lelaki itu tidak akan mengulangi perbuatan dosanya kembali.
Inilah metode dakwah dengan rahmah yang diajarkan Rasulullah kepada kita umatnya, dakwah dengan kasih sayang. Sudah seharusnya kita yang mengaku sebagai umat Rasulullah untuk mengikuti apa yang ia ajarkan. Menebarkan kasih sayang kepada sekalian alam, bukan sama sekali menebar kebencian dan kebohongan.
Akhir-akhir ini di berbagai tempat banyak kita temui saudara sesama Muslim kita yang melakukan tindakan dakwah dengan cara yang berseberangan dengan apa yang Rasulullah ajarkan; dengan intimidasi dan kekerasan. Ironisnya, sebagian kelompok yang mengaku sedang berdakwah atas nama Islam ini, meneguhkan dan mendeklarasikan diri sebagai pengikut ajaran Nabi SAW yang paling murni, paling taat dan paling-paling lainnya, merasa lebih unggul dari selain golongan mereka.
Menggunakan intimidasi dan kekerasan dalam mendakwahkan ajaran Islam yang berisi kasih sayang (rahmah) dan keselamatan (salam) adalah ironi. Tak hanya menyalahi seruan Nabi, model dakwah seperti ini juga sangat bertentangan dengan ayat Alquran QS. An-Nahl ayat 125.
“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan mauidzah hasanah, serta berdialoglah dengan mereka menggunakan cara yang terbaik. Tuhanmu Maha Mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Ia Maha Mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
Di era maraknya politik identitas seperti sekarang ini, kita harus lebih berhati-hati dalam berdakwah, sebab seringkali juga kita temui, panggung-panggung keagamaan yang seharusnya digunakan untuk menebar ajaran Islam, disalahgunakan untuk kepentingan politik praktis untuk kepentingan-kepentingan sementara.
Khutbah-khutbah di masjid yang seharusnya dilaksanakan dengan khidmat dan berisi hikmah serta mauidzah hasanah, malah diisi dengan ceramah yang berisi kampanye sesuai dengan kepentingan-kepentingan politik sang khatib.