Taubah bin Ghar al-Hadhramiy adalah seorang hakim yang pertama kali merintis lembaga wakaf. Ia bertugas pada masa kepemimpinan khalifah Hisyam bin Abdul Malik, yang merupakan bagian dari dinasti kepemimpin Bani Umayyah. Sebagai seorang hakim, Taubah mendapat tugas dari khalifah Hisyam untuk menjadi penengah dalam menyelesaikan berbagai perkara. Ia ditugaskan di Mesir. Melihat kondisi masyarakat Mesir yang ketika itu sangat antusias terhadap instrumen-instrumen ekonomi syariah. Taubah berinisiatif membentuk badan wakaf yang bertugas untuk mengelola administratif hingga kontrol terhadap pelaksanaan wakaf di kota Mesir.
Aktivitas wakaf di kota Mesir yang berkaitan dengan pendaftaran wakaf hingga manajemen pengelolaan wakaf itu sendiri berada pada tanggungjawab lembaga wakaf yang didirikan oleh Taubah. Upaya Taubah ini mendapat respon yang positif dari khalifah Hisyam. Bahkan ia mendukung penuh dengan menyerahkan pengelolaan kewakafan di bawah kewenangan kehakiman. Alhasil, lembaga wakaf pada masa Taubah telah berekspansi hingga ke kota Basrah (ibukota) dan berkembang di era kekhalifahan selanjutnya.
Berawal dari Keberhasilan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Ibarat pepatah ada asap ada api. Maka yang menjadi sebab berdirinya lembaga wakaf pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul malik, tidak lain adalah keberhasilan pemerintahan sebelumnya. Yaitu adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berhasil menjadi pemimpin saat itu. Masa kepemimpinan khalifah Umar yang berlangsung dari 717 – 720 M, telah berhasil dimanfaatkan untuk membangun dan mengembangkan instrumen-instrumen ekonomi syariah. Salah satunya adalah wakaf.
Wakaf pada masa ini digunakan sebagai instrumen pengumpulan harta yang ditampung di Baitul Mal dan kemudian disalurkan kepada masyarakat miskin. Sebenarnya bukan wakafnya yang paling menonjol, akan tetapi pengelolaan Baitul Mal lah yang menjadi kunci keberhasilan pembangunan ekonomi pada masa itu. Saking efektifnya pengelolaan Baitul Mal ini, bahkan dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa sangat sulit untuk menemukan penduduk miskin di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal ini berdasarkan cerita yang dialami oleh Yahya bin Said. Seorang petugas pengumpul zakat pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Saat itu ia ditugaskan untuk memungut dan sekaligus menyalurkan zakat di wilayah Afrika.
Baca juga: Hukum Wakaf Uang
Setelah zakat berhasil terkumpul, Yahya tidak menemukan satu orang miskin pun di wilayah tersebut untuk diberikan zakat. Ia pun kembali dan melaporkan kejadian ini kepada khalifah Umar. Ini adalah bukti betapa suksesnya instrumen-instrumen ekonomi syariah pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz pada masa itu. Instrumen zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf telah berhasil mengangkat derajat masyarakat miskin yang awalnya mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) menjadi muzzaki (orang yang wajib zakat) dan wakif (orang yang wakaf).
Hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat saat itu memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kehidupan akhirat. Sehingga menjadikan masyarakat pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz tidak cinta terhadap harta. Mereka sangat gemar berinfaq, bersedekah, berwakaf dan bezakat dan mempercayakan pengelolaannya kepada Baitul Mal negara. Tradisi positif ini pun terus berlanjut hingga masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik yang berlangsung dari 724 – 743 M.
Kontribusi Wakaf Pada Masa Kepemimpinan Dinasti Umayyah
Kalau kita membahas kontribusi wakaf pada masa awal mula berdirinya lembaga wakaf, tidak afdal jika kita tidak membahasnya dari awal Dinasti Umayyah berkuasa. Walaupun lembaga wakaf baru terbentuk pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik, namun kontribusi wakaf sudah dirasakan sejak kepemimpinan awal dinasti Umayyah. Bahkan jauh sebelum itu, semasa Khulafaur Rasyidin memimpin pun kontribusi wakaf sudah banyak dirasakan oleh umat.
Ekspansi wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas pada masa kekhalifahan dinasti Umayyah, membuat konsep-konsep pembangunan ekonomi ala Islam semakin dikenal oleh masyarakat luas.
Sebagai agama rahmatan lil alamin yang memberikan kedamaian hidup di dunia dan keselamatan di akhirat, Islam menawarkan konsep kehidupan yang berisi solusi atas problematika kehidupan yang langsung dari Allah SWT dan Rasulnya (Muhammad SAW). Konsep-konsep berkehidupan Islam ini kemudian diterima baik oleh masyarakat Eropa yang ketika itu masih hidup dalam masa keterbelakangan (zaman kegelapan). Begitu pun dengan konsep Baitul Mal.
Lembaga perekonomian yang difungsikan untuk menyimpan dan menyalurkan harta dari dan kepada masyarakat ini, dirasa sangat solutif untuk mengatasi kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin yang terjadi di Eropa kala itu. Pengelolaan harta kekayaan negara dan harta-harta sosial dari masyarakat, semua dihimpun di dalam Baitul Mal kemudian disalurkan kepada masyarakat yang berhak menerima.
Salah satu harta kekayaan masyarakat yang dihimpun di dalam Baitul Mal adalah harta wakaf. Pada masa kekhalifahan Islam terutama Dinasti Umayyah, wakaf dijadikan sebagai instrumen pembangunan oleh negara. Wakaf tidak hanya didistribusikan kepada fakir dan miskin saja. Akan tetapi juga digunakan sebagai modal dalam pembangunan sekolah, perpustakaan bahkan hingga menggaji guru dan karyawan serta pembiayaan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.
Selain itu, manfaat wakaf juga diwujudkan dalam bentuk sarana dan prasarana umum yang bisa diambil manfaatnya oleh masyarakat luas. Bahkan di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, manfaat harta wakaf diwujudkan dalam proyek keilmuan seperti penerjemahan buku-buku Yunani kuno. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan harta wakaf pada masa dinasti Umayyah sudah fleksibel dan tidak hanya didistribusikan untuk fakir dan miskin saja (manfaatnya).
Seiring berjalannya waktu dan pergantian era kepemimpinan dari khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada khalifah Hisyam bin Abdul Malik, antusiasme masyarakat semakin tinggi terhadap wakaf. Masyarakat pada masa kekhalifahan Hisyam, banyak yang semakin tertarik untuk berwakaf. Selain dikarenakan bolehnya benda bergerak untuk diwakafkan, alasan lainnya juga dikarenakan semakin besarnya perhatian wakaf oleh pemerintah kala itu. Terutama setelah Taubah bin Ghar al-Hadramiy mendirikan lembaga wakaf dan didukung penuh oleh khalifah Hisyam.
Baca juga: Menyaksikan Debat, Ini yang Dilakukan Rasul SAW!
Pendirian lembaga wakaf ini, menempatkan instrumen wakaf pada perhatian khusus daripada infaq, shodaqoh dan zakat yang sama-sama terkumpul di Baitul Mal. Sehingga pengelolaan wakaf menjadi semakin terbuka dan dapat berkontribusi banyak terhadap program-program pembangunan.
Kondisi ini (kontribusi terhadap pembangunan) mungkin tidak akan tercapai jika saat itu khalifah Hisyam tidak mendukung langkah Taubah dalam mendirikan lembaga wakaf. Yang akan terjadi jika khalifah Hisyam tidak mendukung, mungkin hingga sekarang kita tidak akan mengenal lembaga wakaf selain yang ada di Baitul Mal. Lembaga wakaf hanya akan terkenang dalam sejarahnya dan terletak di Mesir (724-743 M), yaitu wilayah kekuasaan kehakiman Taubah dan tidak berkespansi ke kota Basrah yang berada di bawah departemen kehakiman pusat. Karena lembaga wakaf di kota Basrah merupakan jalan pembuka untuk lembaga wakaf di seluruh negeri Islam saat itu dan hingga sekarang. Keberadaan lembaga wakaf di kota Basrah pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik kala itu berkembang dan diteruskan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dengan membentuk Shadr al-Wuquuf yang bertugas mengurusi masalah administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. (AN)
Sumber bacaan:
Departemen Agama RI. (2003). Fiqh Waqaf (Pertama). Tim Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas Islam dan Haji.
Hadi, S. (2015). Perkembangan Wakaf Dari Tradisi Menuju Regulasi. Jurnal Zakat Dan Wakaf, 2(1), 24–39.
Kadenun, H. (2015). Sejarah perwakafan di timur tengah dan indonesia. Al-Adabiya, 10(2).
Nawawi, M. A. (2013). Pengembangan Wakaf Uang Tunai Sebagai Sistem Pemeberdayaan Umat Dalam Pandangan Ulama Konvensional Dan Kontemporer M. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.