Ada peristiwa ironis yang terjadi di akhir pemerintahan Sayyidina Usman. Sebagai salah satu orang dekat Kanjeng Nabi bahkan salah satu menantu Kanjeng Nabi, Usman meninggal dalam keadaan yang mengenaskan. Beliau dibunuh oleh umat Islam yang tak suka dengan caranya memerintah. Harapannya, dengan terbunuhnya Usman, khalifah penggantinya bisa memperbaiki pemerintahan.
Masa Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Usman membawa warisan konflik tersebut. Umat Islam sebenarnya berharap agar konflik di masa Usman selesai di tangan khalifah baru. Namun harapan umat Islam keliru. Justru pada masa khalifah Ali bin Abi Talib diwarnai banyak konflik antar para sabahat.
Tentu saja konflik tersebut tidak terlepas dari pertikaian antar para sahabat yang terjadi pada masa kekhalifahan sebelumnya. Sebab para umat Islam sejak kepemimpinan Usman telah menjadi beberapa kelompok. Tidak berlebihan jika kelompok ini disebut sebgai kelompok politik sebab gerakannya memang berkaitan dengan kebijakan politik dan kekuasaan.
Ironisnya setiap kelompok politik tersebut merasa berhak menjadi penguasa. Mereka merasa paling berhak menjadi pemimpin, sedangkan kelompok lain tidak layak memimpin. Agaknya suasana seperti ini tidaklah sulit dibayangkan jika melihat kondisi perpolitikan di Indonesia akhir-akhir ini. Bisa dilihat bagaimana capres, cawapres dan pendukungnya merasa bahwa kelompoknya lah yang berhak menguasai Indonesia.
Lalu mengapa perebutan kekuasaan bisa terjadi pula di masa khalifah Rasulullah yang disebut sebagai umat terbaik? Jika umat terbaik saja tidak terlepas dari peperangan, bagaimana dengan nasib umat hari ini? adakah pertikaian antar umat Islam merupakan sunnatullah? Wallahu a’lam.
Faktor Penyebab Konflik
Sebagaimana yang telah disebutkan, Sayyiduna Ali mewarisi konflik yang justru semakin runcing di masa Ali. Bagaimana kronologinya?
Pertama, kelompok yang melakukan demontrasi khalifah Usman bin Affan ikut membai’at Ali bin Abi Thalib. Termasuk orang yang membunuh Usman dan provokator demonstrasi. Mereka memikul tanggung jawab kericuhan dan kekacauan tersebut. Oleh sebab itu keikutsertaan mereka dalam pemilihan khalifah menyebabkan terjadinya kekacauan besar.
Pada saat yang sama, para sahabat Nabi yang senior juga ikut dalam proses pembaiatan. Tujuannya agar para pemberontak yang telah membunuh Usman dapat ditangkap dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun kondisinya tidak memungkinkan sehingga para demonstran Usman pun ikut dalam membaiat Sayyiduna Ali. Sehingga ada dua kelompok yang punya kepentingan yang berbeda di bawah kepemimpinan Ali.
Kedua, sikap netral para sahabat senior dalam pembai’atan kepada Ali. Sikap netral itu memang menurut mereka merupakan niat baik dengan tujuan mencegah timbulnya fitnah, tetapi ternyata berakibat fatal karena menimbulkan fitnah baru. Para sahabat Nabi itu adalah tokoh yang paling berpengaruh, berwibawa dan menjadi panutan sebagian besar umat Islam. Ribuan orang menaruh kepercayaan kepada mereka. Karena itu sikap netral dan memisahkan diri dari Ali telah menimbulkan keraguan di hati orang banyak pada saat umat harus bersatu dan membantu memulihkan suasana bersama Ali untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan. Namun hal itu tidak terjadi.
Ketiga, munculnya tuntutan terhadap pelaku pembunuhan Usman bin Affan oleh kelompok Aisyah, Thalhah dan Zubair di satu sisi dan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sofyan di pihak lain. Tuntutan ini bukanlah hal yang sepele. Sebab bagi kelompok ini, menuntut keadilan kepada pemerintah Ali dianggap sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.
Karena kondisi Ali yang tidak memungkingkan untuk mengamini tuntutan, maka terjadilah perang yang menyulut antar kelompok. Seperti kelompok pemerintahan Ali yang dilawan oleh kelompok Aisyah dan Zubair. Lalu dilanjutkan dengan perlawanan Muawiyah terhadap Sayyiduna Ali.
Karena masing-masing kelompok memiliki pengikut setia, pengaruh dan dana untuk memberontak. Mereka pun berani berperang melawan pemerintahan Ali. Setiap kelompok memiliki dalil sendiri sehingga tindakannya dianggap sebagai suatu kebenaran dan yang dilawannya memang layak untuk disalahkan.
Perang pun tak dapat dihindari. Jika hari ini perbedaan pandangan dalam politik hanya berujung pada saling menghina yang boleh jadi berlanjut di meja hijau, maka dulu orang Islam jika bertikai bisa sampai pada peperangan. Tak peduli meski harus menghilangkan ribuan nyawa orang. Betapa peristiwa ini menjadi preseden buruk bagi politik umat Islam yang baru saja dibangun sejak zaman Rasulullah.
Itulah tiga benih kericuhan yang ada ketika Sayyidina Ali memulai jabatan khalifahnya. Selanjutnya perang demi perang antar umat Islam tak kunjung usai. Barangkali sampai sekarang. Sejarah kelam ini semoga bisa menjadi teladan bagi kita bahwa politik kekuasaan merupakan penyebab perpecahan. Jangankan kita yang hidup jauh dari masa Kanjeng Nabi Muhammad, para sahabat Nabi saja tidak terlepas dari konflik dan perpecahan akibat rebutan politik. Mengapa mereka rela sampai menumpahkan darah? Karena masing-masing pihak merasa paling benar dan yang lain salah. Naudzubillah.
Wallahu a’lam.