Kemarin saya sempat melihat sebuah posting album foto di beranda facebook. Album foto tersebut berisi wajah-wajah beberapa Ustadz berusia cukup muda yang akhir-akhir ini memang sedang naik daun pada saluran tv “Islam” berlangganan. Saya tak ingin menyebut nama, hanya, ciri fisik yang paling umum tentu sebagian beliau itu berjenggot lebat serta berjidat hitam. Dan tentunya, memiliki gelar akademik “Lc” di belakang namanya.
Gelar “Lc” memang menjadi marak sekali akhir-akhir ini. Ia bagai sertifikasi halal yang diterbitkan oleh MUI, seakan jika memiliki gelar tersebut ia pun boleh LC alias “Langsung Ceramah”. Padahal, gelar Lc merupakan gelar akademik biasa yang umumnya setara tingkat Strata Satu yang diterbitkan oleh Universitas di Timur Tengah, termasuk juga LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta. Bidang ilmu yang dipelajari belum tentu Maqashid Syariah atau Bhalagoh. Ia juga berasal dari Bahasa Inggris License, bukan Bahasa Arab. Kebanyakan negara Timur Tengah merupakan bekas jajahan Inggris, bukan?
Saya tidak memiliki masalah dengan wajah-wajah pada album tersebut, namun keterangan tambahan yang tentunya ditulis oleh pengikut mereka itu sedikit membuat saya berpikir. Seperti ini kira-kira keterangan tersebut:
“Inilah wajah-wajah Ustadz hafizahullahuma yang mengajak kita tidak ingkar sunnah. Pemahaman Islam para hafizahullahuma yang nyunnah dan sesuai dengan petunjuk para salafussalih inilah yang insyaAllah akan mengantar kita ke Surga…”
Saya juga meluangkan waktu untuk membaca kolom komentar dari para pengikut Para Ustadz ini. Dari observasi singkat itu, ditambah dengan mengunjungi halaman Fanpage Ustadz terkait dan menilik kembali pertanyaan yang diajukan oleh para pengikut –yang kebanyakan adalah masyarakat urban perkotaan—juga mengamati materi-materi pengajian yang disampaikan dengan metode ceramah dan bersifat searah (jarang terjadi dialog), berikut adalah beberapa kata kunci yang ingin saya diskusikan:
1). Hafidz
Para ulama besar, mufti, serta ahli ijtihad, mereka adalah para penghafal Al-Qur’an, sebab secara nalar logis, tanpa menghafal Al Qur’an, tentu otoritas mereka akan dipertanyakan. Meskipun begitu, hukum menghafal Al Qur’an adalah Fardhu Kifayah, artinya, jika seseorang dalam sebuah wilayah telah melakukannya, maka gugurlah kewajiban orang lainnya.
Perkara penting untuk kita bahas juga adalah fenomena istilah ini. Kurang lebih lima tahunan ini, aktivitas menghafal Al Qur’an dan istilah hafidz pun telah berkecimpung dalam politik budaya layar alias menjadi komoditi televisi. Dengan konsep tontonan yang dicitrakan sejuk, Islami, dan edukatif, para orang tua di rumah yang menonton televisi pasti sempat bercita-cita agar anak-anaknya dapat meniru para kontestan calon hafidz tersebut. Namun, motif apa yang merupakan lapis kedua dari cita-cita tersebut?
Hidup adalah perjalanan panjang untuk menemukan makna diri sebagai hamba. Komodifikasi istilah hafidz, sayangnya, menjadikannya ekslusif, lengkap dengan simbol-simbol artifisial tertentu. Padahal, di pondok-pondok pesantren salaf tradisional, sejak ratusan tahun lalu, melahirkan hafidz merupakan peristiwa yang biasa saja. Para santri menjadikan hafalan Al Qur’an bukan sebagai beban, sebab mereka mengakrabi Al Qur’an secara integral setiap hari, beriringan dengan kajian kitab dan laku ibadah serta berkecimpung di tengah kehidupan masyarakat pedesaan.
Setelah menjadi hafidz, mereka pun tidak menyematkan hal tersebut sebagai gelar. Maka jangan heran jika para hafidz jebolan pesantren yang meneruskan studi di UIN atau universitas umum lain, misalnya, justru menyamar sebagai begundal dan bergaul laiknya orang kebanyakan.
Para hafidz jebolan pesantren juga banyak yang pulang kembali ke desa menjadi petani. Penampilan mereka pun lepas dari simbol-simbol, namun merupakan kiai rakyat atau bahkan waliyullah, guru ngaji rendahan, pedagang di pasar, pegawai pemerintah dan sebagainya. Mereka sadar bahwa Al Qur’an sebagai ayat kauliyah pada akhirnya harus berjumpa dengan ayat kauniyah, untuk kemudian diujikan dalam persoalan masyarakat setempat. Itulah sesungguhnya the ultimate goal, yakni menjadi khalifah.
2) Nyunnah
Dari materi pengajian dan riuhnya komentar para pengikut para Ustadz tersebut, arti nyunnah merujuk kepada makna “anti bid’ah”. Nyunnah yang dimaksud sudah barang tentu merupakan perbuatan, ucapan atau peristiwa otentik dari Nabi Muhammad SAW, tanpa boleh dimodifikasi untuk alasan apapun. Segala warisan historis dan kultural yang dilahirkan oleh sejarah kemanusiaan, adalah bid’ah, jika tidak terdapat buktinya dalam tarikh atau risalah.
Maka, jika Ibu-Ibu di Rembang berjuang untuk mendapatkan hak tanah mereka yang dikangkangi para cukong pabrik tambang, hal tersebut sama sekali bukan nyunnah. Apalagi, hampir setiap malam Jum’at dan hari-hari baik tertentu, Ibu-Ibu Rembang melakukan doa bersama dengan membaca tahlil untuk kebaikan tanah mereka. Pokoknya, hal ini tidak ada pada zaman Nabi.
Mereka tidak peduli konteks bahwa mencintai tanah air, menjaga tanah tempat berpijak, dan menjaga kebersamaan hidup bermasyarakat merupakan nilai Sunnah yang luas. Nilai-nilai ini tidak diucap oleh Nabi atau tidak digambarkan dalam risalah secara tersurat, namun tidakkah hal tersebut tersirat dan ada dalam fitrah kemanusiaan kita semua?
Nyunnah juga seringkali menyempit pada hal-hal yang bersifat privat, tidak kontekstual dan dapat dikalkulasi.
3). Salafush salih
Penggunaan kata Salafush salih juga mengalami penyempitan makna dalam diskursus fenomena ini. Salafush salih yang diklaim memiliki otoritas kebenaran terbatas pada Imam Besar yang dianut oleh Para Ustadz lulusan Arab tersebut. Padahal, pendapat seorang Imam Besar tertentu sudah barang tentu menyesuaikan kondisi khas zaman dan masyarakat. Para komentator fanpage bisa jadi tidak memahami hal ini. Mereka tidak terbiasa dengan perspektif, dan menutup mata bahwa Islam memiliki banyak Mujtahid, bersifat lentur, dan oleh karenaya ia dapat menjadi Rahmat bagi alam.
Jamaah Muslimin di barisan ini memiliki kehendak untuk menjadi paling benar dalam beribadah, dan sebaliknya sangat takut jika ibadahnya tidak sesuai dengan tuntunan syariat “yang sesungguhnya”. Komentar-komentar yang ada tak jarang menggunakan kata “sesat”, “tidak sesuai sunnah”, dan sejenisnya. Misalnya, banyak dari mereka yang melontar kalimat, “Islam Nusantara itu sesat. Mengubah hal yang telah final dan disyariatkan Nabi. Memaknai Al Qur’an dan hadist seenak mereka sendiri.” Padahal, tentu kita sama-sama memahami bahwa Islam Nusantara bukanlah sebuah aliran baru dalam Islam atau gelombang jamaah baru dalam berislam.
Islam Nusantara hanyalah sebuah diskursus yang digulirkan oleh Nahdhatul Ulama dalam menyambut Muktamar NU ke 33 tahun lalu. Makna ontologis dan aksiologis dari Islam Nusantara pun ternyata berbeda-beda, sangat debatable, serta memang tidak memiliki keinginan untuk mencari bentuk baku, sebagaimana dibukukan menjadi satu dalam buku berjudul Islam Nusantaraterbitan Mizan, yang ditulis oleh KH Ahmad Mustofa Bisri, KH Yahya Cholil Staquf, Akhmad Sahal, hingga Aziz Anwar Fachrudin.
Bukankah hal ini justru memiliki arti penting, bahwa Nahdhatul Ulama sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia memiliki ijtihad untuk terus menjadi organisasi kultural dengan pemikiran terbuka yang merespon kondisi masyarakat dan masalah yang sesuai zaman? Ikhtiar semacam ini sungguh sejalan dengan sifat sebuah komunal manusia yang bersifat historis dan progresif.
4). Surga
Surga adalah barang ghaib, hak prerogatif Allah. Allah pun berfirman bahwa bukanlah amalan sebanyak apapun yang dapat membuat kita masuk ke SurgaNya, melainkan kasih sayangNya. Sebuah keterangan yang harusnya sungguh membuat kita sadar bahwa masuk surga bukanlah sebuah kompetisi manusia tertentu, jamaah tertentu, maupun bangsa tertentu. Gusti Allah yang Maha Akbar merupakan Tuhan sekalian jagad alam raya, yang kasih sayangNya pun seluas jagad raya serta bumi dan langit. Siapa saja, dengan kasih sayangNya memiliki hak yang sama untuk memperoleh surga.
Satu hal yang saya pribadi pahami, surga tidak terbuat dari mengorbankan bakti kepada orang tua untuk lebih membela kepentingan jamaah pengajian, partai atau tujuan dakwah radikal tertentu. Yang saya pahami, agama selamanya merupakan pakaian privat yang misterius antara saya dengan Gusti Allah SWT, sedang tugas saya di bumi adalah menciptakan keseimbangan bersama makhluk-makhlukNya yang lain, bukan untuk berkompetisi atas nama surga. Allahuma Sholli Ala Sayyidina Muhammad.
Wallahu a’lamu bisshowab. []
Kalis Mardiasih adalah penulis dan penerjemah lepas. Bisa ditemui di @mardiasih