Dinamika studi tafsir Al-Qur’an terus berkembang seiring munculnya berbagai problematika kehidupan. Untuk dapat menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang muncul, maka mufassir membutuhkan metode tertentu yang bertujuan untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan kaidah-kaidah yang ada.
Tentunya, metode yang digunakan oleh mufassir sangatlah beragam, serta tidak bisa terlepas dari kelebihan dan kekurangan. Perbedaan latar belakang sosial mufassir, keilmuan yang dimiliki, serta budaya merupakan beberapa hal yang dapat memberikan keberagaman dalam penafsiran. Maka, menjadi wajar jika dalam kajian tafsir muncul penafsiran sesuai dengan latar belakang yang dimilikinya.
Pertanyaannya kemudian bagaimana metode dalam penafsiran Al-Qur’an yang digunakan oleh para mufassir? Berikut penjelasannya :
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris ditulis dengan method, dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan thariqat dan manhaj, serta dalam KBBI, mengandung arti “cara yang teratur untuk mencapai suatu maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya)”. Jadi, metode adalah salah satu sarana yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Kata “tafsir” berasal dari kata fassara-yufassiru yang berarti menerangkan atau menjelaskan. Tafsir juga berarti al-ibanah (menjelaskan makna yang masih samar), al-kasyf (menyingkap makna yang masih tersembunyi), dan al-izh-har (menampakkan makna yang belum jelas). Jadi, tafsir adalah suatu hasil pemahaman atau penjelasan seorang mufassir terhadap Al-Qur’an.
Metode penafsiran Al-Qur’an dalam hal ini adalah suatu cara yang sistematis dengan menggunakan kacamata tertentu yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an.
Dalam studi tafsir, setidaknya terdapat empat metode yang cukup populer dikalangan mufassir.
Pertama, Metode Tahlili (Analitis)
Metode Tahlili adalah metode tafsir yang ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan mushaf Utsmani dengan penjelasan yang cukup terperinci. Menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari keseluruhan aspeknya, seperti aspek asbab nuzul, aspek munasabah, aspek balaghah, aspek hukum dan lain sebagainya.
Langkah-langkahnya dimulai dari pembahasan kosakata, baik dari sudut makna dan bahasanya maupun dari sudut qira’at dan konteks struktur ayat, kemudian munasabah ayat dan sebab turunnya, sampai pada syarah ayat, baik dengan menggunakan riwayat-riwayat dari Nabi, para sahabat, tabi’in, maupun dengan menggunakan pendapat mufassir sendiri sesuai dengan latar belakang sosial dan budayanya.
Jika dilihat dari segi kecenderungan para mufassir, metode tahlili terbagi menjadi tujuh bagian, yaitu: tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi ar-ra’y, tafsir as-shufi, tafsir al-fiqhi, tafsir al-falsafi, tafsir al-‘ilmi, tafsir al-adabi al-ijtima’i. Adapun penjelasannya sebagaimana berikut :
1. Tafsir bi al ma’tsur adalah penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain, dengan riwayat dari Rasul SAW, dan dengan keterangan para sahabat Rasul SAW. Ada juga yang menambahkan dengan para tabi’in, yakni generasi sesudah sahabat-sahabat Rasul SAW. Misalnya, kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir.
2. Tafsir bi ar-ra’y adalah penafsiran Al-Qur’an berdasarkan pada penalaran. Misalnya, kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil karya al-Baidhawi.
3. Tafsir as-shufi adalah penafsiran Al-Qur’an yang pembahasannya lebih menitikberatkan pada teori-teori sufistik dengan mencari makna batin. Misalnya, kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya at-Tusturi, Haqaiq at-Tafsir karya as-Salami.
4. Tafsir al-fiqhi adalah penafsiran Al-Qur’an yang pembahasannya lebih menitikberatkan pada aspek hukum fikih. Misalnya, kitab Tafsir Ahkam Al-Qur’an karya al-Jashash, Tafsir Jami li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi.
5. Tafsir al-falsafi yaitu penafsiran Al-Qur’an yang dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Misalnya, kitab Tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari.
6. Tafsir al-‘ilmi adalah penafsiran Al-Qur’an yang menggunakan teori-teori ilmiah untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya, kitab al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya Thantawi Jauhari.
7. Tafsir al-adabi al-ijtima’i yaitu penafsiran Al-Qur’an yang cenderung kepada persoalan sosial kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang ada kaitannya dengan perkembangan kebudayaan yang sedang berlangsung. Misalnya, kitab Tafsir al-Manar karya Muhamad Abduh dan Rasyid Ridha.
Menurut M. Quraish Shihab, metode tahlili diibaratkan seperti menyajikan hidangan dalam bentuk “prasmanan”. Para tamu dipersilahkan memilih apa yang dikehendakinya dari aneka hidangan, mengambil sedikit atau banyak. Walaupun demikian, diguga keras masih ada hidangan yang dibutuhkan tamu tetapi tidak terhidang disana. Disisi lain, para tamu pasti akan repot mengambil dan memilih sendiri apa yang dikehendakinya.
Kelebihan dari metode tahlili adalah mempunyai ruang lingkup yang luas dan memuat berbagai ide serta gagasan-gagasan. Sedangkan kekurangannya adalah menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial, melahirkan penafsiran secara subjektif, dan sudah masuk pemikiran israiliyat.
Kedua, Metode Ijmali (Global)
Metode ijmali adalah metode tafsir yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna yang bersifat global dengan menggunakan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Mufassir menghindari uraian yang bertele-tele serta istilah-istilah dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Dalam bahasa lain, mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat yang ditafsirkan.
Menurut M. Quraish Shihab, metode ijmali diibaratkan seperti menyodorkan buah segar yang telah dikupas, dibuang bijinya dan diiris-iris, sehingga siap untuk segera disantap. Misalnya, kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Farid Wajdi.
Kelebihan metode ijmali adalah lebih praktis dan mudah dipahami, bebas dari penafsiran israiliyat, serta akrab dengan bahasa Al-Qur’an. Sedangkan kekurangannya adalah menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial, karena tidak adanya ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.
Ketiga, Metode Muqaran (Komparatif)
Metode Muqaran adalah metode tafsir yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan membandingkan ayat al-Qur’an dengan Hadis, atau pendapat satu tokoh mufassir dengan mufassir lain dalam satu atau beberapa ayat yang ditafsirkan, atau membandingkan Al-Qur’an dengan kitab suci lain. Metode ini lebih bertujuan untuk menganalisis persamaan dan perbedaan dalam penafsiran Al-Qur’an, daripada menganalisis kandungannya.
Kelebihan metode muqaran adalah memberikan wawasan yang relatif lebih luas, karena membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang terkadang kontradiktif. Selain itu, berguna juga bagi yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat. Sedangkan kekurangannya adalah tidak cocok bagi para pemula karena pembahasannya terlalu luas, kurang diandalkan untuk menjawab permasalahan, terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.
Keempat, Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode Maudhu’i adalah metode tafsir yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengambil suatu tema tertentu. Kemudian mengumpulkan ayat-ayat yang terkait dengan tema tersebut, lalu dijelaskan satu persatu dari sisi penafsirannya, dihubungkan antara satu dengan yang lain sehingga membentuk suatu gagasan yang utuh dan komprehensif mengenai pandangan Al-Qur’an terhadap suatu tema yang dikaji.
Langkah-langkahnya dimulai dari penghimpunan ayat-ayat yang setema, kemudian menyusunnya menurut urutan turunnya ayat, serta dengan mempertimbangkan sebab turunnya. Selanjutnya, menjelaskan keterkaitan ayat-ayat tersebut serta memberi komentar dari berbagai aspek (terutama term-term kunci) dengan pertimbangan analisis dan ilmu yang valid sehingga membentuk kesatuan konsep dan memungkinkan untuk menarik kesimpulan. Oleh karenanya, tafsir dengan metode maudhui, pada hakikatnya adalah tafsir ayat dengan ayat.
Menurut M. Quraish Shihab, metode maudhu’i diibaratkan seperti menyajikan hidangan dalam bentuk “nasi kotak”. Di dalam kotak tersebut telah ada sajian yang biasanya menyenangkan. Sudah ada juga air minum dan buah penutup hidangan. Namun demikian, yang disodori kotak tersebut, suka tidak suka harus menerima apa yang telah disodorkan.
Kelebihan metode maudhu’i adalah menjawab tantangan zaman yang ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan, praktis dan sistematis serta dapat menghemat waktu, dinamis sesuai dengan tuntutan zaman, membuat pemahaman menjadi utuh. Sedangkan kekurangannya adalah memenggal ayat yang mengandung permasalahan berbeda, serta membatasi pemahaman ayat.
Wallahu A’lam