Perkara wajib lebih utama dari perkara yang sunnah. Baik itu sholat wajib, puasa wajib dan lain sebagainya lebih afdhal kita kerjakan daripada puasa atau sholat yang sunnah. Akan tetapi dalam beberapa hal, ada perkara sunnah yang lebih afdhal dari perkara yang wajib.
Hal itu disampaikan oleh KH. Hasbiallah Hasyim dalam pengajian kitab Nasaih al-Diniyah pada sabtu (29/09) malam di masjid Al-Mursyid Cipinang Jakarta Timur.
“Yang wajib lebih afdhal ketimbang yang sunnah. Seperti zakat, haji, yang wajib lebih bagus ketimbang yang sunnah. Yang wajib lebih unggul karena perkara fardhu. Tapi ada dalam beberapa hal, yang sunnah lebih bagus ketimbang yang wajib,” ucap pimpinan umum Pondok Pesantren Salafiyyah Al-Arba’in Bojonggede itu.
Salah satu contohnya adalah memberi salam, terang Kiai Hasbi. Status hukum memberi salam adalah sunnah, sedangkan status hukum menjawab salam adalah wajib. Maka memberi salam yang punya status sunnah itu lebih afdhal daripada menjawab salam yang hukumnya wajib. Hal ini dikarenakan kewajiban menjawab salam bisa terwujud dengan datangnya kesunahan memberi salam.
“Beri salam itu sunnah, jawabnya itu wajib, maka memberi salam lebih bagus ketimbang jawabnya. Lebih bagus yang sunnah ketimbang yang wajib. Sebab tidak akan ada kewajiban itu melainkan adanya yang sunnah, akibat memberi salam,” jelasnya.
Contoh berikutnya adalah membebaskan orang yang berhutang pada kita. Menunggu atau memberi jangka waktu pelunasan kepada orang yang berhutang kepada kita mempunyai status hukum wajib. Namun, membebaskan hutang tersebut hukumnya sunnah. Maka dalam hal ini, membebaskan hutang lebih afdhal daripada menunggu pelunasan hutang.
“Duit kita lagi sama orang. Dia minjam karena nggak mampu membayar kebutuhan pribadinya, baik untuk kebutuhan anak, istri dan kebutuhan lainnya. Maka kita tunggu hutang itu (hukumnya) wajib, jangan di uber-uber. Adapun membebaskannya adalah sunnah. Membebaskan lebih bagus ketimbang menunggu,” tutur Kiai Hasbi.
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (البقرة: 280)
“Jika ia (orang yang berhutang) itu dalam keadaan sulit, maka tunggu sampai kapan ia mampu (lapang), jangan di uber-uber. Maka di sini jelas bahwa menunggu itu wajib. Tapi terusan ayatnya, dan bila kamu sedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih bagus buat kamu ketimbang nunggu. Dalam hal ini sunnah lebih bagus ketimbang yang wajib,” sambungnya.
Kiai Hasbi melanjutkan dari penjelasan di atas tentang hutang bahwa dalil itu bukan memberi kelonggaran bagi orang yang berhutang agar ia bisa menunda-nunda pelunasan. Justru dalil tersebut lebih utama diperuntukkan kepada piutang, sehingga piutang lah yang mempunyai wewenang untuk merelakan atau tetap menunggu hutang tersebut. Artinya, orang yang berhutang tetap berusaha untuk melunasi kewajibannya, karena hal itu merupakan tanggungjawab yang harus diselesaikan.
“Ini dalil buat kita yang punya piutang. Adapun yang punya hutang jangan mengharap akan dibebasin. Yang punya hutang tetap wajib bayar, ada usahanya,” tegasnya.
Ia juga menghimbau kepada orang-orang yang berhutang untuk tidak lari dari tanggungjawabnya dalam melunasi hutang. Begitu juga untuk selalu memberikan informasi kepada orang yang dia pinjamkan agar ada komunikasi yang jelas tentang kondisi antara keduanya.
“Kalau punya hutang, cepat bayar. Kalau belum mampu setidaknya ngomong sama dia (piutang), maap nih sampai sekarang ane belum bisa bayar. Jangan diam aja, pura-pura bodoh merasa gak punya hutang. Ngomonglah, supaya orang yang dihutangi itu lega dengan penjelasan kita,” pungkasnya.
Wallahu A’lam.