Ia perempuan muda yang ceria, bersuara serak, dengan tatapan yang menerawang. Saya pertama kali berjumpa dengannya pada Agustus 2020, di salah satu kedai di Kawasan Dago, Bandung..
Perempuan itu—yang saya namai Jinan, datang mengenakan kerudung segi empat berwarna merah muda hingga menutupi dada, kemeja panjang yang menggantung melampaui pinggang, dan rok berbahan jeans. Ia langsung menyapa saya, menjabat tangan dan memperkenalkan diri.
“Maaf, ya, Teh, nunggu lama, tadi angkotnya sering berenti,” katanya sambil duduk.
Kami memesan makan dan minum. Sambil menunggu pesanan, saya memulai percakapan. “Jinan, boleh enggak ceritain pengalaman ibu kamu bekerja?”
Tanpa pikir panjang, Jinan langsung bercerita pengalaman ibunya bekerja, sebelum dan setelah ibunya menikah. Saat bercerita, Jinan menatap ke satu sudut kosong, ia bercerita tanpa melihat wajah saya.
Sebelum menikah, ibunya pernah bekerja di satu penerbit kampus ternama di Bandung. Ibunya juga pernah menjadi penjaga stand bazar buku. Sebelum memutuskan menikah dengan ayahnya, keduanya membuat perjanjian pernikahan. Ibunya ingin tetap bekerja meskipun telah menikah. Ayah Jinan mengiyakan. Setelah menikah, ayahnya tidak mengizinkan ibunya untuk bekerja. Alasannya, Jinan dan adik laki-lakinya masih kecil.
Sekitar tahun 2008, saat Jinan masuk SD, ayahnya mengalami pemutusan hubungan kerja dari PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio (PTN). Indonesia ketika itu mengalami krisis, imbas dari krisis ekonomi global. Agar tehindar dari krisis tersebut, PTN memberhentikan banyak pekerja.
Untuk menambah pemasukan keuangan rumah tangga, ibu Jinan berinisiatif untuk jualan minuman di dekat rumahnya, dan ayahnya melarang. Padahal menurut Jinan, tempat jualannya sering dilewati banyak orang. Peluang pembelinya cukup banyak.
“Aku tuh enggak ngerti maunya Ayah itu apa. Ayah itu gengsi dan malu kalau Ibu kerja, karena seharusnya yang mencari nafkah itu laki-laki bukan perempuan,” tuturnya.
Ayahnya juga tidak mengizinkan ibunya mengikuti kelas profesi rias pengantin, alasannya anak-anak masih kecil. Ibunya ingin mengikuti kelas itu agar punya keterampilan yang dapat menghasilkan uang demi menambah pemasukan keluarga. Ibu Jinan tidak bisa berbuat apa-apa selain mematuhi permintaan suaminya. Ia terpaksa meminta bantuan kepada nenek Jinan untuk membiayai administrasi kelas profesi tersebut.Ayahnya baru mengizinkan ibunya bekerja merias pengantin saat Jinan dan adiknya sudah cukup besar. Syaratnya, ibunya harus menyelesaikan kewajiban mengurus rumah tangga, dan anak-anak harus membantu menyelesaikan pekerjaan itu.
Dengan apa yang terjadi pada keluarganya, konsep laki-laki sebagai pencari nafkah utama keluarga juga diamini oleh Jinan. Dalam beberapa jawabannya, Jinan menuturkan bahwa mencari nafkah adalah kewajiban suami.
Akibatnya, jikaeorang suami tidak mengizinkan istrinya bekerja, istri harus patuh. Setidaknya itulah yang Jinan pahami dari ajaran agama yang selama ini ia serap. Jinan memahami potongan ayat, arrijalu qawwaamuuna ‘alannisaa, bahwa laki-laki adalah pemimpin atas perempuan. Dengan begitu, ayahnya adalah pemimpin bagi Jinan dan ibunya. Setuju atau tidak, Jinan dan ibunya harus patuh pada setiap permintaan ayahnya.
Namun, bukan hanya itu yang mendasari pandangan Jinan. Sejak duduk di bangku SMA, ia pun mendalami pengetahuan agama baru. Tahun 2017, setelah masuk perguruan tinggi di Universitas Islam Negeri, Jinan mengikuti organisasi mahasiswa Keluarga Remaja Islam Salman. Meskipun mengikuti organisasi mahasiswa di kampus yang berbeda, Jinan tetap fokus menjalani aktivitas kuliahnya. Ia juga mengikuti kajian-kajian keagamaan daring dari ustaz-ustaz populer, salah satunya ustaz Adi Hidayat. Ia masih ingat satu ceramah yang disampaikan oleh ustadz Adi Hidayat, perempuan tidak punya kewajiban bekerja. Karenanya, tempat terbaik bagi perempuan adalah di rumah.
baca juga: kisah Asma binti Abu Bakar dan ibunya yang NonMuslim
Pada saat yang sama Jinan bimbang atas pemahaman agamanya. Diatu sisi, Jinan tidak setuju keputusan ayahnya yang melarang ibunya bekerja. Sementara di sisi yang lain, Jinan juga mengiyakan bahwa seorang istri sebaiknya patuh kepada suami, termasuk bila suami melarangnya bekerja.
Ketika Jinan SMA, ayahnya memulai usaha jualan makanan empal gentong di satu pusat perbelanjaan di Bandung. Penghasilan dari jualan empal gentong hanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Ibu Jinan sesekali membantu ayahnya berjualan, begitu juga Jinan dan adiknya. Ibunya sesekali bercerita kepada Jinan bahwa ia tidak bahagia, ayahnya tidak cukup memenuhi apa yang ibunya butuhkan. Jinan pun merasakan hal yang sama. Dengan nada jengkel, suara naik turun, mata membelalak, gerakan mulut yang tidak simpatik.
“Temen-temen aku mah kalau lagi cerita, pengennya teh dapet suami yang kaya ayah mereka. Teu harayang teuing (enggak mau banget) aku mah,” tutur Jinan.
Selain melarang ibu Jinan bekerja, Jinan menilai ayahnya terlalu keras mendidik anak-anaknya. Jinan kehilangan kebebasan untuk menentukan setiap pilihan dan keputusannya. Peluang Jinan untuk bernegosiasi hilang.palagi keberanian untuk melawan setiap keputusan ayahnya. Sepanjang hidupnya, Jinan sudah belajar untuk menahan diri mengutarakan keinginan dan pendapatnya yang berbeda dengan ayahnya.
Setelah lulus, Jinan mempunyai keinginan untuk melanjutkan sekolah ke tingkat strata 2. Namun, dengan kondisi perekonomian keluarganya yang tidak mendukung, Jinan tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kalau dilihat dari segi ekonomi mungkin kerja dulu, tapi jika Allah berkehendak lain untuk lanjut sekolah, alhamdulillah. Kalau misalkan Ayah enggak ngijinin kerja, ya udah mungkin ngebantuin orang tua jualan, atau enggak ya ngapain aja gitu, yang menurut aku lebih bermanfaat,” lirih Jinan.
Betapa Jinan dan ibunya kehilangan kuasa atas diri sendiri. Rumah dan keluarga yang semestinya menjadi ruang aman dan nyaman, tempat mereka bisa mencurahkan semua yang mereka inginkan hilang oleh sikap egois dan gengsi ayahnya. Sikap ini memaksa mereka membenamkan setiap keinginan yang bertentangan dengan keinginan sang ayah. Sebagai kepala keluarga, ayahnya menggenggam otoritas penuh untuk membatalkan setiap keputusan yang akan diambil Jinan dan ibunya.
Dalam keterbatasan ekonomi keluarganya, Jinan hanya mampu menerima dan menjalankan setiap kegiatannya, baik sekolah maupun membantu ayahnya berjualan. Itu satu-satunya cara Jinan dan ibunya bisa tetap bertahan hidup, meskipun dalam kondisi tak berdaya.