Shalat dalam sebuah hadis diibaratkan sebagai tiang agama, artinya orang yang mendirikan shalat berarti ia telah mendirikan agama, begitu pula orang yang meninggalkannya berarti ia merobohkan tiang itu. Dalam sebuah hadis disebutkan:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلَحَتْ , فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ , وَإِنْ فَسَدَتْ , فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ
“Sungguh hal yang pertama dimintai pertanggungjawaban dari seorang hamba kelak di hari kiamat adalah shalat, jika salatnya bagus beruntunglah ia, jika tidak, merugilah ia”
Maka sebagai seorang muslim kita harus memperhatikan betul perihal shalat.
Seseorang mulai berkewajiban salat sejak ia baligh. Maka dia wajib mengganti (qadha’) shalat yang ia tinggalkan setelah baligh.
Namun banyak sekali orang yang kurang memperhatikan shalatnya ketika awal masa baligh, dan baru menyadari kesalahannya tersebut setelah beranjak dewasa. Bahkan ada juga yang baru tahu bahwa shalat yang ditinggalkan wajib diganti. Disengaja atau tidak, shalat yang ditinggalkan tetap diwajibkan untuk menggantinya. Lalu, bagaimana cara men-qadha’-nya?
Dalam hal ini ada tiga pokok pembahasan. Pertama, terkait jumlah shalat yang wajib dia qadha’. Dia wajib men-qadha’ semua shalat yang pernah ia tinggalkan, bagaimana jika lupa jumlahnya? Ia wajib men-qadha’ atau melakukan shalat lagi sebagai pengganti shalat yang ditinggal, hingga ia yakin sudah tidak ada lagi shalat yang belum ia qadha’. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib Al-Arba’ah:
من عليه فوائت لا يدري عددها يجب عليه أن يقضي حتى يتيقن براءة ذمته، عند الشافعية، والحنابلة؛ وقال المالكية، والحنفية: يكفي أن يغلب على ظنه براءة ذمته
“Seseorang yang mempunyai tanggungan salat dan dia tidak tahu jumlahnya, dia wajib meng-qadha’ hingga yakin tanggungannya sudah terpenuhi, ini menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan menurut mazhab Maliki dan Hanafi cukup dengan adanya dugaan kuiat, meski tidak sampai taraf yakin”
Kedua, waktu men-qadha’. Banyak ulama’ yang berpendapat bahwa seseorang yang meninggalkan shalat tanpa udzur tidak boleh melakukan apapun selain meng-qadha’ shalat, ia hanya diperbolehkan melakukan aktifitas lain untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Hal ini sangat berat dilakukan kebanyakan orang. Namun, ada pendapat dari Al-Imam Abdullah Al-Haddad yang bisa dijadikan solusi. Sebagaimana dikutip dalam Bughyah al-Musytarsyidin:
ومن كلام الحبيب القطب عبد الله الحداد : ويلزم التائب أن يقضي ما فرط فيه من الواجبات كالصلاة والصوم والزكاة لا بد له منه ، ويكون على التراخي والاستطاعة من غير تضييق ولا تساهل –إلى أن قال- وهذا كما ترى أولى مما قاله الفقهاء من وجوب صرف جميع وقته للقضاء ، ما عدا ما يحتاجه له ولممونه لما في ذلك من الحرج الشديد
“Sebagian dawuh Al-Habib Abdullah Al-haddad: seseorang yang taubat wajib meng-qadha’ kewajiban shalat, puasa, zakat yang pernah ia tinggalkan. Kewajiban ini dilakukan semampunya. sehingga ia tidak merasa sulit dan keberatan, namun juga tidak boleh sampai menganggap sepele. Pendapat ini -seperti yang anda lihat- lebih utama dari pendapat ulama yang mengatakan tidak boleh melakukan apapun selain men-qadha’ shalat, ia hanya diperbolehkan melakukan aktifitas lain untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Karena sulit diamalkan”
Maka berdasarkan pendapat ini, ia tidak harus menghabiskan seluruh waktunya untuk men-qadha’, ia cukup men-qadha’ semampunya, namun tidak sampai mengangap sepele tanggungan tersebut.
Jika lelah, ia boleh beristirahat dan melanjutkannya ketika sudah segar kembali.
Ketiga, cara men-qadha’. Cara men-qadha’ shalat adalah dengan melakukan shalat seperti biasa, namun ada sedikit perbedaan dalam niat, tergantung shalat apa yang akan di-qadha‘. Contoh niat shalat qadha’ adalah sebagaimana berikut:
أُصَلِّي فَرْضَ الْمَغْرِبِ ثلاث رَكعَاتٍ قَضَاءً لله تَعَالَى
Keempat, waktu men-qadha’ tidak terikat waktu. Men-qadha’ salat ashar dapat dilakukan di waktu dzuhur atau waktu yang lain.
Wallahu Alam.