Setiap individu tentu berharap memiliki kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Dalam mewujudkan impian tersebut diperlukan tata kelola rumah tangga yang baik, teratur, dan terkonsep. Karena kehidupan rumah tangga memang memiliki tantangan tersendiri dalam membangunnya, maka sangat dibutuhkan kerja sama antara pasangan suami istri dalam mengelola rumah tangga demi kebaikan dan kebahagiaan bersama seluruh anggota keluarga. Apabila hal ini tidak dapat terpenuhi, kemungkinan yang akan terjadi yaitu stabilitas rumah tangga akan mengalami gangguan dan dapat mengakibatkan ketidaksinkronan.
Salah satu persoalan yang menjadi elemen utama dalam kegiatan perekonomian keluarga adalah pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan rumah tangga dapat dikatakan sangat penting dalam berlangsungnya kehidupan rumah tangga untuk menjamin kesejahteraan setiap individu dan keluarga dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan, tidak jarang konflik dalam keluarga muncul karena permasalahan ekonomi dan finansial di dalamnya. Terkait hal ini, Islam telah mengatur dan mengajarkan kepada umatnya bagaimana cara mengelola keuangan rumah tangga yang sesuai dengan syariat Islam.
Islam memiliki beberapa pandangan terkait dengan harta benda. Salah satunya yaitu sebagaimana yang tertuang dalam ayat Al-Qur’an berikut:
[الأنفال: 28]{وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ }
“Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” (Q.S An- Anfal: 28).
Dalam ayat ini, Allah memperingatkan kaum Muslimin agar mereka mengetahui bahwa harta dan anak-anak mereka itu adalah sebuah cobaan. Maksudnya adalah bahwa Allah menganugerahkan harta benda kepada mereka sebagai ujian. Apakah harta yang diberikan itu dapat menambah ketakwaannya kepada Allah, mensyukuri nikmat-Nya, serta melaksanakan hak dan kewajiban yang telah Allah tentukan atau malah menjadikannya lalai?
Dalam kehidupan masyarakat, tidak jarang banyak orang yang beranggapan bahwa harta benda merupakan kebanggaan kehidupan dunia. Namun, beberapa kali terlupakan bahwa harta benda itu hanyalah amanah dari Allah yang dititipkan kepada manusia, sehingga kebanyakan orang tertarik kepada harta kekayaan itu dan melupakan hak serta kewajiban yang harus dilaksanakan.
Pasangan suami-istri harus selalu bijak dalam mempergunakan harta yang dimilikinya, dengan menunaikan hak-hak dan kewajiban dari harta tersebut serta mempergunakannya sebagai bentuk ketaqwaannya kepada Allah. Terkait dengan keuangan dan harta, pasangan suami istri memiliki haknya masing-masing yang harus ditunaikan.
Hak istri atas keuangan dan harta terbagi menjadi dua, yakni mahar dan nafkah. Mahar merupakan mas kawin atau harta yang diberikan suami kepada istri dengan penuh kerelaan. Suami pun tidak berhak meminta mahar istrinya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, kecuali jika istri secara ikhlas, ridho dan senang hati menyedekahkan sebagian maharnya untuk suaminya, maka diperbolehkan. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikut,
[النساء: 4]{ وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا }
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (Q.S. An- Nisaa’: 4).
Sedangkan nafkah, sebagaimana fitrahnya kewajiban dalam memberikan nafkah merupakan tanggung jawab seorang suami kepada istri dan keluarganya. Disebutkan dalam ayat,
[النساء: 34] {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ …}
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. …” (Qs. An- Nisaa’:34).
Mengenai makna nafkah, Sayyid Sabiq menjelaskan dalam Fiqh Sunnah bahwa dapat mencukupi segala kebutuhan istri mencakup makanan, tempat tinggal, pelayanan dan obat. Besarnya nafkah yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan suami atau kesepakatan di antara keduanya. Kebutuhan istri dan kebutuhan keluarga merupakan tanggung jawab suami sepenuhnya. Walau demikian, tidak menutup kemungkinan apabila seorang istri juga ikut bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya. Hasil yang diperoleh istri dari bekerja pun merupakan hak istri.
Berdasarkan fatwa ulama, disepakati bahwa dari pendapatan suami terdapat hak istri. Sedangkan pendapatan istri dari pekerjaann yang dilakukannya adalah hak istri sepenuhnya, dan tidak ada hak untuk suaminya sedikitpun. Kecuali jika sang istri dengan ikhlas memberikannya untuk membantu atau menopang keuangan keluarga.
Adapun hak suami atas keuangan dan harta telah dijelaskan dalam Q.S. Al-Qur’an: 34 yang mana kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan). Menurut Sayyid Sabiq, arti dari ayat tersebut menunjukkan bahwa suamilah yang ditunjuk Allah sebagai pemimpin rumah tangga. Artinya suami berhak mengelola keuangannya tanpa harus mempertanggungjawabkannya kepada istri. Tetapi di sisi lain ada yang berpendapat bahwa suami juga dapat memberikan hak sepenuhnya kepada istri untuk mengelola keuangan, namun dengan catatan uang pendapatan suami tetap menjadi hak dan miliki suami. Hal ini dapat disesuaikan dari kesepakatan antara pasangan suami istri dengan saling berkomunikasi dan ridha satu sama lain.
Komunikasi Suami-Istri dan Skala Prioritas
Oleh karena itu, dalam mengelola keuangan rumah tangga ini tentu harus ada komunikasi yang baik antara pasangan suami istri. Keduanya tentu memiliki peran dan tugas dalam mengelola keuangan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, hingga pengontrolan keuangan yang baik. Inti dari pengelolaan keuangan secara Islami adalah pengelolaan dengan menentukan skala prioritas dan anggaran belanja rumah tangga.
Menentukan prioritas dalam hal ini adalah selalu meletakkan sesuatu secara proporsional. Menempatkan sesuatu pada tempatnya, artinya tidak boleh mendahulukan sesuatu yang seharusnya diakhirkan, atau mengakhirkan sesuatu yang seharusnya didahulukan. Tidak memandang remeh sesuatu yang besar dan tidak membesarkan-besarkan sesuatu yang kecil.
Anggaran belanja dalam rumah tangga merupakan hal yang penting dilakukan, karena anggaran belanja rumah tangga merupakan perencanaan yang berisi kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Dengan membuat anggaran belanja, maka dapat diketahui sisa uang yang tersisa setelah memperoleh semua kebutuhan yang telah dicatat.
Anggaran belanja rumah tangga juga berfungsi untuk meluruskan dua timbangan: yaitu pemasukan dan pengeluaran, serta sebagai kontrol atas biaya-biaya yang dikeluarkan. Dalam mengelola pembelanjaan pada dasarnya harus berprinsip pada pola konsumsi Islami, yaitu berorientasi kepada kebutuhan, mendahulukan manfaat serta berusaha mengurangi keinginan yang berlebihan.
Mengenai pengelolaan keuangan secara Islami ada sebuah rumus yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan rumah tangga. Salah satu rumus keuangan yang baik ini datang dari sahabat Rasulullah, yakni Salman al-Farisi radhiyallahu’anhu. Rumus tersebut dikenal dengan sebutan rumus 1:1:1, yang kerap beliau gunakan dalam perniagaannya.
Diriwayatkan bahwa beliau memiliki uang sebanyak satu dirham sebagai modal usaha. Maka beliau membuat anyaman, sebagai produk usahanya. Kemudian anyaman itu beliau jual seharga tiga dirham kepada masyarakat. Ketika beliau mendapatkan keuntungan, maka pendapatannya tadi dibagi 1:1:1, yakni satu dirham untuk keperluan keluarganya, satu dirham untuk sedekah dan satu dirhamnya lagi untuk modal kembali.
Dari kisah ini, kita dapat meneladani pengelolaan keuangan ala sahabat Rasulullah Salman al-Farisi, yang tidak hanya berorientasi kepada dunia saja namun juga untuk akhirat. Pembagian ini mungkin tidak akan sama persis dalam penerapannya, akan tetapi dapat disimpulkan bahwa dalam pengelola keuangan rumah tangga, kita dapat membaginya menjadi tiga bagian utama:
Tiga Pembagian Pengelolaan Keuangan dalam Rumah Tangga tersebut adalah:
- kebutuhan keluarga
- modal usaha
- dan amal sedekah.
Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, kebutuhan keluarga termasuk kewajiban suami dalam memberikan nafkah dan memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Adapun modal usaha yaitu menyisihkan uang penghasilan untuk menjadi modal atau membeli aset yang nanti dapat menambah dan menghasilkan pemasukan. Sedangkan yang terakhir yaitu amal sedekah, yaitu sebagai bekal dan investasi untuk kehidupan yang abadi di akhirat kelak. Hal ini pun telah dijelaskan dalam Q.S. Adz- Dzariyat: 19,
[الذاريات: 19]{وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ}
“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.”
Dalam harta seseorang sesungguhnya ada hak yang harus dikeluarkan, baik berupa zakat maupun infaq dan sedekah. Rasulullah telah mengajarkan umatnya untuk senantiasa menyedekahkan sebagian hartanya untuk orang lain yang membutuhkan. Sesungguhnya, jika seseorang bersedekah, bukan mengurangi rezeki yang dimilikinya melainkan akan Allah tambahkan nikmat dan menggantinya menjadi yang lebih baik.
Itulah cara Islam mengatur umatnya dalam mengelola keuangan rumah tangga. Pengelolaan keuangan dalam kehidupan rumah tangga secara islam ini tidak hanya sekedar proses mengelola kekayaan semata, tapi juga memiliki definisi yang luas berkaitan dengan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk memanfaatkan nikmat Allah Azza wa Jalla dengan mengikuti aturan-aturan syariat Islam. (AN)
Wallahu A’lam bish Shawab.
Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja