Perbincangan mengenai Papua kembali mencuat di ranah publik. Hail itu disebabkan meninggalnya sejumlah pekerja proyek Trans Papua di Nduga Papua. Pemerintah dengan sigap mengirimkan pasukan gabungan TNI-POLRI untuk mengevakuasi korban sekaligus menjalankan operasi militer. Media arus utama (mainstream) memberitakan bahwa beberapa korban dari unsur sipil dieksekusi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Setiap rezim pemerintahan mempunyai kebijakan dan pendekatan sendiri-sendiri dalam menghadapi kelompok-kelompok yang dianggap separatis, tak terkecuali Papua. Menarik melihat bagaimana Gus Dur kala menjadi presiden dalam menajlin relasi dengan bangsa Papua.
Penulis teringat kala diskusi GusDurian Semarang tentang “Gus Dur dan Papua” narasumbernya kala itu perwakilan dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Seamarang ia mengatakan bahwa bangsa Papua menghormati sosok GusDur bukan karena beliau membangun berbagai fasilitas infrastrukutur, tapi karena beliau membuka keran demokrasi selebar-lebarnya.
Gus Dur memberikan izin masyarakat papua menggelar kongres Papua, mengizinkan bendera bintang kejora berkibar, bangsa Papua dibebaskan memakai nama Papua setelah orde baru lama melarang dengan ancaman stigma Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan initimidasi kepada mereka.
Dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Solidaritas Kita Sebgai Bangsa” Gus Dur menilai munculnya OPM karena sebagian bangsa Papua telah muak karena Sumber Daya Alam di wilayah mereka dieksploitasi tanpa henti dan hasil kekayaan alamnya melayang ke pihak asing dan selgelintir elir pejabat.
Tambang Emas oleh Freeport yang dieksploitasi bertahun-tahun tidak membawa dampak kesejahteraan bagi masyarakat Papua, sedangkan pemerintah dijadikan alat pelindung pihak Freeport. Masyrakarat Papua yang protes seketika mendapat tindakan represif dari aparat Negara dan dituduh sebagai musuh negara.
Dari sekilas pandangan Gus Dur tentang OPM ada semacam celah bagi kita untuk mereinterpretrasi OPM yang selama ini banyak dipahami publik, yang lekat dengan label separatisme, pemeberontak, pembuat onar, pengganggu keamanan dan stabilitas Negara, tidak cinta NKRI hingga konotasi negatif lainnya. OPM yang digambarkan Gus Dur merupakan sekelompok masyarakat yang terdzolimi, tercerabut hak asasi manusianya, dan ‘diperkosa’ kedaulatan atas sumber daya alamnya. Singkatnya, OPM adalah kaum Mustad’afin.
Bagi Gus Dur permasalahan Papua tidak bisa selesai “hanya” dengan kebijakan otonomi khusus (Otsus). Menurut Gus Dur dalam tulisan tersebut cara menyelesaikannya sangat mudah secara teori tapi sulit secara praktik. Pertama perlu menegakkan ekonomi kerakyatan dan menerima setiap perbedaan untuk kebutuhan sendiri (bangsa Papua).
Kedua penegakan ekonomi kerakyatan ditopang dengan sistem transportasi publik yang ekstensif dengan kombinasi mengupayakan menghilangkan pungutan-pungutan liar dengan tujuan meningkatkan daya beli masyakarakat Papua hingga mampu menaikan level ekonomi bangsa Papua.
Hal di atas dapat terlaksana jika laku politik pejabat kita benar-benar bertanggung jawab pada kepentingan rakyat. Satu hal yang bisa di lihat dari ikhtiyar Gus Dur dalam menghadapi bangsa Papua, beliau sangat menolak tindakan dan pendekatan militerisme di Papua. Penyelesaian dengan pendekatan kekerasan militerisme hanya akan menimbulkan spiral kekerasan. Gus Dur mengedepankan aspek –aspek kemanusian, kasih sayang, dan demokrasi.
Problem Papua rawan dipahami secara parsial, oleh karenanya perlu membaca dengan utuh realitas sejarah Papua. Di saat situasi di Nduga Papua masih mencekam tidak ada salahnya mencoba memakai alternatif ala Gus Dur dengan memakai pendekatan kemanusiaan, kasih sayang dan jalan demokratis.
Alih –alih mengupayakan dengan pendekatan militerisme yang terbukti tidak menjawab akar masalah. Problem Papua tak akan pernah selesai selama Bangsa ini belum bisa memposisikan bangsa Papua secara manusiawi dan bermartabat.
Wallahu a’lam.