Saat ini, kata “sontoloyo” mulai viral kembali. Kata ini dipopulerkan kembali oleh Amien Rais saat memberikan ceramahnya di Banjarnegara. “Bung Karno dulu mengatakan kalau ada pemimpin yang tidak memikirkan rakyatnya malah menjadi agen kekuatan tenaga asing itu pemimpin sontoloyo. Jadi kan yang sontoloyo itu siapa,” tegas Amien sebagaimana ditulis detik.com.
Sebelum dipopulerkan Amien, kata ini cukup populer di telinga generasi 90an yang hobi nonton “Misteri Gunung Merapi”. Ada tokoh antagonis bernama Mak Lampir yang sering menggunakan kata tersebut. Jauh sebelum itu, Soekarno juga sudah pernah menulis artikel khusus yang berjudul “Islam Sontoloyo”.
Lalu pertanyaannya, Amien Rais lebih mirip siapa? Soekarno atau Mak Lampir?
Walaupun ia mengatasnamakan Soekarno, belum tentu loh Soekarno berkata demikian. Kita harus merujuk dokumentasi-dokumentasi tentang Seokarno yang valid, baik dari tulisan-tulisan maupun pidato-pidatonya.
Satu-satunya bukti valid tulisan Bung Karno tentang kata sontoloyo terdapat dalam tulisan-tulisannya tentang keIslaman. Tulisan-tulisan tersebut secara umum dimuat dalam buku Soekarno yang berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” dan secara khusus dikumpulkan dalam buku yang berjudul “Islam Sontoloyo”. Nama Islam Sontoloyo diambil dari salah satu judul artikel Soekarno yang berjudul sama, yang pernah dimuat dalam majala.
Lalu, apakah kutipan Sontoloyo Amien yang mengatasnamakan Soekarno sesuai dengan isi tulisan “Islam Sontoloyo”?
Jawabannya: tidak sama sekali, bahkan sangat tidak sesuai.
Tulisan “Islam Sontoloyo” Soekarno malah mengkritik praktek-praktek para ahli agama yang menggunakan agama sebagai jalan menggapai keinginannya. Dalam pembuka tulisannya, Soekarno mengutip sebuah kasus yang dimuat surat kabar “Pemandangan” pada tanggal 8 april 1940. Kasus tersebut adalah perilaku menyimpang seorang guru agama yang tega memerkosa anak didiknya.
Soekarno sama sekali tidak ingin mengekspos kisah itu sebagai topik dalam tulisannya. Namun, Seokarno mencoba meluapkan kekesalannya atas cara guru agama tersebut ketika melakukan perilaku bejatnya. Pasalnya, saat memerkosa anak didiknya itu, guru agama tersebut mengatasnamakan ajaran Muhammad Saw.
Dalam tulisannya, Seokarno bercerita bahwa guru agama tersebut mengklaim pernah berbicara langsung kepada Rasulullah Saw. Kata guru agama itu, jika ingin mendekatkan diri kepada Allah, cukup berkata, “saya muridnya guru ini.”
Guru agama tersebut juga memberikan syarat, jika ada murid perempuan yang ingin belajar kepadanya, harus dinikahi terlebih dahulu dalam jangka waktu tertentu. Karena ia diharamkan melihat dan membimbing perempuan yang tidak menjadi mahramnya. Inilah puncaknya, guru agama tersebut bisa melakukan apa saja kepada anak didik perempuannya, karena ia sudah sah menjadi istrinya.
Inilah yang dikritik Soekarno dalam “Islam Sontoloyo”. Seseorang dengan seenaknya menggunakan fikih untuk kepentingan pribadinya. Menggunakan hilah, merekayasa fikih agar kepentingan pribadinya seolah-olah telah sesuai dengan tuntunan agama, padahal jauh dari tujuan hukum agama itu sendiri.
Soekarno justru secara tidak langsung mengkritik prilaku semacam ini dengan mengatakan ungkapan yang cukup pedas, “Fikih bukan lagi menjadi petunjuk pembatas hidup, fikih kini kadang-kadang menjadi penghalalannya perbuatan-perbuatan kaum soontoolooyoo!”
Kata sontoloyo yang dipanjangkan pengucapannya oleh Soekarno, menunjukkan kegeramannya atas orang-orang yang berbuat demikian. Ini sebenarnya secara tidak langsung menjadi kritikan tajam Seokarno kepada Amien Rais, yang sekarang menggunakan agama untuk keinginan pribadinya. Amien tidak sadar bahwa sontoloyo yang sering diucapkan Soekarno ditujukan kepadanya dan para pembelannya.
Nah, jika di awal tulisan ini saya sudah menyebutkan dua orang yang sering menggunakan kata sontoloyo sebelum Amien Rais, dan jika Sontoloyo Amien berbeda dengan Soekarno, lalu mirip dengan siapa? he he he.
Wallahu A’lam.
*)Penulis saat ini sedang meneliti hadis-hadis yang digunakan Seokarno dalam pemikiran-pemikiran keagamannya.