Bertepatan dengan Hari Kartini 2021, INFID meluncurkan “Panduan Pedoman Teknis Penanganan dan Pendampingan Deportan dan Returni Perempuan dan Anak yang Terpapar Paham Radikal Terorisme”, studi kasus di Bandung Jawa Barat dan di Surabaya Jawa Timur. Panduan ini merupakan bagian dari program kerjasama INFID dengan HARMONI yang diberi nama program “Meningkatkan Sistem Reintegrasi untuk Penanganan dan Pendampingan Deportan dan/Returni Perempuan dan Anak Korban Radikalisme di kota Bandung dan Surabaya” bagi Pemerintah Daerah, ormas keagamaan, organisasi masyarakat sipil (OMS).
Disebutkan oleh Direktur Eksekutif INFID, Sugeng Bahagijo, bahwa kekhususan dari program ini adalah pada deportan dan returni perempuan dan anak, karena dalam pandangan INFID, mereka merupakan korban dari gerakan radikalisasi global yang dilakukan ISIS. Mereka menjadi korban karena adanya relasi dan hierarki gender yang timpang, serta doktrin kepatuhan yang melemahkan posisi tawar perempuan di tengah budaya maskulin yang ada dalam lingkaran jaringan kelompok radikal. Selain itu, hingga saat ini belum ada peraturan yang khusus mengatur tentang penanganan deportan dan returni perempuan dan anak di tingkat pemerintah pusat sampai ke tingkat daerah.
Dalam pelaksanaan program tersebut, INFID kemudian bermitra dengan PW Fatayat NU Jabar dan PW Fatayat NU Jatim. Kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan, di antaranya: pertama, melakukan pemetaan penanganan dan pendampingan deportan dan returni perempuan dan anak yang terpapar paham radikal ekstrimisme[di Bandung Jawa Barat dan Surabaya Jawa Timur. Kedua, menyusun buku panduan Pedoman Teknis Penanganan dan Pendampingan Deportan dan Returni Perempuan dan Anak terpapar Paham Radikal Terorisme bagi Pemerintah Daerah, Ormas Keagamaan, dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS).
Ketiga, mengadakan pelatihan “Meningkatkan Sistem Reintegrasi untuk Penanganan dan Pendampingan Deportan dan/Returni Perempuan dan Anak terpapar paham Radikal terorisme” di Kota Bandung dan Surabaya. Keempat, mengadakan dialog rutin multipihak/ para pemangku kepentingan di kedua kota tersebut sebagai sarana untuk berbagi pengetahuan bersama mengenai deportan dan returni perempuan dan anak, serta upaya upaya advokasi yang dilakukan.
Bahrul Wijaksana, Direktur Search For Common Ground (SFCG) yang mewakili HARMONI menyampaikan bahwa proses penyusunan panduan ini pastinya tidak selalu berjalan mulus, ada banyak hambatan selain pandemi. Tidak semua aktor, state atau non-state menganggap penting isu deportan dan returni perempuan dan anak, karena ada perbedaan sensitivitas, perspektif dan cara pandang. Ini menjadi tantangan bagi kegiatan ini. Tantangan berhadapan dengan unsur daerah terkait instrumen hukum untuk penyusunan kebijakan. Untungnya Perpres Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) sudah diluncurkan oleh Pemerintah pada Januari 2021. Ini menjadi daya dorong untuk memperkuat dan meyakinkan pemerintah di daerah.
Ibu Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) RI, menyambut baik penerbitan buku panduan ini karena merupakan karya yang sangat kolaboratif dan nyata untuk bangsa Indonesia. Kolaborasi yang dimaksud beliau bukan hanya terkait kolaborasi teknis kelembagaan tetapi juga kolaborasi kebangsaan, karena tidak semata-mata kerja pemerintah dalam menangani terorisme.
Beliau juga memberi apresiasi tinggi atas sinergi dan kerjasama konstruktif dengan KSP yang selama ini telah terbangun. KSP terus terbuka untuk membangun sinergi dan memformulasikan input yang masih perlu ditingkatkan, termasuk untuk mendorong peraturan yang lebih mengikat tentang penanganan dan pendampingan deportan dan returni perempuan dan anak. Harapannya, agar program pendampingan dan penanganan dapat dijalankan lebih efektif, sehingga reintegrasi dapat segera terjadi.
Kepala Badan Kesbangpol Jawa Barat Bapak Dr. Drs. H Iip Hidajat, M.Pd menyampaikan, penanganan radikalisme dan terorisme merupakan tanggung jawab bersama. Terlebih lagi, Jawa Barat merupakan salah satu zona merah. Selama ini, Kesbangpol mengikuti kebijakan Pemerintah Pusat dengan merujuk kepada UU No 15 tahun 2008 dan juga merespon secara aktif Perpres No. 7/2021. Kesbangpol memang belum memiliki panduan untuk penanggulangan terorisme, serta belum memiliki kebijakan khusus untuk Deportan dan Returni perempuan dan anak yang terlibat langsung dalam tindakan terorisme radikalisme. Oleh karenanya, Kesbangpol mengajak INFID dan pihak lain bekerjasama untuk meng-counter radikalisme.
Ketua PW Fatayat NU Jatim, Ibu Nyai Dewi Winarti, S.PdI, sebagai mitra kerja INFID dalam menjalankan program merasa bersyukur dan mengapresiasi panduan ini karena kerja-kerja yang telah dilakukan PW Fatayat NU Jatim bersama berbagai mitra berhasil diluncurkan bertepatan dengan hari Kartini. Menurutnya, panduan ini akan sangat besar manfaatnya untuk masyarakat khususnya di Jatim.
Lebih lanjut beliau menyampaikan, bahwa Fatayat NU memiliki amanah mendampingi perempuan dan anak. Hadirnya buku ini mempertegas komitmen kami dalam mendampingi perempuan dan anak. Buku panduan ini bisa digunakan tapi butuh inovasi dari kita untuk kasus lokal dari multi stakeholder dan pemerintah yang memiliki kewenangan.
Sementara itu, Direktur Deradikalisasi BNPT, Bapak Prof. Irfan Idris, MA mengapresiasi upaya yang dilakukan INFID dan menyambut baik buku panduan ini. Lebih jauh beliau menyampaikan, bahwa terorisme itu kejahatan luar biasa, kejahatan internasional, transnasional, dan penanganannya harus serius. Penanganannya tidak cukup hanya oleh Pemerintah, tetapi harus ada kolaborasi dengan berbagai pihak, NGO, Ormas Keagamaan, dan lainnya.
Lebih jauh beliau menjelaskan bahwa BNPT memiliki program sinergitas di beberapa daerah yang tidak hanya menyasar deportan dan returni, tetapi juga mencakup program pencegahan. Lebih lanjut tentang program deradikalisasi yang meliputi penanganan dan pendampingan, menurut beliau prosesnya harus terencana, terpadu, dan berkesinambungan.
Setelah diluncurkan, INFID beserta mitranya yaitu PW Fatayat NU Jabar dan Jatim berharap buku panduan ini akan digunakan oleh Pemerintah Daerah, Organisasi Masyarakat Sipil dan Organisasi Keagamaan dalam penanganan deportan dan returni perempuan dan anak korban radikalisme di daerah.