Huub de Jonge dalam bukunya, In Search of Identity: The Hadhrami Arabs in The Netherlands East Indies and Indonesia (1900-1950), mendiskusikan banyak hal tentang pencarian identitas orang Hadhrami di Nusantara, dalam bahasa lain, bagaimana proses orang Hadramaut menjadi Indonesia.
Buku ini diawali dengan sejarah kedatangan orang Hadhrami ke Nusantara, terutama awal abad 20. Banyak sejarawan menyebut, jumlah migrasi orang Yaman Selatan ke Indonesia semakin meningkat awal abad 20 dibanding sebelumnya. Ada banyak hal yang menyebabkan proses migrasi ini, salah satunya adalah pembukaan Terusan Suez yang memudahkan pelayaran ke beberapa negara.
Sebetulnya, orang Hadhrami tidak hanya berlayar ke Nusantara, tetapi juga wilayah lain: India, Afrika Timur, dan lain-lain. Akan tetapi, kebanyakan mereka memilih Nusantara sebagai tempat untuk menetap dan mencari penghidupan. Tidak dapat dipungkuri bahwa tujuan mereka datang ke Indonesia, salah satunya, adalah untuk berdagang. Hasil dari perdagangan itu kemudian dikirim untuk menghidupi keluarga yang mereka tinggalkan di kampung halaman.
Karena itu, tidak mengherankan bila di antara sumber penghasilan orang Hadhramaut pada masa itu berasal dari uang kiriman (remittance). Mereka sangat bergantung kepada uang kiriman diaspora. Pernah suatu masa, ketika Indonesia dijajah oleh Jepang kalau tidak salah ingat, komunikasi atau hubungan antara orang Hadhrami yang di Nusantara dengan keluarga yang berada di Hadhramuat sempat terputus atau dipersulit, sehingga mereka susah untuk mengirimkan uang ke kampung halamannya. Akibatnya, banyak keluarga mereka yang menderita kelaparan dan kesulitan hidup.
Pada awalnya, sebagian orang Hadhrami masih menjadikan Hadhramaut sebagai tanah air mereka. Nusantara dipandang hanya sebagai tempat singgah, negeri perantauan. Tidak sedikit di antara mereka yang kembali ke Hadhramuat setelah berhasil atau mengirimkan anaknya untuk belajar agama di kampung halaman. Singkatnya, koneksi antara orang Hadhrami di Nusantara dengan keluarga mereka di Yaman Selatan pada saat itu masih sangat kuat.
Bahkan, di antara mereka juga ada yang membawa pekerja dari Nusantara untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di Hadhramaut. Hal ini sebagaimana ditemukan dalam catatan beberapa sejarawan dan antropolog yang berkunjung ke Hadhramaut, mereka menemukan beberapa orang yang menggunakan bahasa Jawa dan Melayu di sana, serta bekerja sebagai pembantu dan tukang masak di rumah orang-orang Hadhramaut.
Imajinasi Hadhramaut sebagai tanah air menjadi semakin kuat di kalangan orang Hadhrami di Nusantara karena kebijakan kolonial, baik jaman Belanda atau Jepang, tidak menguntungkan orang Arab di Indonesia. Hak mereka dibedakan dengan orang Eropa dan Pribumi. Zaman Belanda mereka hanya dibolehkan tinggal di kampung Arab dan kalau mau ke luar dari kampung itu, mereka harus minta izin. Belum lagi proses minta izinnya kadang dipersulit dan diperlakukan semena-mena. Lama kelamaan kampung Arab makin penuh dan sesak, hak mereka dibatasi untuk menetap di luar kampung Arab, orang Belanda memperburuk keadaan ini dengan menyebut kampung Arab kotor.
Sekalipun Snouck Hurgonje mengusulkan pembatasan migrasi orang Hadrami ke Nusantara, karena takut dengan penyebaran Pan Islamisme, dia juga ngak setuju dengan aturan diskiriminasi ini, dan meminta supaya gebernur jendral untuk mengapuskannya, tapi usulan itu terus ditolak.
Jaman Jepang kondisinya juga ngak jauh berbeda, sekolah-sekolah Arab banyak ditutup dan dilarang pakai Bahasa Arab. Hanya ada bebrrapa sekolah yang diizinkan waktu itu, terutama sekolah milik orang Arab yang aktif di Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI), semisal sekolahnya Ahmad Seorkati dan Habib Ali Kwitang.
Politik diskriminatif itu yang membuat orang Arab Nusantara sulit menyatu dengan penduduk lokal. Apalagi tempat tinggalnya dipisahkan sejak awal. Hingga pada tahun 1934, AR Baswedan dan kawan-kawannya, dari kalangan Sayyid dan Syekh, memutuskan untuk mengentikan perdebatan titel sayyid, mengalihkan perhatian orang Arab pada masalah pendidikan dan praktik Riba di kalangan mereka, dan mendirikan Persatuan Arab Indonesia (PAI).
PAI mengubah imajinasi orang Arab bahwa tanah air mereka bukan lagi Hadramaut, tapi Indonesia. Ide ini tentu ditolak sebagian orang hadrami, terutama Arab totok (wulaiti) . Lebih banyak diterima di kalangan Arab Peranakan (muwallad). Salah satu yang dilalukan aktivis PAI adalah menerbitkan majalah dan bentuk publikasi lainnya untuk menyebarluaskan agenda perubahan, terutama terkait pentingnya pendidikan, baik bagi laki-laki dan perempuan. Huub de Jonge menggunakan istilah civilising offensive untuk hal ini.
Hosein Bafaqih tokoh penting dalam piblikasi PAI. Bersama Salim Maskati, dia membuat majalah Aliran Baroe. Saya pernah temukan langsung majalah ini, isinya kebanyakan kritik terhadap kebiasaan orang Hadrami. Di situ juga ada tulisan khusus soal jilbab. Diterbitkan secara berkala, merespon fenomena perempuan muda Arab banyak buka kerudung. Kesimpulan kajian majalah itu, jilbab bukan wajib, tapi sunnah bagi perempuan. Karena itu, ngak heran kalau di banyak poto majalah ini, perempuan ditampilkan ngak pake kerudung.
Karena kontroversial, narasi yang dikembangkan PAI banyak ditentang, baik dari kalangan Sayyid ataupun al Irsyad. Apalagi pementasan “Fatimah” yang naskahnya ditulis oleh Hosein Bafaqih.
Selama masa Jepang, AR Baswedan dan aktivis PAI bersama tokoh nasional berupaya memperjuangkan indonesia merdeka. Dia selalu berada di samping tokoh pergerakan. Namun setelah Indonesia merdeka, keseteraan yang diimpikan banyak orang Hadrami tak kunjung tercipta. Mereka masih dianggap seperti kelas kedua, sama halnya dengan indo-china, indo-europa, dan seterusnya.
Ini membuat beberapa aktivis PAI kecewa berat, karena mereka tidak kunjung dipandang setara seperti pribumi. Ngak banyak yang sadar bahwa mereka juga melakukan banyak proses menjadi Indonesia. Kesadaran itu baru muncul di level elite, terutama orang seperti Sukarno dan Syahrir, yang melihat betul perubahan identitas di kalangan Hadrami. Tapi masalahnya, terutama yang tidak bergaul intens dengan mereka, masih melihatnya sebagai outsider.