Imunisasi, Apakah Membatalkan Puasa?

Imunisasi, Apakah Membatalkan Puasa?

Imunisasi, Apakah Membatalkan Puasa?

Imunisasi atau disebut juga vaksinasi adalah pemberian vaksin ke dalam tubuh seseorang untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit. Imunisasi bermanfaat untuk orang tua di atas Usia 55 tahun ketika kekebalan tubuh mulai menurun atau bisa juga dimajukan di usia 40 tahun, jika orang tua tersebut menderita diabetes atau penyakit lainnya yang menyebabkan kekebalan tubuhnya menurun.

Dalam prakteknya, imunisasi bisa dilakukan dengan berbagai cara, ada yang dilakukan melalui tetesan cairan ke mulut, ada yang diberikan secara suntikan ke otot atau lapisan bawah kulit. Pertanyaannya kemudian, ketika imunisasi dilakukan oleh orang yang berpuasa, batalkah puasanya?.

Perlu dibedakan antara imunisasi tetes dan imunisasi suntik. Dalam kajian fikih, keduanya memiliki perincian hukum yang berbeda. Untuk imunisasi dengan cara meneteskan cairan ke mulut, hukumnya membatalkan puasa. Sebab masuknya benda ke dalam rongga mulut dapat membatalkan puasa, baik untuk kebutuhan medis, asupan makanan atau lainnya.

Al-Khatib al-Syarbini menegaskan: “Pertama yang membatalkan puasa adalah sampainya benda, meski sedikit seperti satu biji simsimah, secara sengaja, tidak terpaksa dan dilakukan oleh orang yang mengetahui keharamannya, ke dalam mutlaknya rongga, baik rongga terbuka atau melalui luka di kepala yang tembus sampai ke anggota batin, baik melalui rongga yang dapat memproses asupan makanan atau obat, atau tidak.” (Al-Syarbini, al-Iqna’, juz.1, hal.218).

Sementara imunisasi yang dilakukan dengan cara suntik, hukumnya terdapat iktilaf (perbedaan) di kalangan ulama’. Pendapat pertama mengatakan dapat membatalkan, sebab terdapat cairan yang masuk ke dalam anggota batin melalui al-Jauf (rongga). Pedapat kedua menyatakan tidak batal, sebab cairan tersebut masuk melalui rongga yang tidak terbuka. Pendapat ketiga, dapat membatalkan bila suntik imunisasi dimasukan melalui otot yang berlubang.

Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi pemahaman yang berbeda mengenai makna tersirat dalam firman Allah yang secara tegas melarang makan dan minum bagi orang yang berpuasa (QS. Al-Baqarah ayat 187).

Pendapat yang menyatakan batal memahami bahwa segala benda yang masuk ke dalam anggota batin melalalui rongga manapun (al-Jauf), hukumnya sama dengan makan dan minum, baik rongga yang terbuka atau tidak. Anggota tubuh yang berlubang diakibatkan tusukan jarum suntik, disebut sebagai jauf menurut pendapat ini.

Pendapat yang menyatakan tidak batal mengarahkan bahwa aktivitas yang memiliki titik temu dengan makan dan minum hanyalah memasukan benda ke dalam anggota batin melalui rongga terbuka, tidak secara mutlak. Sementara suntik imunisasi bukan dianggap sebagai aktivitas memasukan benda melalui rongga terbuka.

Pendapat ketiga secara prinsip sebenarnya memilah dari sisi cairan yang masuk, antara yang dapat memberikan rasa kenyang dan yang tidak dapat berfungsi demikian, dan pemilahan antara masuk melalui otot yang berlubang atau tidak berlubang. Namun karena suntik imunisasi tidak berfungsi mengenyangkan atau menyegarkan sebagaimana makanan dan minuman, maka hanya masuk perincian jalan masuk jarum suntiknya. Argumennya tidak jauh beda dengan dua pendapat di atas. Hanya berbeda memberi standart status lubang tubuh disebut jauf (rongga) atau bukan.

Uraian di atas dikutip dari penjelasan Syekh Habib bin Ahmad al-Kaf sebagai berikut:

حكم الإبرة، تجوز للضرورة ولكن اختلفوا في إبطالها للصوم على ثلاث أقوال. ففي قول إنها تبطل مطلقا لأنها وصلت إلى الجوف. وفي قول إنها لا تبطل مطلقا لأنها وصلت إلى الجوف من غير منفذ مفتوح. وقول فيه تفصيل وهو الأصح، إذا كانت مغذية فتبطل الصوم، وإذا كانت غير مغذية فننظر، إذا كان في العروق المجوفة وهي الأوردة فتبطل، وإذا كانت في العضل وهي العروق غير المجوفة فلا تبطل.

“Hukum jarum suntik, diperbolehkan menggunakannya ketika dlarurat. Sementara statusnya dalam membatalkan puasa, ada tiga pendapat. Pertama, Batal secara mutlak, karena jarum suntik sampai kepada jauf  (rongga). Kedua, tidak batal secara mutlak, karena masuknya tidak melalui rongga terbuka. Ketiga, Diperinci, Jika cairan yang dimasukan dapat memberikan rasa kenyang atau menyegarkan (mughadzdziyah), maka batal. Jika tidak demikian, maka diperinci; batal bila dimasukan melalui otot yang berlubang, tidak batl jika masuk melalui otot yang berlubang.” (Hasan bin Ahmad al-Kaf, Taqrirat Sadidah, 452).

Demikian penjelasan mengenai hukum imunisasi saat berpuasa, semoga bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat.