Menurut Ulama, ada tujuh macam qiraat (cara baca) al-Qur’an. Dalam riwayat lain ada sepuluh bahkan empat belas macam qiraat. Diantara mereka adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim al-Ashbihani, Abdullah bin Katsir al-Makki, Abu ‘Amr Zaban bin al-‘Ala’, Abdullah bin ‘Amir as-Syami, ’Ashim bin Abi an-Najud, Hamzah bin Habib az-Zayyat, Kisa’i Ali bin Hamzah, Abu Ja’far Yazid bin al-Qa’qa’, Ya’qub al-Hadlrami dan Khalaf al-bazzar (al-Bazzaz).
Dari sekian macam qira’at, Imam Hafsh adalah tokoh yang qiraatnya paling banyak dipakai di Indonesia.
Nama lengkapnya adalah Hafsh bin Sulaiman bin al-Mughirah, Abu Umar bin Abi Dawud al-Asadi al-Kufi al-Ghadliri al-Bazzaz lahir pada tahun 90 H.
Pada masa mudanya, Imam Hafsh belajar langsung kepada Imam ‘Ashim yang juga menjadi bapak tirinya sendiri. Hafsh tidak cukup mengkhatamkan Al-Qur’an satu kali tapi dia mengkhatamkan Al-Qur’an hingga beberapa kali, sehingga Hafsh sangat mahir dengan qira’at ‘Ashim.
Sangatlah beralasan jika Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa: “Riwayat yang sahih dari Imam ‘Ashim adalah riwayatnya Hafsh”. Abu Hasyim ar-Rifa’I juga mengatakan bahwa Hafsh adalah orang yang paling mengetahui bacaan Imam ‘Ashim. Imam adz-Dzahabi memberikan penilaian yang sama bahwa dalam penguasaan materi qira’at, Hafsh adalah merupakan seorang yang tsiqah (terpercaya) dan tsabt (mantap).
Bisa dikatakan bahwa Imam Hafsh menghabiskan umurnya untuk berkhidmah kepada Al-Qur’an. Setelah puas menimba ilmu qira’at kepada Imam ‘Ashim, Imam Hafsh berkelana ke beberapa negeri antara lain Baghdad yang merupakan Ibukota negara pada saat itu.
Kemudian dilanjutkan pergi menuju ke Mekah. Pada kedua tempat tersebut, Hafsh mendarmabaktikan ilmunya dengan mengajarkan ilmu qira’at khususnya riwayat ‘Ashim kepada penduduk kedua negeri tersebut.
Sanad (runtutan periwayatan) Imam Hafsh dari Imam ‘Ashim berujung kepada sahabat Ali bin Abi Thalib. Sementara bacaan Syu’bah bermuara kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud. Hal tersebut dikemukakan sendiri oleh Hafsh ketika mengemukakan kepada Imam ‘Ashim, kenapa bacaan Syu’bah banyak berbeda dengan bacaannya? Padahal keduanya berguru kepada Imam yang sama yaitu ‘Ashim. Lalu ‘Ashim menceritakan tentang runtutan sanad kedua rawi tersebut. Runtutan riwayat Hafsh adalah demikian: Hafsh – ‘Ashim – Abu Abdurrahman as-Sulami- Ali bin Abi Thalib. Sementara runtutan periwayatan Syu’bah adalah demikian: Syu’bah- Ashim- Zirr bin Hubaisy-Abdullah bin Mas’ud.
Dilihat dari segi materi ilmiah, maka riwayat Hafsh adalah riwayat yang relatif mudah dibaca bagi orang yang non Arab mengingat beberapa hal: Pertama tidak banyak bacaan Imalah, kecuali pada kata : (مجراها ) pada surah Hud. Hal ini berbeda dengan bacaan Syu’bah, Hamzah, al-Kisa’i, Abu ‘Amr dan Warsy yang banyak membaca Imalah.
Kedua, tidak ada bacaan Shilah Mim Jama’ sebagaimana apa yang kita lihat pada bacaan Qalun dan Warsy. Bacaan Shilah membutuhkan kecermatan bagi pembaca, mengingat bacaan ini tidak ada tanda tertulisnya.
Ketiga, Dalam membaca Mad Muttashil dan Munfashil, bacaan riwayat Hafsh terutama thariq Syathibiyyah tidak terlalu panjang sebagaimana bacaan Warsy dan Hamzah yang membutuhkan nafas yang panjang. Bahkan dalam thariq Thayyibah, yaitu yang melalui jalur ‘Amr bin ash-Shabbah thariq Zar’an dan al-Fil bacaan Hafsh dalam Mad Munfashil bisa Qashr (2 harakat).
Keempat, dalam membaca Hamzah baik yang bertemu dalam satu kalimah atau pada dua kalimah, baik berharakat atau sukun, riwayat Hafsh cenderung membaca tahqiq yaitu membaca dengan tegas (syiddah) dengan tekanan suara dan nafas yang kuat, sehingga terkesan kasar. Hal ini berbeda dengan bacaan Nafi’ melalui riwayat Warsy, Qalun. Bacaan Abu ‘Amr melalui riwayat ad-Duri dan as-Susi. Bacaan Ibn Katsir melalui riwayat al-Bazzi dan Qunbul yang banyak merubah bacaan hamzah menjadi bacaan yang lunak.
Contohnya adalah pada hamzah sakinah atau jika ada dua hamzah bertemu dalam satu kalimah atau dua kalimah. Imam Hafsh mempunyai bacaan tashil baina baina hanya pada satu tempat saja yaitu pada kalimat : ( ءأعجمى ) pada Q.S. Fushshilat ayat 44.
Kelima, Hafsh mempunyai bacaan isymam hanya pada satu tempat yaitu pada kata : ( لا تأمنا ) sebagaimana juga bacaan imam lainnya selain Abu Ja’far.
Keenam, Hafsh mempunyai bacaan Mad Shilah Qashirah hanya pada kalimat : ويخلد فيه مهانا pada Q.S. Al-Furqan ayat 69. Hal ini berbeda dengan bacaan Ibn Katsir yang banyak membaca Shilah Ha’ Kinayah.
Dilihat dari awal kemunculan bacaan, ‘Ashim yaitu di Kufah atau Iraq, secara politis, negeri Kufah (Iraq) adalah negerinya pengikut Ali (Syi’ah). Bacaan Hafsh juga bermuara kepada sahabat Ali. Kemudian Negeri Baghdad, dimana Hafsh pernah mengajar di sini, adalah Ibukota negara (Abbasiyyah) yang pada masa itu merupakan pusat kegiatan ilmiah, sehingga penyebarannya relatif lebih mudah.
Jika kemudian Hafsh bermukim di Mekah, kiblat kaum Muslimin yang banyak dihuni mukimin dari berbagai penjuru dunia dan mengajar Al-Qur’an di sini, maka bisa dibayangkan pengaruh bacaannya.
Penulis juga melihat adanya hubungan yang cukup signifikan antara madzhab fikih dan qira’at. Sebagai contoh riwayat Warsy adalah riwayat yang banyak diikuti oleh masyarakat di Afrika Utara. Di sana madzhab fikih yang banyak dianut adalah madzhab Maliki. Masa hidup Imam Malik adalah sama dengan masa hidup Imam Nafi’. Keduanya di Madinah. Bisa jadi pada saat masyarakat Afrika Utara berkunjung ke Madinah untuk haji atau lainnya, mereka belajar fikih kepada Imam Malik dan belajar Qira’atnya kepada Imam Nafi’.
Kita tahu bahwa Hafsh pernah bermukim dan mengajar Al-Qur’an di Mekah. Imam Syafi’i juga hidup di Mekah. Boleh jadi pada saat hidupnya kedua Imam tersebut, kaum muslimin memilih madzhab kedua Imam tersebut.
Kemudian jika kita melihat sanad bacaan riwayat Hafsh pada guru-guru dari Indonesia, semisal sanad Kiai Munawwir Krapyak, akan kita jumpai banyak ulama madzhab Syafi’i pada sanad tersebut, seperti Zakariyya al-Anshari dan lain sebagainya.
Hafsh mempunyai jam mengajar yang demikian lama, sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Jazari sehingga murid-muridnya bertebaran di berbagai tempat. Hal ini berbeda dengan Syu’bah yang tidak begitu lama mengajar. Hafsh dianggap sebagai perawi Imam ‘Ashim yang demikian piawai dan menguasai terhadap bacaan gurunya.
Sebagaimana diketahui, Hafsh adalah murid yang sangat setia pada ‘Ashim. Ia mengulang bacaan berkali-kali, dan menyebarkan bacaan ‘Ashim di beberapa negeri dalam rentang waktu yang demikian lama. Makki al-Qaisi menyebutkan bahwa ‘Ashim mempunyai kefashihan membaca yang tinggi, validitas sanadnya juga sangat kuat dan para perawinya juga tsiqah (sangat dipercaya).
Ghanim Qadduri al-Hamd menyebutkan bahwa mushaf pertama yang di cetak di Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M/1106 H, diharakati dengan bacaan Hafsh yang ada di perpustakaan-perpustakaan di beberapa negeri Islam.
Hal ini mempunyai banyak pengaruh pada masyarakat, dimana mereka menginginkan adanya mushaf yang sudah dicetak. Para penerbit mushaf di Hamburg sudah tentu melihat terlebih dahulu kecenderungan masyarakat Islam pada saat itu. Bahkan Blacher, seorang orientalis yang cukup terkemuka dalam bidang studi al-Qur’an pernah mengatakan, ”Kaum Muslimin pada masa yang akan datang tidak akan menggunakan bacaan al-Qur’an kecuali dengan riwayat Hafsh dari ‘Ashim. Pernyataan Blacher yang pasti didahului oleh pengamatan yang seksama, jelas menggambarkan kecenderungan masyarakat di dunia Islam pada saat itu dan pada masa yang akan datang sehingga dia bisa memastikan hal tersebut.
Ghanim Qadduri juga menyebutkan dengan melansir dari kitab “Tarikh Al-Qur’an” karya Muhammad Thahir Kurdi, bahwa penulis mushaf yang sangat terkenal pada masa pemerintahan Turki Usmani, adalah al-Hafizh Usman (w. 1110 H). Penulis ini sepanjang hidupnya telah menulis mushaf dengan tangannya sendiri, sebanyak 25 mushaf. Dari mushaf yang diterbitkan inilah riwayat Hafsh menyebar ke seantero negeri.
Penulis melihat bagaimana hubungan antara keahlian menulis mushaf dengan khat yang indah bisa menjadi unsur yang cukup signifikan dalam penyebaran satu riwayat. Jika kemudian pemerintah Turki Usmani mencetak mushaf sendiri, dan menyebarkannya ke seantero negeri kekuasaannya, maka hal itu akan menambah pesatnya riwayat Hafsh. Dari sini penulis melihat adanya hubungan antara kekuasaan politik dengan penyebaran satu ideologi tertentu.
Peranan para qari’, guru, imam salat, dan radio, kaset, televisi, juga sangat berpengaruh terhadap penyebaran riwayat Hafsh. Kita tahu bahwa rekaman suara pertama di dunia Islam adalah suaranya Mahmud Khalil al-Hushari atas inisiatif dari Labib Sa’id sebagaimana diceritakannya sendiri pada kitabnya “ al-Mushaf al-Murattal atau al-Jam’ash Shauti al-Awwal” rekaman ini dengan riwayat Hafsh thariq asy-Syathibiyyah. Suara yang bagus melalui teknologi yang canggih ikut memengaruhi satu bacaan.