Ada problem akut yang masih menghantui sebagian kaum muslimin selama ini yang dapat mengganggu upaya-upaya pengembangan diri untuk kemajuan. Yaitu “Eksklusivisme” dalam Ilmu Pengetahuan dan kerja-kerja bersama intelektualisme dengan “liyan” atau mengadopsi pikiran-pikiran “liyan”.
Imam al Ghazali (w. 1111 M) mengatakan dalam bukunya “Al-Mustashfa” :
من لا يحيط بالمنطق لا يوثق بعلومه اصلا
“orang yang tidak menguasai logika, pengetahuannya tidak dapat dipercaya”.
Atas pernyataan ini ia dikritik kaum fundamentalis radikal bahwa pikiran-pikirannya terpengaruh oleh kaum filosof awal/falasifah al qudama (filosof Yunani) yang kafir. Terhadap kritikan ini beliau menjawab :
إِذَا كَانَ الْكَلَامُ مَعْقُولًا فِى نَفْسِهِ مُؤَيَّداً بِالْبُرْهَانِ وَلَمْ يَكُنْ عَلَى مُخَالَفَةِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَلِمَ يَنْبَغِى اَنْ يُهْجَرَ وَيُتْرَكَ. (المنقذ من الضلال, ص 45-46)
“Jika ucapan itu benar dan didukung oleh argumen yang rasional serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits Nabi, mengapa harus dibuang atau ditolak?”. (Al-Munqidz min al-Dhalal, hlm. 45-46).
Hampir dua ratus tahun kemudian Ibnu Rusyd al-Hafid (w.1198 M) mendukung pandangan al-Ghazali tersebut. Ia bahkan mengatakan :
فَمَا كَانَ مِنْهَا مُوَافِقاً لِلْحَقِّ قَبِلْنَا مِنْهُمْ وَسُرِرْنَا بِهِ وَشَكَرْنَاهُمْ عَلَيهِ. وَمَا كَانَ مِنْهَا غَيْرُ مُوَافِقٍ لِلْحَقِّ نَبَّهْنَا عَلَيْهِ وَحَذَّرْنَا مِنْهُ وَعَذَّرْنَاهُمْ.
“Jika kita menemukan kebenaran dari mereka yang berbeda agama dari kita, mestinya kita menerima dengan gembira dan menghargainya. Tetapi, jika kita menemukan kesalahan dari mereka, kita patut mengingatkan, memperingatkannya dan menerima maafnya”. (Fashl al-Maqal fi Ma Baina al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittishal, Dar al-Masyriq, Beirut, Cet. II, hlm. 33).
Nabi sudah menyatakan :
الحكمة ضالة المؤمن فحيث وجدها فهو احق بها
“Ilmu Pengetahuan yang bermanfaat (hikmah) adalah milik kaum beriman. Maka ambillah, dari tangan siapapun ia keluar”.
Oleh karena itu sudah saatnya Khazanah intelektual klasik yang maha kaya diekplorasi dan dianalisis secara kritis dan mendalam, tidak sekedar menerima apa adanya, untuk menemukan butir-butir doktrin keagamaan yang mencerdaskan (wisdoms/al-hikam), memberdayakan dan memberikan solusi atas berbagai problematika masyarakat, bangsa dan negara.