Imam Abu Hanifah, merupakan salah seorang ulama Fikih penting dalam dunia Islam. Ia menjadi bagian dari al-imam al-arba’ah (imam madzhab empat) yang menjadi otoritas hukum Islam bagi peradaban warga muslim di seluruh dunia. Latar belakang dan basis historis Imam Abu Hanifah, sebagai ilmuan, fakih dan pebisnis, menjadikan ia menguasai detail fikih mu’amalah dan fiqhul buyu’ (fikih jual beli). Hal ini berbeda dengan Imam-imam lainnya, semisal Imam Syafi’i, Maliki dan Ahmad bin Hambal.
Buku “Biografi Imam Abu Hanifah; Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Pengusung Kebebasan Berpikir” anggitan Dr. Tariq Suwaidan ini menjadi bagian penting untuk melihat latar belakang dan jejak keilmuan Imam Abu Hanifah, serta dampaknya bagi dunia keislaman secara luas.
Menurut Tariq Suwaidan, Imam Abu Hanifah adalah seorang pedagang sekaligus seorang ulama, seorang ulama sekaligus pedagang. Penguasaannya terhadap dunia dagang telah dicatat sejarah. Ia mampu menjadikan harta sebagai perangkat untuk menyebarkan ilmu. Pemikiran mendapatkan tempat utama karena kehidupannya jauh dari kekurangannya jauh dari kekurangan dan kesusahan (hal. 164). Sebagai pedangang, Abu Hanifah mencerminkan akhlak seorang yang layak diteladani. Ia jujur dan wira’i, meneladani Abu Bakar sebagai pedagang yang beriman, peduli pada kaum miskin, menikmati kekayaan yang halal dan manajemen waktu yang baik (hal. 170-4).
Konteks historis
Pada zaman Abu Hanifah, ada dua tipe ulama. Pertama, orang yang hanya mempelajari ilmu Fikih saja dan tidak mengambil ilmu-ilmu yang lain. Bila ia andal, maka ia menguasai takhrij (periwayatan hadist) dan mengemukakan pendapat rasional. Kedua, orang yang mempelajari ilmu akidah dan menggunakan filsafat dalam memahaminya.
Filsafat yang digunakannya tanpa pengetahuan atas dasar agama terkadang justru membuat pemikirannya melenceng dari makna dan tujuan agama itu sendiri. Lalu, muncullah Abu Hanifah yang mencari jalan tengah dari kondisi tersebut, ia menimba ilmu dari setiap sumber ilmu yang ada. Berjalan di atas setiap jalan ilmu, dan mengarah ke setiap tujuan ilmu. Ia melakukannya dengan akal yang lurus, agama yang kuat, jiwa yang matang dan haus ilmu (hal. 84). Pada konteks ini, tampak betul keistemewaan Imam Abu Hanifah, sebagai seorang ulama yang menggabungkan antara hukum syara’ dengan logika, antara sistem dan subtansi. Dalam konteks diplomasi kekuasaan, Imam Abu Hanifah juga menjadi teladan. Ia bisa tetap memegang prinsip dengan rasionalitas, logika dan dalil hukumnya, bahkan ketika bertentangan dengan penguasa.
Di al-Manaqibnya al-Bazazi, disebutkan bahwa, ‘Abu Ja’far al-Manshur memenjarakan Abu Hanifah agar mau memegang jabatan di pengadilan negara sebagai qadhi qudhah (hakim agung). Namun, ia menolak sehingga harus menerima cambukan sebanyak 110 kali. Setelah dibebaskan, al-Manshur memintanya agar mau memberikan fatwa tentang masalah yang tidak diselesaikan para hakim yang ada. Akan tetapi, ia tetap menolak karena menurutnya semua lini pemerintahan Abassiyah dibangunn di atas kezaliman. Akhirnya, al-Manshur mengeluarkan perintah agar ia dipenjara dan disiksa lebih keras (hal. 212). Ketika Abu Hanifah bertentangan dengan Khalifah al-Manshur, ia juga dengan tegas membela kebenaran yang ia renungkan dari al-Qur’an, serta memakai diplomasi tingkat tinggi ketika membela prinsipnya.
Otoritas hukum Islam
Sebagai mufti (ulama yang berwenang memberikan fatwa dan ijtihad), Abu Hanifah memegang teguh metodologi penggalian hukum fikih yang sesuai dengan prinsipnya. Dalil fikih Abu Hanifah; (1) al-Qur’an, (2) Sunnah, (3) Pendapat kalangan sahabat, (4) Ijma’, (5)Qiyas, (6) Istihsan, (7) al-Urf.
Dalam konteks ini, Imam Abu Hanifah menerima Ijma’, Qiyas, Istihsan dan al-Urf sebagai bagian dari proyek istinbath al-hukm (penggalian hukum). Ijma’ adalah kesepakatan—tanpa perbedaan—semua mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu perkara. Qiyas, yakni upaya mencari persepadanan antara dalil dengan nash, berdasarkan penyebab (illat terjadinya hukum). Sedangkan, istihsan dapat dimaknai upaya untuk mencari kebaikan dari konsep metodologi berfikih. Dan, al-urf yakni strategi berfikih dengan menerima adat istiadat dalam ruang-waktu tertentu, sepanjang tidak bertentangan dengan nash al-qur’an dan sunnah.
Ijtihad Abu Hanifah dan metodologinya dalam memahami hadist—di samping lingkungan tempat ia tinggal—memengaruhinya untuk melakukan pendekatan qiyas dan membandingkan persoalan-persoalan furu’ ke persoalan pokok. Sebab, dalam ijtihadnya, Abu Hanifah tidak hanya mengkaji hukum berbagai masalah fikih yang sedang terjadi, tapi juga mengkaji hukum berbagai masalah fikih yang belum terjadi dan dimungkinkan akan terjadi (hal. 232).
Sebagai ulama fikih, Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang merumuskan kitab waris dan bab syarat-syarat. Ia juga merupakan ulama yang pertama kali mengklasifikasi fikih dalam bab-bab tertentu. Ia memiliki banyak murid, dan mazhab Hanafi tersebar ke seluruh penjuru dunia, sebagai bagian dari konsepsi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Prinsip berfikih Abu Hanifah, kemudian diteruskan oleh murid-muridnya, di antaranya; Ya’qub ibn Ibrahim ibn Hubaib al-Anshari (Abu Yusuf al-Anshari), Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (Abu Abdillah), Zufr ibn Hudail [].
_______________________________________________________________
Judul Buku : Biografi Imam Abu Hanifah; Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Pengusung Kebebasan Berpikir
Penulis : Dr. Tariq Suwaidan
Penerbit : Zaman, Jakarta
Cetakan : I, 2013
Tebal : 348 hal.