Dalam sejarah politik dan budaya Indonesia, konsep Ratu Adil memiliki tempat yang dihormati dan diidamkan. Mitos ini, yang berakar kuat dalam kesadaran budaya Jawa dan Indonesia secara lebih luas, berkelindan dengan lanskap politik kontemporer, terutama dalam konteks kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pemerintahan Jokowi, yang ditandai dengan pencapaian ekonomi yang signifikan dan kepuasan publik yang tinggi, beresonansi secara menarik dengan ramalan kuno ini, menawarkan perspektif yang unik untuk melihat pemerintahan dan manuver politiknya.
Ratu Adil, muncul dari akar masyarakat sinkretis yang kaya seperti dalam tradisi mistik Hindu, Budha, Islam, dan Jawa. Sosok mesianis ini diramalkan akan muncul di masa-masa kekacauan, memimpin bangsa ini menuju keadilan, kemakmuran, dan keharmonisan. Lebih dari sekadar mitos, Ratu Adil melambangkan harapan dan tolok ukur kepemimpinan, mewakili cita-cita yang terus mempengaruhi politik dan harapan masyarakat Indonesia.
Presiden Joko Widodo merasa bahwa ia mewujudkan sosok legendaris Ratu Adil, sebuah perspektif yang menemukan kesamaan yang mencolok selama masa jabatannya. Khususnya, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,31% pada 2022, menandai tingkat pertumbuhan tertinggi di bawah pemerintahannya dan pemulihan yang kuat dari pandemi COVID-19. Keberhasilan ekonomi ini sejalan dengan sentimen publik, seperti yang ditunjukkan oleh survei Lembaga Indikator Politik Indonesia pada bulan November-Desember 2023. Survei tersebut melaporkan bahwa 76,2% responden merasa puas dengan kinerja Presiden Jokowi, meskipun angka ini sedikit menurun dari tingkat kepuasan 81% yang tercatat pada bulan Juli 2023.
Namun, Ratu Adil bukan hanya figur kehebatan ekonomi, melainkan juga mercusuar pemerintahan yang menyeluruh. Fokus Jokowi pada pembangunan infrastruktur dan visi ambisius bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah pada tahun 2038 sejalan dengan etos ini. Beliau telah menggarisbawahi pentingnya waktu 13 tahun bagi Indonesia untuk melompat ke status negara maju, sebuah tujuan yang terkait dengan aspirasi kemerdekaan Indonesia yang ke-100 pada tahun 2045.
Ratu Adil: Mitos atau Fakta?
Pemerintahannya yang proaktif dan niatnya untuk tetap aktif secara politik (“cawe-cawe”) menjelang pemilihan umum 2024, terutama dalam konteks putranya, Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto, menimbulkan kekhawatiran yang signifikan. Tindakan-tindakan ini mengisyaratkan adanya manipulasi norma-norma demokrasi dan tren nepotisme politik yang meresahkan, yang sangat kontras dengan etos pemerintahan Ratu Adil yang adil dan merata.
Narasi sejarah Ratu Adil dalam politik Indonesia sering kali melambangkan perlawanan dan harapan terhadap kekuatan-kekuatan yang menindas, dengan tokoh-tokoh seperti Diponegoro yang mewujudkan semangat ini. Sebaliknya, naiknya Jokowi ke kursi kepresidenan dan manuver-manuver selanjutnya, termasuk penempatan strategis putranya di arena politik, mengindikasikan adanya penyimpangan dari cita-cita ini. Meskipun pemerintahannya telah berfokus pada penanganan kemiskinan dan ketidaksetaraan, memastikan bahwa pembangunan menjangkau seluruh pelosok Indonesia, pertanyaan kritisnya adalah apakah upaya-upaya ini sejalan dengan integritas demokrasi dan keadilan sosial.
Tingginya peringkat kepuasan dan pertumbuhan ekonomi di bawah kepemimpinan Jokowi dapat dianggap sebagai dukungan atas kualitasnya yang seperti Ratu Adil. Pemerintahannya telah berfokus pada upaya mengatasi kemiskinan dan ketidaksetaraan dan memastikan bahwa pembangunan menjangkau seluruh pelosok Indonesia, sesuai dengan harapan rakyat akan pemimpin yang adil dan jujur. Namun, penting untuk menilai secara kritis apakah persepsi-persepsi ini benar-benar selaras dengan kenyataan di lapangan. Tingkat kepuasan yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang signifikan, tetapi tidak secara otomatis sama dengan pemimpin yang mewujudkan Ratu Adil. Ukuran obyektif dari pemimpin seperti itu terletak pada pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan dan kemampuan untuk mengatasi krisis sambil menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial.
Penyelarasan seorang pemimpin politik modern dengan cita-cita tradisional yang hampir seperti mitos, yaitu Ratu Adil, pada dasarnya merupakan hal yang paradoks. Jokowi, sebagai seorang pemimpin di dunia yang mengglobal dan saling terhubung, menghadapi tantangan yang sangat berbeda dari yang dibayangkan dalam ramalan Jawa kuno. Namun, esensi Ratu Adil – kepemimpinan yang adil, merata, dan visioner – tetap menjadi tolok ukur yang relevan. Hal ini mewakili aspirasi masyarakat akan seorang pemimpin yang dapat menavigasi kompleksitas pemerintahan kontemporer sambil menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemakmuran untuk semua. Namun, tindakan Jokowi, terutama mengenai kenaikan jabatan politik putranya, menunjukkan adanya penyimpangan dari cita-cita yang aspiratif ini.
Agenda ekonomi Jokowi patut dipuji, ditandai dengan pembangunan infrastruktur dan upaya-upaya untuk meningkatkan standar hidup. Namun, perjalanan menuju menjadi negara maju, seperti yang dibayangkan oleh Jokowi, membutuhkan lebih dari sekadar pertumbuhan ekonomi. Hal ini menuntut distribusi kekayaan yang adil, memastikan bahwa kemajuan tidak hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi juga mengangkat seluruh penduduk. Aspek ini selaras dengan visi Ratu Adil, di mana kemakmuran bukan hanya sekedar angka di atas kertas, melainkan sebuah kenyataan yang dialami oleh setiap warga negara.
Indonesia yang kaya akan sumber daya alam menghadapi tantangan lingkungan yang signifikan. Menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan kelestarian lingkungan merupakan ujian penting bagi pemerintahan Jokowi. Sang Ratu Adil bukan hanya pemimpin rakyat, tetapi juga seorang penatalayanan tanah. Dalam hal ini, kebijakan dan tindakan Jokowi terhadap konservasi lingkungan dan penggunaan sumber daya yang berkelanjutan akan menjadi ukuran penting dari keberpihakannya terhadap cita-cita Ratu Adil.
Aspek penting lainnya adalah pendekatan Jokowi terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Dengan niatnya untuk tetap aktif secara politik, Jokowi berjalan di antara dua hal, yaitu memandu politik Indonesia dan membayangi proses demokrasi. Inti dari kepemimpinan Ratu Adil bukan hanya tentang membimbing bangsa ini melewati tantangan ekonomi, namun juga tentang memelihara dan melindungi prinsip-prinsip demokrasi dan memastikan bahwa setiap suara didengar dan dihargai.
Keterlibatan aktif Jokowi dalam politik, terutama menjelang pemilu 2024, menunjukkan rasa tanggung jawabnya, tetapi juga menimbulkan pertanyaan kritis tentang dinamika kekuatan politik dan kesehatan demokrasi jangka panjang di Indonesia. Selain menunjukkan komitmen terhadap keberlangsungan pemerintahan dan kebijakan, keterlibatan ini juga mengundang pengawasan. Keseimbangan yang rumit antara mempertahankan pengaruh dan mendorong proses demokrasi yang kuat membutuhkan navigasi yang cermat untuk menghindari jebakan dinasti politik dan kecenderungan otoriter.
Bagi Jokowi dan Indonesia, tantangan ke depan adalah mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan mengatasi isu-isu yang lebih dalam seperti korupsi, kelestarian lingkungan, dan hak asasi manusia. Economist Intelligence Unit (EIU) melaporkan bahwa pada tahun 2022, Indonesia mempertahankan skor Indeks Demokrasi di angka 6,71, sama seperti tahun 2021. Namun, peringkatnya turun ke posisi 54 dari 52, yang dikategorikan sebagai “demokrasi yang cacat”.
Selain itu, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia turun dari 38 pada tahun 2021 menjadi 34 pada tahun 2022, menempatkan Indonesia di peringkat ke-110 dari 180 negara yang dinilai. Indonesia telah menghadapi kritik internasional di bidang-bidang ini, dan menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan tanggung jawab lingkungan dan sosial sangat penting bagi seorang pemimpin yang bercita-cita menjadi Ratu Adil. Keseimbangan ini adalah inti dari nubuat Ratu Adil – seorang pemimpin yang membawa kemakmuran dan memastikan keadilan dan keharmonisan.
Ilusi Ratu Adil
Keasyikan Jokowi dalam mewujudkan Ratu Adil adalah ilusi dan berpotensi merusak. Hal ini mengalihkan fokusnya dari langkah-langkah konkret yang diperlukan untuk memperkuat lembaga-lembaga demokrasi Indonesia dan mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi di negara ini. Ukuran sebenarnya dari seorang pemimpin tidak terletak pada pemenuhan ramalan kuno, tetapi pada kerja keras untuk memperbaiki tatanan demokrasi bangsa dan memastikan keadilan dan kemakmuran bagi semua warganya.
Jokowi perlu mengakui bahwa sejarah Indonesia telah memberikan pelajaran penting melalui kegagalan berulang dari gerakan Ratu Adil. Gerakan ini, yang sering kali mencampuradukkan mitos dengan kepemimpinan, menunjukkan risiko yang besar dalam politik nasional. Meskipun mitos Ratu Adil memiliki resonansi kuat dalam budaya Indonesia, penggunaannya oleh Jokowi dalam konteks kepemimpinan dapat membahayakan prinsip demokrasi dan mengesampingkan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, mitos ini seharusnya menjadi sumber inspirasi, bukan sebagai dasar untuk mengambil keputusan dalam pemerintahan.
Fokus Jokowi seharusnya bergeser ke arah pencapaian pemerintahan yang nyata dan melestarikan warisan demokrasi Indonesia, menghindari jebakan mitos yang ideal. Pada momen penting ini, muncul pertanyaan: Haruskah kepemimpinan diambil dari mitos-mitos kuno atau berpijak pada tata kelola pemerintahan yang praktis dan prinsip-prinsip demokrasi?
Dalam hal ini, peran masyarakat Indonesia menjadi semakin signifikan. Advokasi yang konstruktif, dialog yang informatif, dan keterlibatan dengan perwakilan politik sangat penting untuk mengarahkan pemerintah menuju model pemerintahan demokratis yang lebih realistis. Demonstrasi bukanlah jalan yang negatif, tetapi merupakan upaya terakhir dari masyarakat, yang menandakan adanya kebutuhan akan perubahan. Pertemuan damai dan wacana publik tidak hanya merupakan hak-hak demokratis, tetapi juga penting untuk menyeimbangkan aspirasi kepemimpinan dengan kebutuhan rakyat. Keterlibatan kolektif ini sangat penting dalam mengalihkan fokus bangsa dari daya tarik narasi mitos ke masa depan yang dibangun di atas pencapaian nyata, nilai-nilai demokrasi, dan kesejahteraan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Virdika Rizky Utama, Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University