Sejak kecil, saya sudah dikenalkan dan diajari ilmu tauhid oleh orang tua maupun guru madrasah. Menghafal sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah maupun rasul-Nya adalah kebiasaan kami waktu itu. Wujud, qidam, baqa’, mukholafatulil khawadis, qiyamuhu binafsihi, wahdaniyah, dst.
Yang ditekankan oleh guru kami pada waktu itu: “orang mukallaf wajib hafal aqaid 50”. Yang terdiri: 41 sifat tentang aqidah ilahiyyah (ketuhanan) dan 9 sifat tentang aqidah nubuwwah (kenabian). Itu ajaran tauhid yang paling dasar.
Terkadang, 20 sifat wajib bagi Allah yang baru kita hafal, langsung kita dendangkan melalui TOA masjid sembari menunggu jamaah shalat fardhu berdatangan.
Belajar ilmu tauhid bukanlah perkara yang mudah. Kita disuruh meyakini terkait segala hal yang kita sendiri tidak pernah melihatnya secara kasat mata: Tuhan dan nabi. Namun, kita diminta untuk mengimani dengan adanya dalil-dalil dari kitab suci al-Qur’an.
Saking sulitnya belajar ilmu ini, kita dikasih batasan-batasan yang kita sendiri dilarang untuk menjangkaunya. Seperti ketika muncul pertanyaan nakal khas anak kecil: Tempat tinggal Allah itu ada di mana ya? Allah sekarang lagi ngapain ya? Allah bisa tidak menciptakan batu besar, sebesar matahari? dll
Maka, nasehat oleh guru kami:“pikiran kita nggak akan nyampe”.
Wajar jika dalil “Tafakkaru fil-kholqillah wa laa tafakkaru fil-khooliq” (Berpikirlah tentang apa yang diciptakan dan janganlah berpikir tentang Pencipta)—selalu diingatkan kepada kami jika pikiran nakalnya sudah melayang ke ranah yang tak mampu lagi kita raba.
“Kalau nggak kuat, kamu bisa gila!”. Ujar guru ilmu tauhid kami.
Makanya, belajar ilmu tauhid saja tidak cukup. Harus dibekali dengan ilmu-ilmu lain. Mengenal Allah pun demikian, harus disertai dengan melihat keagungan ciptaan-ciptaan-Nya. Dengan begitu, kita akan menangkap kebesaran dan keagungan-Nya.
Kalimat tauhid itu adalah suci. Karenanya, ketawadluan harus dicerminkan. Bukan untuk menakut-nakuti yang lain dengan simbol-simbol perjuangan dan agenda gerakan partai politik. Menjaga kalimat tauhid tanpa harus dikibarkan. Tidak menyukainya tanpa harus membakar. Namun, sebagai pengingat menuju kebadian yang selalu dilafalkan dalam hati. Itulah ciri-ciri Muslim Indonesia.
Bahkan, Rasulullah sendiri pernah bersabda, barang siapa yang menjelang ajal dapat mengucapkan kalimat tauhid (“Laa ilaaha illallah”), maka dia akan masuk surga.
Bagi Muslim Indonesia: ketauhidan adalah lelaku. Bahwa kita mengakui adanya tuhan, dan dengan-Nya, kita menghargai kemanusiaan. Puncak ketauhidan adalah menghancurkan kesombongan dan hawa nafsu. Merasa menang sendiri, merasa paling benar, merasa paling mayoritas.
Peristiwa pembakaran bendera tauhid belakangan ini mungkin sebagai alarm untuk bangsa ini, bahwa menjaga persaudaraan antar sesama umat islam (ukhwah islamiyyah), menjaga persaudaraan kebangsaan (ukhwah wathaniyyah), dan menjaga persaudaraan kemanusiaan (ukhwah basyariyyah), sudah jauh jaraknya di antara kita dan perlu kita rajut kembali
Saya masih yakin, bahwa umat islam Indonesia mempunyai kebesaran jiwa untuk saling memaafkan dan menjaga ikatan persaudaraan, karena itu memang fitrahnya. Asal, tidak ditunggangi oleh agenda kekuasaan yang dimainkan oleh para elit politik yang menghalalkan segala cara. Wallahhu a’lam.
Muhammad Autad Annasher, penulis adalah hamba Allah yang bisa disapa lewat akun twitter @autad.