Nahwu adalah disiplin ilmu independen. Dan tasawuf juga bagian dari disiplin ilmu lain. Perpaduan keduanya -sebagaimana telah dilakukan oleh al-Qusyairi- dalam satu wadah merupakan sebuah ilmu baru yang kita sebut sebagai ilmu nahwu sufi atau nahwu hati. ~Ibrahim Basyuni & Alimuddin Al-Jundi
Adalah Abdul karim bin Hawzan bin Abdul Malik bin Thalhah al-Qusyairi al-Syafii. Nisbat al-Qusyairi merupakan tanda bahwa ia berasal dari klan Bani Qusyair bin Ka’b. Sedangkan penisbatan terakhir, al-Syafii, menunjukkan bahwa dalam madzhab fikih, Syekh Abdul Karim Hawzan merupakan penganut madzhab yang didirikan oleh Imam as-Syafi’i tersebut. Dan dalam akidah, ia adalah seorang Asya’irah (pengikut Abu Hasan al-Asy’ari). Pada titik ini, teramat jelas bahwa ia adalah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ia merupakan seorang sufi, mufassir juga ahli dalam bidang hadis, fikih-ushul fikih. Selain itu ia juga seorang sastrawan yang ahli dalam menggubah syair. Dilahirkan pada bulan Rabiul Awwal tahun 347 H dan wafat pada tahun 465 H di Naisabur. Jenazahnya disemayamkan di sebelah gurunya yang mulia dan yang paling membentuk kecenderungan sufistik al-Qusyairi, Syekh Abu Ali Ad-Diqaq.
Sebagai seorang ulama yang memiliki kemampuan dalam beragam disiplin ilmu, al-Qusyairi telah menghasilkan karya lintas disiplin. Di antaranya ia menulis: al-mi’raj (mengulas tentang mikrajnya Nabi), Syarh al-Asma’ al-Husna, Tartib as-Suluk, Lathaif al-Isyarat (tafsir), Nasikh al-Hadith wa mansukhihi (ilmu hadis), dan dalam bidang tasawuf yang paling terkenal adalah ar-risalah al-Qusyairiyyah. Kitab yang disebut terakhir ini bagi pengkaji tasawuf merupakan salah satu di antara kitab yang penting dan menjadi rujukan primer.
Selain dua karya tasawuf yang telah disebutkan di atas, al-Qusyari juga memiliki karya yang memadukan ilmu gramatikal Arab (Nahwu) dengan ilmu tasawuf. Ia menamakan karyanya tersebut dengan nama “Nahwu al-Qulub” (fikih hati). Sekilas dari nama tersebut sudah menjelaskan isi kitab yang ditulisnya. Al-Qusyairi menulis kitab Nahwu al-Qulub dalam dua versi; shagir (kecil dan ringkas) dan kabir (besar dan luas). Dalam versi yang ringkas, al-Qusyairi hanya mengulas empat bab utama (pembagian kalam, isim, i’rab wal bina’, dan bab badal) dan sejumlah fasal. Sedangkan dalam versi yang agak luas dan panjang, ia mengulas secara lebih dalam dan menyeluruh serta membaginya ke dalam enam puluh fasal.
Nahwu Sufistik al-Qusyairi
Nahwu secara bahasa adalah sebuah kaidah yang mengatur tata bahasa agar benar dalam mengucapkan atau menuliskan. Sementara al-Qalb bermakna hati. Jadi, Nahwu al-Qalb adalah sebuah cara menuju agar dapat mengucapkan kalimat dengan secara baik. Secara umum, nahwu qalb terbagi menjadi dua:
- al-Munada, merupakan sifatnya ahli ibadah.
- al-Munajat, merupakan sifatnya ahli hakikat.
Dalam tata bahasa Arab, ada empat tanda perubahan akhir kalimat (i’rab) ; rafa’, nashab, khafd, dan jazm. Begitu juga dalam perspektif ilmu nahwu sufi, bahwa hati juga memiliki empat tanda yang sama.
Rafa’ bagi seorang sufi adalah tingginya himmah seseorang untuk mendekat dan beribadah hanya kepada dan karena-Nya. Sedangkan nashab adalah tergelar atau kesiapan badan untuk taat kepada-Nya. Sementara Khafdz adalah menundukkan diri dan hati seseorang kepada-Nya. Dan jazm adalah menguci rapat-rapat hati seorang hamba dari selain-Nya.
Dalam bab selanjutnya, al-Qusyairi mengatakan bahwa dalam nahwu kita mengenal dua bentuk isim; ma’rifat dan nakirah. Dalam perspektif nahwu sufi, ma’rifat-nakirah merupakan sebuah gambaran atas kondisi seorang hamba. Adakalanya seorang hamba adalah orang yang terkenal, memiliki derajat tinggi dalam masyarakatnya dan mendapat kehormatan sebab kejujuran dan sifat-sifat mulianya. Adakalanya juga seorang hamba adalah “nakirah”, yang tidak memiliki kedudukan dan pengaruh kebaikan apapun dalam masyarakatnya bahkan ia hanya numpang makan dan tidur.
Apa yang telah dilakukan oleh Al-Qusyairi ini yang kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Ajibah dalam memberikan komentar atas kitab al-Jurumiyyah dengan pendekatan sufistik. Sangat dimungkikan bahwa Ibnu Ajibah terinspirasi oleh karya al-Qusyairi ini mengingat Ibnu Ajibah lahir jauh setelah al-Qusyairi wafat.
Wallahu A’lam bi as-Shawab