Barangkali ini rahasia umum yang sering dibicarakan orang-orang saat membincang mahasiswa kedokteran: anak FK itu belajar praktikum anatomi menggunakan mayat manusia–yang disebut kadaver. Bagaimanapun anekdot seputar anak FK ini dibincangkan, ilmu anatomi meliputi organ tubuh berikut fungsinya mutlak dipelajari tenaga kesehatan, agar perlakuan dan pengobatan dapat dilakukan atas dasar yang jelas.
Perlu Anda ketahui, sejarah pembelajaran anatomi mengalami dinamika yang menarik. Mari kita bicarakan yang terjadi saat kerajaan-kerajaan Islam era klasik, terutama masa Dinasti Abbasiyah sampai akhir abad ke-12 Masehi.
Anatomi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari bagian dan fungsi organ tubuh, memerlukan identifikasi wujud organ secara langsung. Hal ini meniscayakan, untuk pengamatan organ-organ yang lebih dalam, diperlukan diseksi–membedah dan mengurai tubuh manusia secara sistematis. Galen dan Herophilus, dua dokter era Yunani yang menjadi rujukan berabad-abad setelahnya, memulai diseksi tubuh manusia didorong keinginan yang kuat untuk lebih memahami fungsi tubuh manusia.
Para dokter muslim pun merujuk pada informasi anatomi yang disusun dalam karya-karya Galen. Ibnu Sina dan Ar-Razi contohnya, merujuk Galen dalam kanon mereka. Selain lewat kajian literatur, para dokter muslim mengenali organ tubuh manusia dengan melakukan diseksi pada hewan-hewan, mulai dari hewan seperti unta, sapi, sampai kera yang dinilai paling mendekati manusia. Bedah mayat tidak dilakukan kalangan muslim maupun non-muslim baik Kristen maupun Yahudi. Alasannya kebanyakan merujuk pada larangan dalam agama untuk menyakiti manusia–meskipun telah mati.
Tapi bukan berarti Galen, berikut Ibnu Sina maupun dokter-dokter lain yang punya otoritas, tidak direspon oleh temuan-temuan baru. Di antara sosok yang berkontribusi dalam temuan baru bidang anatomi adalah dua orang ini: Ibnu Nafis (1210-1288) dan Al Baghdadi (wafat 1162-1231 M).
Konon menurut Galen, sebagaimana dirujuk Ibnu Sina dan Ar Razi, jantung sebagai pemompa darah terdiri dari dua rongga, yang di antara keduanya ada celah penghubung. Darah dari seluruh tubuh masuk ke rongga kanan, melewati celah penghubung, masuk ke ruang sisi kiri dan dialirkan ke seluruh tubuh.
Ibnu Nafis menunjukkan hal baru. Ia menunjukkan bahwa jantung tidak memiliki kanal penghubung di antara keduanya. Dengan demikian, agar darah bisa beralih dari rongga kanan ke kiri, ia mesti melalui sirkulasi yang lain. Hal inilah yang mencetuskan gagasan sirkulasi pulmoner/sirkulasi darah yang melewati paru.
Di era sekarang, konsep sirkulasi pulmoner ini dipahami bahwa darah yang beredar dari seluruh jaringan tubuh yang kaya akan CO2, kembali ke jantung lewat sirkulasi sistemik. Dalam sirkulasi pulmoner, jantung mengalirkan darah ke paru agar darah kaya CO2 tadi ditukar molekulnya dengan oksigen yang dihirup manusia – dan CO2 yang ditukar dengan oksigen menjadi hembusan napas. Darah yang melewati paru – dan kaya akan oksigen – kembali ke jantung dan diedarkan kembali ke seluruh tubuh.
Konsep sirkulasi di atas mampu menjelaskan mekanisme penyebaran nutrisi dan udara ke seluruh tubuh serta kaitan antara sistem perdarahan dengan sistem pernapasan. Konsep ini tercatat dalam syarah Ibnu Nafis atas Al Qanun fi Thib karya Ibnu Sina, sebagai komentar atas pengetahuan anatomi Ibnu Sina yang merujuk pada Galen.
Ibnu Nafis menyatakan bahwa tidak ada celah penghubung antara dua ruang jantung (dulu jantung tidak dipahami dengan empat ruang seperti deskripsi anatomi sekarang). Dinding pemisah (septum) jantung yang tidak dapat dilalui cairan menunjukkan ketiadaan celah tersebut. Temuan ini menandakan bahwa Ibnu Nafis agaknya telah melakukan observasi dan eksperimen langsung atas organ jantung – kendati bukan jantung manusia.
Selain soal jantung, temuan Al-Baghdadi membaharui ilmu anatomi Galen seputar struktur tulang rahang. Galen memahami bahwa tulang rahang terdiri dari dua buah – kanan dan kiri. Tapi Al Baghdadi dalam karya catatan perjalanannya ke Mesir, Al-Ifadah wal-I’tibar fi al-Umur al-Musyahadah wal-Hawadith al-Mu’ayyanah bi Ardl Mishr, menjelaskan identifikasinya atas tengkorak-tengkorak masyarakat Mesir akibat bencana kelaparan kurun abad 11-12. Ia menyimpulkan dari banyaknya tengkorak itu bahwa tulang mandibula – tulang rahang – hanya terdiri dari satu struktur saja, tidak sepasang.
Dua temuan baru bidang anatomi di atas meneguhkan bahwa observasi mendalam dapat memperbarui ilmu anatomi yang sudah mapan. Sayangnya, kuasa otoritas anatomi dari Galen telah berlangsung sekian masa dan menjadi basis luas pengetahuan dokter-dokter era Islam klasik. Akibat adanya kuasa ilmu tersebut, dan juga terbatasnya medium penyebaran ilmu, menjadikan temuan Ibnu Nafis dan Al Baghdadi baru diterima di masa yang jauh setelahnya.
Diseksi manusia di kalangan masyarakat muslim saat itu memang masih kontroversi. Meski tidak dilakukan, seorang dokter era Dinasti Ayyubiyah bernama Ibnu Jumay Al Israili, menyatakan pentingnya diseksi manusia sebagai cara belajar anatomi yang terbaik.
“… mempelajari tubuh manusia per bagian berikut fungsinya mesti menggunakan eksperimen/pengalaman (hiss) dan observasi (musyahadah), agar tersingkap bagaimana warna dari suatu organ, fungsi normalnya, bentuknya, konsitensinya, tiap-tiap ruangnya, ukurannya, jumlah dan posisinya, kaitan antara satu sama lain, dan bagaimana ia memiliki fungsi yang melingkupi seluruh tubuh saat diperlukan…”
“…pengalaman (belajar anatomi manusia dengan baik) semacam itu hanya bisa datang dari diseksi (bedah) anatomis tubuh manusia (tasyrih al-abdan al-basyariyyah). Sayangnya diseksi anatomi manusia ini tidak dapat dilakukan dengan mudah dan tiap waktu, sehingga pengetahuan anatomi menjadi kurang memadai kecuali diikuti diseksi anatomi pada hewan-hewan yang strukturnya mirip dengan manusia, seperti kera.”
Dapat kita pahami dari uraian di atas bahwa ilmu anatomi di era Islam klasik banyak bersumber dari kajian literatur serta diseksi hewan mamalia khususnya kera, yang struktur tubuhnya mirip manusia. Sampai akhir abad kedua belas, ilmu anatomi Galen menjadi basis ajaran di institusi kedokteran masyarakat Islam. Meski masih menjadi kontroversi, gagasan diseksi tubuh manusia untuk ilmu kedokteran yang lebih baik sudah mulai disuarakan.
Konon otopsi, yang menjadikan identifikasi organ hasil diseksi mayat kadaver sebagai cara pembelajaran anatomi, pertama kali dilakukan di Italia, seiring pesatnya perluasan dan perkembangan ilmu kedokteran di Eropa. Diseksi dan penggunaan kadaver secara luas banyak dimulai di Eropa karena didukung oleh perkembangan diskursus filsafat moral dan etika mengenai kebolehan membedah mayat untuk pembelajaran. Pengetahuan yang lebih akurat tentang anatomi lewat diseksi dan penggunaan mayat ini juga turut melempangkan perkembangan ilmu bedah dan cabang ilmu kedokteran lainnya.
Bagaimanapun perkembangan pembelajaran anatomi yang berlangsung dari masa ke masa, pepatah bahasa Latin ini senantiasa jadi pedoman: Sine anatomia nihil medici. Tanpa ilmu anatomi, tidak ada ilmu kedokteran. Tanpa pengetahuan anatomi yang baik, tidak ada dokter yang baik.