Al-Qur’an menjadi saksi sejarah selama berabad-abad, hadir di tengah peradaban dan pergaulan ummat manusia. Selama sejarahnya yang panjang itu ia telah berperan sebagai unsur utama dari pembentuk kepribadian ajaran Islam. Al-Qur’an berkedudukan sebagai kitab suci, yang merupakan sumber utama rujukan segala hal yang bersangkut-paut dengan kepercayaan, peribadatan, pedoman moral, perilaku sosial, dan individu. Kitab suci ini juga menjadi sumber ilham dan rujukan karya-karya sastra besar dan ilmu-ilmu bahasa. Pemeluk teguh agama Islam meyakini benar-benar bahwa kalam Ilahi ini merupakan mukjizat abadi penutup kerasulan dan kenabian. Jika kita hendak mengetahui wajah, watak, dan hakiki ajaran Islam yang asli, jangan lihat pemeluk agamnya. Tataplah kitab sucinya, menyimaknya secara mendalam dan menghikmatinya.
Salah satu polemik tentang al-Qur’an yang sering terdengar sumbang adalah sistimatika perurutan ayát-ayat dan surah surahnya sangat kacau. Ia berpindah dari satu uraian ke uraian yang lain, walaupun uraian yang pertama belum tuntas. Sedangkan uraian berikutnya sering tidak mempunyai hubungan dengan uraian terdahulu. Isinya tidak sistematis. Peralihan pokok pembicaraan dari satu bagian ke bagian berikutnya tampaknya tidak mengikuti suatu aturan atau struktur pengurutan tertentu, entah dari segi isi, masa dan tempat turun, konteks, dan sebagainya.
Umat yang tidak secara khusus mempelajari al-Qur’an akan kesulitan menangkap ide-ide utama yang ingin al-Qur’an sampaikan tentang pelbagai hal penting terkait Tuhan, manusia sebagai individu, alam, kenabian dan wahyu, eskatologi, kebaikan dan kejahatan, dan kehidupan masyarakat. Selain itu persoalan perurutan ayat dan surah-surah al-Qur’an secara tematik masih belum mendapat perhatian yang cukup dari para mufassir.
Ada semacam kekhawatiran dari kesarjaanaan muslim bahwa penafsirannya bakal dianggap menyimpang dari pandangan tradisional yang telah mapan dan diterima lúas. Risiko terakhir ini tidak bisa dihindari dan mesti disikapi dengan kejujuran dan kesadaran. Masih ditambah lagi lemahnya kepekaan penafsir akan relevansi al-Qur’an dalam merespons kebutuhan manusia kontemporer.
Kita bisa sedikit lega dengan hadirnya Tema-Tema Pokok al-Qur’an (2017) karya Fazlur Rahman ini. Ia berani mengambil risiko mengelompokkan ayat-ayat secara tematis (Tuhan, manusia sebagai individu, alam, kenabian dan wahyu, eskatologi, kebaikan dan kejahatan, dan kehidupan masyarakat) kemudian menyodorkan penafsirannya sendiri atas tema-tema tersebut. Dia pun secara kritis menampilkan gaya penafsiran seorang modernis yang menghargai kebebasan dari ikatan-ikatan hierakis lokal, me nyesuaikan diri dengan kemajuan sains dan ekonomi, dan yang lebih penting menolak pandangan masa lalu yang tidak sesuai dengan spirit kemajuan.
Fazlur Rahman (1919-1989) –yang sejak kecil mendapatkan disiplin ilmu tafsir, hadits, dan fikih, hadis, ilmu kalam, logika, dan filsafat dari ayahnya Maulana Shihab al-Din– ia mampu mengombinasikan tema-tema dalam al-Qur’an lebih bersifat logis daripada kronologis. Hal ini berbeda jauh dengan pendekatan logis disektif yang memang bermanfaat bagi kajian akademik tetapi menolak pretensi apa pun dalam memperlakukan al-Qur’an sebagaimana fungsi seharusnya: pesan Tuhan kepada manusia.
Selama ini karya-karya yang berfokus pada kandungan al-Qur’an, kebanyakan berkutat pada aspek-aspek tertentu dari al-Qur’an, dan tidak ada yang berakar kepada al-Qur’an itu sendiri. Karya-karya tersebut menunjukkan cara pandang eksternal yang mendikte. Sangat jarang kita temukan karya yang menyajikan al-Qur’an dengan istilah-istilah yang digunakan al-Qur’an sendiri sebagai sebuah kesatuan utuh. Al-Qur’an mesti dibiarkan berbicara sendiri. Tafsir digunakan sebatas jika diperlukan untuk menautkan berbagai gagasan. Dan inilah yang coba dilakukan Fazlur Rahman dalam Tema-Tema Pokok al-Qur’an.
Mufasir Tematik
Keberanian Fazlur Rahman membuat tafsir tematik mengingatkan kita dengan seorang mufasir asal Damaskus: Ibrahim bi Umar al-Biqa’iy (809 H – 885 H). Bisa dikatakan ia pakar pertama yang membicarakan keserasian ayat-ayat al- Qur’an di Baghdad. Al-Biqa’iy dinilai oleh banyak pakar sebagi ahli tafsir yang telah berhasil menyusun suatu karya yang sempurna dalam bidang tafsir tematik. Bukan saja terlihat dari tafsirnya yang meliputi keseluruhan al-Qur’an, tetapi juga cakupan pembahasannya serta keaneka ragaman keserasian yang diungkapkannya.
Salah satu kitab tafsirnya yang terkenal Nazhm al-Durar Fi Tanasub al-Ayat wa Suwar mendapat pengakuan dari berbagai mufasir sebagai ensiklopedi lengkap dalam bidang studi keserasian ayat-ayat dan surah-surah al-Qur’an. Terkati biografi dan karya-karya bisa dilacak dalam Ulumul Qur’an, vol1.1989/140H. Setelah al-Naisabury barulah bermunculan ulama-ulama yang membahas persoalan ini seperti: Abu Bakar Ibn al-Zubair, Fakhruddin al-Razy, Jalaluddin al-Sayuthi, Ibrahim al-Biqa’iy, termasuk ulama-ulama terdahulu. Kemudian Syeikh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Mahmud Syaltut, dari ulama-ulama mutakhir setelahnya.
Sepanjang abad ke-20, banyak pemikir Muslim berusaha menempatkan al-Qur’an di pusat agenda sosial umat Islam. Di antara yang paling terkenal adalah Mahmûd al-Hasan yang menerbitkan tafsir-tafsir al-Qur’an dalam bahasa Urdu seperti Tafsir Tsânwi, Bayân al-Qur’ân yang diterima cukup baik di kalangan pembaca di Jazirah Indo-Pakistan. Di Mesir, para murid Muhammad ‘Abduh menerbitkan Tafsir al-Manar, yang diterima secara luas meski tafsir tersebut tidak mencakup keseluruhan isi al-Qur’an. Kemudian, Sayyid Quthb menerbitkan tafsir agung Fi Zhiläl al-Qurân. Karya Quthb ini menyajikan tafsir sosial atas berbagai tantangan yang tengah dihadapi dunia Islam pada pertengahan abad ke-20 dan mengarahkan agenda sosial yang mesti diperjuangkan masyarakat Muslim. Muhammad Husain Thabathabâ’î dari Iran juga beroleh popularitas besar dengan karyanya Tafsîr al-Mîzân. Di Pakistan, Abû al-A’lâ Maudûdî, pendiri Jama’at-i Islâmî, memublikasikan Tafhîm al-Qur’ân yang menyodorkan tafsir detail tentang manifesto politik dan sosial untuk melakukan reformasi.
Kita menduga di masa mendatang akan bermunculan para mufasir baru dengan berbagai karyanya. Karena memang al-Qur’an tiada pernah kering untuk ditimba mutiara hikmah yang tersimpan di dalamnya. Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda. Jika seseorang mempersilahkan orang lain memandangnya, maka orang itu akan melihat jauh lebih banyak dari apa yang orang pertama itu melihatnya. Al qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan penafsiran dan tadabur yang tak terbatas. Ayat al-Qur’an selalu terbuka (untuk interpretasi) baru
Setidaknya kita telah tahu bahwa tingkat keberhasilannya seorang mufasir diukur dari sejauh mana ia mampu melingkupi dan menjelaskan realitas secara relatif utuh, terpadu, saling berkait, dan sederhana. Lebih dari itu, ia mesti memiliki kekuatan yang mampu memberi penjelasan terhadap realitas yang terus berubah dan ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Saya kira Fazlur Rahman, dengan hadirnya Tema-Tema Pokok al-Qur’an, telah berikhitar keras sampai pada tahap itu.