Hingga detik ini, tinggat kepanikan masyarakat di seluruh Indonesia akan wabah Corona atau COVID-19 masih tinggi. Kepanikan masyarakat yang semakin menjadi-jadi dengan disinformasi seputar wabah ini. Agamawan – dengan dalih tawakal kepada Tuhan – kadang menyepelekan dan dianut oleh masyarakat luas dalam menghadapi wabah tersebut. Terlebih melalui berbagai berita maupun statemen yang masif dikeluarkan oleh aparat pemerintah, politisi, maupun pesohor di televisi.
Tak lupa, secara bersamaan, dalil-dalil pun bertebaran. Bahwa kita tidak perlu takut Corona, takutlah hanya pada Allah, dan menyepelekan himbauan pemerintah serta menolak melakukan social distancing atau lockdown diri di rumah. Dibungkus dengan dalih tawakal kepada Allah. Atau narasi-narasi konspiratif yang sering dibicarakan dari satu grup whatsApp ke grup lain. Kalau bukan dari Al-Qur’an ya dari Hadis; kalau tidak dari Hadist ya dari Fiqh; atau kalau bukan dari ustaz ini ya ustaz yang itu. Duh.
Seperti halnya pada wabah-wabah lainnya ataupun bencana yang menimpa umat di seluruh dunia yang bersifat misterius, wabah Corona hadir sepaket dengan mitos dibelakangnya. Baik berupa anggapan bahwa semua itu azab dari Tuhan, kualat sebagai bentuk hukuman akibat dari segala tindakan buruk, peringatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, dan seterusnya.
Dalam perspektif tradisi budaya Jawa, hal tersebut berkaitan dengan konsepsi jagat cilik atau mikrokosmos dengan jagat gedhe atau makrokosmos yang bersifat wengku-winungku atau saling menopang. Dalam istilah Mark R. Woodward, sejalan dengan konsep di atas, salah satu prinsip utama dalam pemikiran keagamaan Jawa adalah segala sesuatu yang ada itu tersusun dari wadah dan isi (Woodward 1999: 104).
Artinya, alam semesta, bentuk, fisik tubuh, dan kesalehan normatif – dalam hal ini menjalankan rangkaian dari rukun Islam maupun rukun iman – seluruhnya adalah representasi dari konsep wadah. Sementara itu, Allah, Sultan, kadar keimanan, nafsu, dan mistisisme, semua adalah representasi dari konsep isi. Dalam perjalanannya, dua konsep tersebut saling menopang. Mesk demikian, lanjut Woodward, seringkali keduanya berjalan secara kontradiktif.
Pasalnya, pada tataran normatif, wadah yang memiliki tujuan menjaga, menahan, dan membatasi isi, seringkali justru meruntuhkan begitu saja isi itu sendiri. Di sini, muncul sebuah kesimpulan bahwa pada satu sisi, Allah memiliki kehendak yang mutlak atas segala sesuatu yang terjadi (qadha dan qadar). Di sisi lain, kadar keimanan sebagai representasi dari manusia turut menentukan keadaan alam semesta dan segala yang terjadi padanya.
Di masa silam, terdapat sebuah pupuh tembang Asmarandana, yang menyimpan pesan kepada setiap manusia yang sedang dilanda kepanikan akibat peristiwa tertentu. Secara umum, isi dari tembang ini adalah kisah-kisah cinta, baik hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, maupun manusia dengan Tuhan. Salah satunya adalah tembang yang berjudul aja turu sore kaki.
Aja turu sore kaki
Ana dewa nganglang jagat
Nyangking bokor kencanane
Isine donga tetulak
Sandhang kalawan pangan
Ya iku bageanipun
Wong melek sabar lan nrima
–Tembang Asmarandana 6
Pada bait pertama, secara harfiah memiliki arti jangan tidur terlalu awal atau dini. Maksudnya, jangan tergesa-gesa masuk dalam alam tidur. Dalam konteks ini, tidur tidak hanya dipahami sebatas memejamkan mata, namun lebih dari itu, janganlah memejamkan kesadaran kita akan kondisi diri sendiri dan sekeliling.
Kita harus berusaha untuk setidaknya mencegah tersebarnya wabah tersebut dengan waspada, meningikuti segala himbauan yang ada seperti yang telah dijelaskan di atas dan senantiasa berdoa kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Jika kita merasakan gejala-gejala, segeralah mendatangi lembaga kesehatan terdekat. Dalam perspektif Islam, tingkatan ini merupakan ikhtiar yang wajib dilakukan oleh setiap manusia.
Pada bait selanjutnya, yakni bait kedua, Ana dewa nglanglang jagat (karena ada dewa yang mengelilingi alam raya); ketiga, Nyangking bokor kencanane (Ia akan menenteng bokor emasnya); keempat, Isine donga tetulak (Yang berisi doa penolak untuk bala’); dan Sandhang kalawan pangan, (Juga berisi sandhang dan pangan); dapat kita pahami bahwasannya dalam konteks ini, segala bentuk kesembuhan ataupun terhindarnya kita dari wabah Corona tersebut merupakan hak prerogatif dari Langit (Allah).
Baca juga: Slametan: Ruang belajar Sehari-hari Muslimah Jawa
Pada dua bait terakhir, yakni bait keenam, Ya iku bageanipun (Ini adalah bagian); dan bait terakhir, Wong melek sabar lan nrima (Bagi orang yang suka tirakat di malam hari, sabar, dan menerima), memberikan penjelasan bahwa setelah kita telah berusaha untuk melakukan ikhtiar dengan pencegahan terhadap wabah dan senatiasa berdoa kepada Allah, maka tibalah kita pada tingkatan sabar dan menerima atas segala yang telah terjadi.
Itulah yang disebut tawakal. Menerima dengan ridha serta rela atas setiap keputusan serta ikhlas terhadap apapun yang telah Allah tetapkan pasti sebenarnya untuk kebaikan kita. Dalam perspektif Islam, tingkatan tawakal hadir setelah ikhtiar dilaksanakan terlebih dahulu.
Tembang Asmarandana telah memberi himbauan supaya kita seimbang antara ikhtiar dan tawakal dalam menghadapi apapun. Usaha dan doa harus seimbang, bukannya bersikap pasrah total alias fatalis. Maka dari itu, kepada seluruh warga Indonesia, tetap tenang dan waspada, patuhi segala himbauan yang diberikan pemerintah maupun pemuka agama kita dan jangan terlalu menyepelekan, sambil dibarengi dengan doa. Semoga Indonesia lekas pulih dari wabah Corona!
Alfatihah…Aminn