Pemberitaan soal hasil Ijtima Ulama yang kemarin dilaksanakan di salah satu hotel mewah kawasan Jakarta Pusat membuat kita bertanya-tanya, sebenarnya Ijtima’ Ulama hingga jilid kedua ini agendanya apakah untuk umat (islam) atau sekadar legitimasi politik? Di media sosial pun tak kalah sibuknya membagikan dan membunyikan hasil Ijtima Ulama yang memiliki 3 agenda penting. Pertama, penjelasan dari Prabowo Subianto atas gagal dipenuhinya mandat dari hasil Ijtima Ulama I kemarin. Kedua, pembahasan pakta integritas yang akan diajukan untuk ditandatangani oleh pasangan Prabowo-Sandi. Ketiga, penyusunan strategi pemenangan atas pasangan Prabowo-Sandi.
Sejak diumumkan hingga sekarang, pro dan kontra soal hasil ini masih menghiasi linimasa media sosial. Kubu yang pro hasil Ijtima Ulama bahkan menjadikan ini sebagai pembakar semangat bagi mereka untuk memenangkan pasangan yang didukung oleh 4 partai besar ini. Sedangkan bagi kubu kontra, hasil Ijtima Ulama ini tak lebih penegasan bahwa ulama dan umat hanyalah komoditas yang bisa dimanfaatkan oleh para komprador politik Indonesia.
Terlepas dari pro dan kontra akan hasil Ijtima Ulama, ada satu hal yang sebenarnya menjadi pertanyaan besar yang muncul di benak saya saat membaca hasil ijtima tersebut, apakah umat benar-benar dimenangkan dalam hasil Ijtima tersebut? Mungkin jika ditanyakan langsung kepada peserta Ijtima tersebut, pasti semua akan menjawab dengan kompak dengan jawaban IYA.
Narasi “umat” tidak akan ditinggalkan di ajang Pilpres sekarang ini. Sebab, umat Islam yang memiliki 80% dari populasi masyarakat Indonesia, ini adalah sebuah komoditas yang akan diperebutkan untuk memenangkan pertarungan Pilpres tahun depan. Kedua kubu sama-sama memainkan narasi ini dengan strategi masing-masing. Tapi, hasil Ijtima ini cukup menyita perhatian saya sebab dari 4 (empat) himbauan dari Habib Rizieq Shihab yang menarik untuk diteroka untuk melihat apakah umat benar-benar menjadi pemenang saat Pilpres ini berakhir?
Empat himbauan HRS (Habib Rizieq Shihab) itu disampaikan melalui sambungan telepon dari Mekah dan diperdengarkan kepada seluruh peserta Ijtima Ulama tersebut lewat pelantang suara. Kumandang takbir pun terus bersahut-sahutan sesekali saat peserta menyimak arahan dari HRS yang sudah lebih dari setahun meninggalkan Indonesia ini, sebagai tanda setuju dan siap melaksanakan semua arahan dari HRS tersebut. Adapun empat himbauan tersebut adalah mendukung Prabowo-Sandi, menggalang dana pribadi untuk kampanye, markas pemenangan di setiap rumah dan dakwah untuk pasangan Prabowo-Sandi, dan Mewaspadai kemungkinan rekayasa sistem di KPU yang bisa terjadi jika ditanggapi tanpa pengawasan.
Saya melihat arahan dari HRS ini cukup menarik sebab dua arahan yang benar-benar mengarah pada umat secara keseluruhan adalah penggalangan dana dari umat dan menjadikan rumah umat sebagai markas pemenangan dari pasangan Prabowo-Sandi. Umat dalam dua arahan ini benar-benar diminta untuk total mendukung arahan pertama yaitu memenangkan pasangan tersebut. Dua arahan HRS tersebut sebenarnya bisa berpotensi menjadikan umat hanya sebagai komoditas gratis bagi pasangan yang didaulat melawan petahana sekarang ini.
Ada satu hal yang membuat saya khawatir dari dua arahan HRS tersebut adalah sang habib mengabaikan satu hal penting dalam berbangsa dan bernegara, yaitu perbedaan pandangan politik dan pilihan politik saat pemilu nanti. Terabaikannya hal tersebut, sebenarnya akan menempatkan umat pada posisi berbahaya. Yaitu pertarungan politik di level terbawah yang tak terhindarkan sehingga bisa memicu perpecahan pada umat Islam di Indonesia. Isu untuk mengawal Pilpres ke depan menghindari politik identitas jelas terbantahkan dengan adanya arahan dari HRS ini. Sebab, dengan memainkan narasi umat yang jelas mengarah kepada umat Islam yang sebenarnya pasti memiliki pandangan dan pilihan politik yang berbeda digiring untuk menyeragamkan pilihan tersebut malah akan membuat umat ini terancam saling serang kepada saudara seiman dan seaqidahnya sendiri.
Saat HRS mengabaikan atas perbedaan di level akar rumput, sebenarnya membuktikan bahwa kemesraan yang dibangun antara politisi dan ulama saat ini hanyalah bagian dari penggiringan opini umat kepada salah satu calon. Penggiringan opini umat ini bagian yang menarik dari persoalan Pilpres ini. Sebab narasi “umat” di sini dianggap sebagai jembatan dari segala perbedaan atau segregasi yang ada selama ini di masyarakat muslim. Sehingga ketika kata “umat” dinarasikan dalam politik sekarang ini selalu disandingkan dengan bagaimana posisi umat Islam yang sekarang ini ditindas, dibuang dan terkesan mau dihabisi.
Opini bahwa umat Islam di Indonesia berada dalam keadaan bahaya dan genting, terus diulang-ulang agar bisa ditanam dalam alam bawah sadar masyarakat muslim. Oleh sebab itu, ketika kata umat disebutkan dalam kontestasi politik maka di sinilah masa depan umat Islam dipertaruhkan. Salah dalam memilih pemimpin akan berpotensi membahayakan posisi umat Islam di Indonesia, maka itu posisi ulama dalam persoalan ini menjadi sangat penting karena dianggap sebagai pengarah umat yang sedang tersesat dan dalam bahaya ini. Akan tetapi jika ulama tersebut abai dan melupakan bahwa pilihan politik di ranah umat pasti akan berbeda, maka ini akan membawa bahaya kepada umat tersebut.
Seharusnya ulama menjadi aktor pendidik bahwa pilihan politik boleh berbeda, namun memperjuangkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi itu adalah cita-cita bersama. Saat inilah umat akan benar-benar dimenangkan, bukan pada saat memenangkan salah satu kontestan pilpres.