Idul Fitri, Meritokrasi, dan Problem Orang Dalam

Idul Fitri, Meritokrasi, dan Problem Orang Dalam

Idul Fitri, Meritokrasi, dan Problem Orang Dalam
Ilustrasi: Alwy (Islamidotco)

Salah satu isu yang sempat viral selama gelaran Pilpres 2024 dan menjadi problem bangsa ini hingga sekarang adalah isu ordal (orang dalam). Problemnya adalah tak ditegakkannya meritokrasi. Meritokrasi adalah prinsip kerja di kelembagaan publik, terutama birokrasi negara, yang memberikan reward (penghargaan/pahala) kepada seseorang karena prestasinya dan memberikan punishment (hukuman) karena tidak berprestasi/melanggar aturan, bukan karena kekerabatan atau kedekatan.

Dalam bahasa lain, tidak adanya nepotisme (reward diberikan karena kekerabatan/kekeluargaan [darah]) dan kolusi (karena pertemanan/oligarki [koneksi]). Maka, adalah hal umum di beberapa kementerian berlaku istilah plesetan wa ‘alâ alihî wa ashhâbihî, kementerian hanya bermanfaat untuk keluarga dan sahabat pejabat saja. Tragisnya kadang ajma’în pula, diambil seluruhnya. Maka, Indonesia pun sulit bisa menjadi negara maju, karena telah kehilangan otak cemerlangnya, SDM terbaiknya, dan juga menjadi negara yang tidak punya kepastian hukum. Karena antara lain faktor itulah, kini Indonesia masih tertinggal dari negara lain. Tidak ditegakkannya meritokrasi itu tentu bertentangan dengan Islam, puasa Ramadhan, dan Idul Fitri.

Keadilan dan Meritokrasi

Dalam Islam dan puasa, penegakan keadilan, terutama dalam arti memberikan hak kepada yang berhak, sekalipun kepada orang yang dibenci, sangat ditekankan (QS 16: 90, 4; 135, 60:8, dan 5: 8). Hal ini karena menegakkan keadilan dalam Islam adalah fungsi utama kenabian (QS al-Hadid: 25) dan alam ini, baik alam raya  maupun alam sosial tercipta dan berdiri oleh karena keadilan (QS 17: 16).  Sebaliknya, kezaliman oleh Al-Qur’an sangat dibenci (dilaknat) Allah (QS 11: 18). Qur’an juga menyebut bahwa bersikap adil  akan membawa pada ketakwaan/integritas (QS 5: 8) sebagai tujuan puasa dan ketakwaan akan membawa pada kemakmuran (QS 7:96). Itu berarti Islam menekankan meritokrasi juga.

Islam juga menekankan penegakan keadilan dalam pengertian persamaan kesempatan dan persamaan di depan hukum. Namun,  bukan berarti meniscayakan persamaan total dalam segala hal. Al-Qur’an di samping mengakui persamaan/kesetaraan antar manusia, tetapi juga meritokrasi. Dalam QS 49: 13 misalnya dijelaskan, meski manusia berbeda bangsa, suku/etnis, dan jenis kelamin,  di hadapan Allah semua manusia adalah sama, sebagai hamba/makhluk-Nya semata seperti tampak dalam ruku/sujud dan juga keharusan semua berpuasa. Namun, tegas ayat itu, yang membedakan di antara mereka adalah tingkat ketakwaannya. Dalam hadis sahih, lebih harfiah lagi, bahwa tidak  ada perbedaan antara orang Arab dan non Arab, kecuali karena ketakwaan/integritasnya. Dalam Islam pun, keturunan/anak-anak para Nabi pun bukan karena darah, tetapi karena akidah/ilmu (anak ideologis).

Dalam QS 18: 30, Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang paling baik amal (karya/kinerja)-nya dan mengakui perbedaan capaian ekonomi karena usaha  (QS 16: 71, 43: 32). Allah juga membedakan derajat orang yang berilmu dengan yang tidak, selain karena integritas/ketakwaannya  (QS 39: 9 dan  58: 11). Bahkan, menyebut imbalan seseorang diperoleh berdasarkan  upayanya (QS 6: 132 dan QS 17: 84) dan  melakukan amal yang optimal akan dibalas juga dengan imbalan optimal (QS 55: 60).

Maka, dalam puasa Ramadhan, ketika Idul Fitri adalah puncaknya bukan hanya mencerminkan ajaran keadilan dan meritokrasi di atas, melainkan meresonansikannya. Siapa pun, dengan tidak dibedakan darah, harta, atau lainnya, yang berpuasa Ramadhan akan dibalas 1 kali puasa berbanding lebih dari 700, karena puasa sebagai kontrak langsung antara pelakunya dengan Allah, dan yang akan membalasnya langsung Allah. Siapa pun juga, sebagaimana sabda Nabi, yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan karena Allah, maka dosanya di masa lalu diampuni. Siapa pun juga yang salat tarawih selama Ramadhan, maka akan diberi pahala yang sama. Belum lagi, pahala bagi siapa pun tanpa kecuali yang memberi makan untuk berbuka puasa bagi  orang lain yang berpuasa, maka pahalanya sama dengan berpuasa sehari. Plus ibadah membaca Al-Qur’an yang dalam hadis sahih, paling mutlak akan memberi syafaat (bantuan) di akhirat bagi pembacanya, selain puasanya juga.

Idul Fitri juga memperlihatkan keadilan dan meritokrasi, karena Idul Fitri adalah hari manusia kembali ke fitrahnya, bisa makan dan minum, bahkan berhubungan seksual di siang hari, memberikan hak bagi badannya. Puasa pasca Idul Fitri juga tidak diperkenankan berlangsung selama 11 bulan sisanya secara berturut-turut, tanpa henti. Maksimal setelah Idul Fitri hanya diperbolehkan puasa Nabi Daud, puasa sehari, lalu tidak berpuasa sehari, selang seling. Tentu saja juga, dalam puasa Ramadhan diharuskan  berbuka saat Magrib tiba.

Dalam Islam, puasa wishâl, puasa lebih dari waktu Magrib, hingga subuh, dilarang. Ini memperlihatkan keharusan memberikan hak kepada yang berhak, seperti hak badan antuk beristirahat, tidak salat sepanjang malam Ramadhan, dan  juga memenuhi nutrisi (makan dan minum). Puasa mencerminkan/meresonansi ajaran Islam yang moderat yang memberi keseimbangan antara jasmani dan rohani, sebagai ajaran Islam mengenai pernikahan. Ini berarti secara umum, tak boleh ada mereka yang berhak tetapi kemudian tidak mendapatkan haknya,  karena faktor harta, tahta, cinta, termasuk di dalamnya darah.

Memberikan hak pada orang yang berhak juga tampak dari keharusan berzakat fitrah, maksimal pada malam Idul Fitri/sebelum imam naik mimbar di Idul Fitri. Apalagi sebagian besar umat Islam yang kaya juga mengeluarkan zakat harta kekayaan di akhir Ramadhan. Idul Fitri dan puasa Ramadhan tampak menekankan keadilan sosial ekonomi dan ini berarti keharusan memberikan hak kepada fakir miskin yang berhak menerima zakat, tak boleh menahannya. Zakat pun secara bahasa artinya adalah menyucikan/membersihkan harta kaum Muslimin dari harta/hak orang lain, selain menyucikan jiwa dari sifat kikirnya.

Bahkan, zakat dalam Islam bukan hanya memberikan hak fakir miskin, tetapi keadilan sosial secara umum, bukan hanya ekonomi. Soal ini tampak dari keharusan zakat digunakan untuk kepentingan publik (sabîlillâh) dan juga ibnusabîl (orang di perjalanan), termasuk untuk kepentingan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), selain imtak (iman dan takwa) sebagai kelebihan yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Juga pemenuhan keadilan pendidikan sebagai kunci kedigjayaan sebuah bangsa. Dan dalam soal ini, orang tak boleh dibedakan, selama mereka berhak mendapatkannya (berprestasi), meski dari kalangan miskin. Bahkan, kalangan keluarga sekalipun, jika memenuhi ukuran publik (yang berhak).  Negara yang disimbolkan oleh amil/pengelola zakat harus hadir untuk itu.

Apalagi, jika meritokrasi dalam bidang pemerataan pendidikan, terutama pendidikan tinggi, dan pengembangan ilmu itu yang dirujuk adalah hari Nuzulul Qur’an. Nuzulul Qur’an adalah hari pertama kali turunnya wahyu Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad pada 17 Ramdhan, yaitu QS al-’Alaq: 1-5.  Lima ayat itu mengakui tiga jenis ilmu (empiris sebagai basis teknologi, ilmu rasional, dan intuisi) dan memerintahkan membaca dalam arti luas, yaitu: bacalah, telitilah sesuai fakta, dalamilah, kritisilah apa saja, selama atas nama Tuhanmu (memberi manfaat untuk banyak orang). Dan hal itu harus dilakukan secara berulang,  minimal dua kali, demi memperoleh temuan baru iptek.

Meritokrasi juga tampak dari malam Lailatul Qadar yang terbuka bagi Muslim mana pun. Sebagai malam ketika Al-Qur’an turun secara sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke langit pertama. Pada malam itu, pelipatgandaan amal di Bulan Ramadhan diberikan, maksimal, 1 malam itu berbanding 1.000 bulan (1 amal pahalanya berbanding 30.000).

Bahkan, jika merujuk pada apa yang dialami Nabi, Nabi malah memperoleh banyak prestasi besar di Bulan Ramadhan dengan Idul Fitri sebagai puncaknya. Ramadhan dan Idul Fitri adalah simbol dari keharusan memberikan hak kepada orang yang berprestasi, sebagaimana Allah memberinya kepada Nabi Muhammad. Bukan hanya prestasi spiritual melainkan juga sosial politik. Misalnya memenangkan Perang Badar, perang pertama Nabi, yang terjadi di tanggal 17 Ramadan tahun ke-2 Hijriah, tahun pertama puasa diwajibkan. Di antaranya karena motivasi Nabi dan para sahabatnya yang kuat. Kaum Muslimin tidak lagi sebagai pelarian politik dan Islam pun bisa terus tumbuh, tidak mati.

Fathu Makkah (Pembebasan/Penaklukan Kota Mekkah) juga didapat Nabi pada  20 Ramadan, tahun ke-8 Hijriah. Dengan teladan melakukan pengampunan umum, tanpa setetes pun darah juga. Ini merupakan puncak prestasi Nabi. Tanpa penguasaan kota Mekah sebagai kota suci yang di dalamnya terdapat Baitullah, Islam sebagai agama akan kehilangan nilanya. Paling tidak, ibadah haji tak bisa terlaksana. Dalam sejarah Indonesia, sedikit banyak (relatif)ini bisa dilihat dari  prestasi Presiden Habibie, yang rutin berpuasa Senin dan Kamis, bukan hanya Ramadhan.

Wallâh a’lam bisshawâb.

(AN)