Kesuksesan gerakan politik sebagian besar tergantung tidak pada kebenaran ajarannya, tetapi pada kemungkinan gerakan itu untuk mengedarkan anggapan mereka pada masyarakat secara efektik, terutama pada anak-anak muda.
Azis Anwar Fachrudin dalam artikel Khilafah: Sebuah Kemunduran menunjukkan bahwa ide negara Islam atau khilafah tidak terbatas organisasi-organisasi yang menggunakan kekerasan seperti ISIS. Seperti diusulkannya di dalam artikel itu, ide-ide yang membahayakan keamanan NKRI seharusnya dibantah dengan counter-tafsir. Memang kepentingan menyebarkan tafsir sejenis warisan Gus Dur, Cak Nur dll. sangat besar. Sungguh, pengaruh dan kekuatan ide-ide tidak boleh disepelekan.
Pada tanggal 8 Mei 2017 pemerintah Indonesia menyatakan akan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena organisasi itu dituduh bertentangan dengan Pancasila, menyusul berbagai negeri mayoritas Islam lain yang sudah melarang Hizbut Tahrir sejak puluhan tahun lalu. Walaupun ini adalah langkah yang bijak, sejarah telah mengajari kita bahwa ide dan ideologi radikal tidak lenyap hanya dengan melarang organisasi. Contohnya di Indonesia, di mana Islam politik ditindas selama Orde Baru, namun pada masa yang sama gerakan-gerakan yang menolak perpisahan Islam dan politik berkembang secara underground, menyebarkan ide-ide mereka lewat halqa dan justru menjadi lebih kokoh (selain ide-ide Islam kultural dan liberal yang juga mulai bersemarak waktu itu).
Pada zaman sekarang masyarakat berhadapan dengan tantangan baru yang berkaitan dengan penyebaran ideologi berbahaya, yaitu penggunaan teknologi komunikasi baru dan budaya populer. Gerakan politik Islam kontemporer sudah mendapatkan cara untuk meraih dan memekakan anak-anak muda tentang ide negara Islam. Bahan-bahan mereka disesuaikan dengan media populer dan gaya kesukaan golongan sasaran. Di Malaysia, misal, Parti Islam se-Malaysia (PAS) telah menggabungkan budaya populer dalam kegiatan dan bahan mereka seluas-luasnya, seperti digambarkan dengan baik oleh Dominik Müller dalam buku Islam, Politics and Youth in Malaysia (2014).
Gerakan-gerakan politik Islam di Indonesia tidak kalah. Lihat saja buku Khilafah Remake yang ditulis Felix Siauw. Buku yang bisa tamat dibaca dalam kurang lebih satu jam. Judulnya sudah memperlihatkan bahwa penulis menggunakan bahasa dan gaya “gaul”. Buku itu penuh istilah-istilah Inggris, gambar-gambar warna-warni, perumpamaan-perumpamaan jenaka, dan bahan naskahnya hanya sedikit sekali. Jumlah kata dikurangi sekurang-kurangnya. Sangat sesuai dengan kesukaan banyak remaja yang malas membaca.
Fenomena itu tidak terbatas buku-buku. Felix Siauw bersama Ummualila sudah menjalankan sebuah channel di YouTube, Hijab Alila, yang didirikan demi mengajari muslimah caranya menjalani kehidupan syar’i. Fokus induk Hijab Alila adalah dakwah dan kehidupan sehari-hari; tidak mempunyai sifat politik Islam yang jelas. Akan tetapi, di beberapa video juga ditemukan sub-teks yang mengimplikasi negara Islam dan soal menyatukan umat Islam sedunia. Apalagi, buku-buku Felix sering muncul pada latar belakangnya. Semua ini tentu saja tidak kebetulan tetapi merupakan siasat yang cerdas dan dipertimbangkan dengan masak. Dalam sebuah siaran Hitam Putih tahun 2013 Felix, yang juga dikenal dengan julukan “Ustadz Twitter”, menjelaskan bahwa cara dakwah utamanya lewat media sosial merupakan cara efektif untuk meraih orang yang–misalnya–tidak pernah pergi ke masjid, bahkan tidak mengenal masjid. Pokoknya, seorang ustadz harus menyesuaikan diri dengan jaman sekarang.
Maka penyebaran counter-tafsir yang mampu menarik berbagai golongan dalam masyarakat, terutama anak-anak muda, sudah menjadi sangat penting. Tetapi tidak hanya gaya “gaul” dan media sosial yang harus dihitungkan. Isinya pula harus bermanfaat untuk kehidupan kontemporer. Lagipula, seharusnya membahas dan menekankan soal-soal kemaslahatan. Bahan-bahan macam itu harus menisbahkan agama dengan persoalan-persoalan masyarakat yang sekarang meresahkan banyak orang, terutama generasi muda.
Anak-anak muda berhadapan dengan seribu permasalahan sosial seperti pengangguran, kriminalitas dan sebagainya. Tidak bisa dinafikan juga bahwa sistem politik masa kini sudah melenyapkan kepercayaan diantara bagian besar mereka. Mereka menyaksikan sistem politik kontemporer yang penuh korupsi dan penyelewengan, sehingga tidak heran kalau ada sebagian, walau mungkin sebagian kecil, dari anak-anak muda menjadi tertarik dengan ideologi dan argumen HTI yang menyatakan bahwa khilafah akan memecahkan semua permasalahan itu. Dengan menyatakan bahwa khilafah akan menjamin kemaslahatan masyarakat, organisasi seperti HTI mengakomodir perasaan anti-kemapanan yang sering menjadi sifat generasi-generasi muda di seluruh dunia.
Berbagai produser budaya di Indonesia sudah mulai mempromosikan Islam kultural dan Islam rahmatan l’il alamin melalui budaya populer. Tetapi selama ide-ide khilafah masih beredar, umat Islam Indonesia harus tetap meneruskan untuk mengemukakan counter-tafsir dan ide-ide yang berguna secara kreatif agar anggapan pendukung khilafah bahwa negara Islam adalah jalan keluar atau kewajiban Islam bisa dibantah dengan efektif.
*) Silvia Wolf, lulusan Leiden University Belanda dan Sabanci University Turki, dan tahun ini akan melanjutkan studi di jurusan Sociology & Social Anthropology, Central European University, Budapest.