Ini cerita dari kawan baikku dan ingin kubagikan kepadamu. Cerita yang membuatku bertanya-tanya, apa arti tampilan fisik dan dosa bisa dihadapkan dengan nilai sebuah akhlak dari seorang ustadzah ini. Begini ia bercerita:
Salah satu beban berat dalam hidupku adalah mempertemukan ibu, yang seorang Ustadzah dengan para banci (sya gunakan istilah ini secara longgar, tidak semata-mata merujuk pada male-to-female atau female-to-male transgender, tapi juga para laki-laki ngondek). Pertemuan ini tidak bisa dihindari.
Kisahnya bermula saat saya terbaring di rumah sakit untuk operasi. Saya sengaja tidak mengabari siapa pun, tapi berita cepat menyebar terutama di kalangan teman-teman. Saya tak hanya berteman dengan orang-orang yang secara sosiologis dianggap sebagai “kaum mulia”. Saya juga memiliki banyak teman baik dari kelompok sosial yang selama ini dianggap sebagai manusia hina, misalnya, para banci. Saya mendapat kabar bahwa teman-teman banci saya akan bezuk saya sore nanti.
Sejak pagi saya resah. Keresahan saya terutama tentang reaksi ibu nanti. Tahu sendiri, seorang ibu, Ustadzah dan Bu Nyai lagi, kalau menunggu putranya yang sedang sakit, diia tak akan putus berdoa, dan jemarinya tak henti memutar tasbih mezikirkan asma Allah. Saya tak ingin membuat hati ibu kecewa, tapi saya juga ingin menyambut teman-teman banci saya dengan penuh penghormatan karena mereka datang dengan niat terhormat. Tak layak bagi siapapun yang datang kepada kita secara terhormat mendapat perlakuan yang tidak terhormat, dengan alasan apapun.
Saya menimbang cukup lama hingga siang menjelang shalat dhuhur. Saya akhirnya membuat keputusan: saya akan bilang ke ibu dengan baik-baik. Sebetulnya, di balik kekawatiran saya, saya memiliki keyakinan bahwa ibu tidak sekejam yang saya bayangkan. Saya tahu ibu, kemanusiaannya jauh lebih luas daripada kehormatannya sebagai seorang bu nyai.
Ibuku mungkin tidak sehebat para ahli agama yang fasih menghafal dalil, tapi aku tahu, ibuku telah mengendapkan nilai-nilai agama ke dalam batinnya menjadi sebuah kebajikan dalam bersikap, bertutur, dan bertingkah. Bagi orang seperti ibu, tak perlu berdalil untuk memahami bahwa berlaku baik pada orang lain adalah sebuah kebajikan.
Akhirnya, saya memberanikan diri berkata kepada ibu bahwa sebentar lagi akan datang teman-teman saya untuk membezuk. Ibu meng-ya-kan karena memang sejak hari-hari sebelumnya sudah banyak kawan saya yang datang. Saya melanjutkan dengan mengatakan bahwa tamu yang akan datang ini berbeda. Mereka adalah laki-laki yang bertingkah seperti perempuan dan ada perempuan yang bertingkah seperti lelaki. Ibuku tercenung kemudian berkata pelan, “bukankah idu dosa?”
Reaksi ibu sama sekali tidak mengagetkan saya. Sudah saya duga sejak mula. Persis di titik inilah yang membuat saya memerlukan waktu agak lama untuk matur ke dia. Tapi, tidak ada manusia di dunia ini yang lebih tahu tentang ibu kecuali putranya.
Saya tahu kelembutan hatinya, kedalaman cintanya, dan kebajikan perilakunya. Saya berkata dengan tenang dan pelan, “Ibu tidak apa-apa menganggapnya dosa. Tapi mereka adalah manusia seperti kita yang juga punya dosa. Mereka adalah tamu kita yang datang dengan niat baik. Maka, kewajiban kita adalah menyambut tamu dengan baik dan memuliakannya semampu kita.”
Saya ingin berkata panjang lebar tentang kemuliaan manusia, ajaran Islam menghormati tamu, dan bla bla bla. Tapi saya sadar, tak perlu bagi saya untuk menggurui ibu. Ibu hanya menyatakan pendapatnya tanpa sedikit pun berniat mengurangi penghormatannya atas seluruh tamu yang datang. Tak perlu saya mendalilinya, ibu tahu bahwa nilai kemanusiaan ada di atas segalanya.
Seagamis apapun, gelar Ustadah atau Ibu Nyai hanyalah sebuah status sosial. Gelar itu tak bermakna apa-apa jika tindakannya hanya mencederai nilai-nilai kemanusiaan.
Suasana sore itu benar-benar ceria. Seperti biasa, para banci itu berceloteh dengan sangat lucu. saya melirik ibu yang tetap memutar tasbih dengan jari-jarinya. Di saat-saat tertentu, dia tak kuasa menahan senyumnya karena celoteh riang-lucu para banci itu.[]