Ibu saya memang tak punya akun Facebook, Twitter, Instagram, apalagi ngeblog. Jangankan internet, memainkan hape saja beliau tidak sempurna: cukup bisa cari kontak, pencet dan bilang halo. Tapi saya tidak melihatnya katrok, mundur, terbelakang, apalagi ketinggalan jaman.
Sehari-hari beliau bergelut dengan dunianya, dunia ibu rumah tangga dan kebanyakan wanita di desa: ke sawah, ladang, kondangan, berjanjen, pengajian, ziarah dan tentunya masak.
Wacana yang ada dalam benaknya pun mungkin tak serumit anaknya, yang setiap hari dijejali berita, wacana dan info yang tak jelas dari medsos. Apalagi berita kebencian, fitnah, dan hujat menghujat dengan orang yang belum kita kenal.
Paling mentok, dosa ibu, kalau boleh saya menuduh, adalah bisik-bisik beliau dengan para tetangga, tentang orang aneh yang berperilaku diluar adat desanya. Sambil petan dengan para tetangga, biasanya memang diskusi melebar kemana-mana, mulai harga cabe sampai gosip pacaran pemuda-pemudi desa. Namun semoga itu termaafkan, jika niatnya adalah tidak menyakiti, tetapi mengambil pelajaran.
Ibu benar-benar melakukan hal-hal yang sederhana, apa-apa yang dilakukannya. Semisal, pergi ke pasar berbelanja, dengan membawa sederet kebutuhan dapur dalam catatan kecilnya: tempe, minyak, bawang, garam, mrica, ketubar, lada, micin, laos, salam, kamijara, kangkung, bayam, buncis, kubis, ikan asin, gas elpiji, serta seabrek instrumen masak di dapur.
Ibu juga kadang marah dengan bapak – yang bikin hati saya geligeli gimana – ketika hendak kepasar, dan sudah berdandan rapi. Daftar belanjaan lengkap, tetapi uang belanja yang dikasih bapak sekadar cukup, atau bisa jadi mepet dengan daftar belanjaannya.
Lalu, menjelang ibu berangkat, bapak berkata, “rokoknya satu slop ya!”
“apa?!!!” jeder! bagai petir di siang bolong. Jelas, jika harga rokok sebungkus saja Rp. 20.000,- berapa coba kalau satu slop. Habislah uang belanja.
Tapi tentu itu sebuah banyolan kemesraan, karena ibu lah yang paling mengerti bagaimana me-manage uang. Walhasil, semua kebagian, termasuk rokok. Peristiwa itu masih sering terjadi sampai saja sedewasa ini. Dan ekspresi saya selaku anak, hanya bisa ngekek sambil kejang-kejang gila.
Lebih dari itu, paling-paling, yang seperti kebanyakan wanita: membeli alat-alat kecantikan. Memang benar lagu Nasida Ria: dari dulu sampai sekarang, kaum wanita senang berdandan, berhias diri berbusana rapi, berseri-seri sepanjang hari. Meski sering ke sawah atau kebun, kalau pas kondangan dan bepergian, ibu pun dandan dan wangi.
Salah satu media yang dekat dengan beliau adalah televisi. Pun tiga hal yang ditonton: pengajian di Aswaja tivi, reality show di Indosiar dan kadang-kadang berita.
Saya kira, minim sekali dari ketiga hal itu yang membuat fitnah masuk ke telinga beliau. Aswaja tivi jelas, isinya ngaji. Kalau tidak, setiap pagi ke TVRI, dengerin ceramahnya ustadz Fathullah yang ngaji Bukhari Muslim atau Prof Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal. Kadang juga Mama Dedeh. Dengan khusyuk, beliau catat apa-apa yang dianggap baik.
Soal reality show, mungkin banyak banyolan dan memuja kekonyolan. Tetapi, saya melihat ibu saya melihatnya sebagai sebuah hiburan, bukan yang lain. Apalagi kalau si Irfan Hakim, Rina Nose dan Ivan Gunawan sudah mbayol, beliau akan terpingkal-pingkal.
Di awal-awal ngampus, ketika idealisme masih meledak-ledak, saya sempat cek-cok dengan ibu: ngapain nonton kaya gituan? nggak penting banget. Namun, kini saya paham, bahwa tidak semua orang harus seperti saya, baik seleranya, kesukaannya atau pendapatnya. Meski beliau adalah ibu saya, dan saya anak beliau, kita hidup dalam dunia yang berbeda: ya teman, ya pendidikan, ya pengalaman, ya zaman dll. Disitulah kearifan dibutuhkan. Kini sederhana saja: saya senang apa yang membuat ibu senang. Itu saja.
Terakhir, berita tivi. Beliau cuma kadang-kadang, tidak se-intens bapak saya yang selalu mengikuti perkembangan. Daripada nonton tivi yang kurang penting, beliau lebih suka bekerja atau nguprak-uprak anaknya – kini yang masih tinggal dirumah Dik Luluk – untuk belajar dan mengaji. Artinya, kalaupun di tivi beritanya bohong, relatif sedikit apa yang beliau lihat dan dengar.
Ini, beda misalnya dengan saya, yang hidup di jaman medsos. Tiap hari, apalagi dewasa ini, harus dicekoki berita yang belum tentu benar, bisa membuat sakit hati, bisa membuat benci, dan bahkan jika tidak hati-hati, ikut menjadi penyebar fitnah dengan hanya memencet tombol share. Padahal, menyebar fitnah, menurut saya, dosanya sama dengan pemfitnah itu sendiri – lil wasaail hukmul maqaashid, kata Kaidah Fiqh.
Karena itu mungkin, Tuhan menyuruh kita untuk kroscek berita, sebelum menyebarkannya, apalagi memviralkannya. Tapi bagaimana caranya? internet sedemikian tak terbendung dan tak terbatas? Namun, mengutip kata Pramodya Ananta Toer dalam novelnya, setidaknya kita telah melawan: menulis hal-hal yang baik atau diam.
Sulit memang. Apalagi kalau melihat kabar hoax, boombastis, provokatif, kebencian, dan menyimpang, jempol gatel pengin ngeshare. Ini adalah sebuah tantangan jaman.
Pagi ini saya berpikir, bahwa ibu saya yang tak tahu atau tak bisa menggunakan internet itu, bisa jadi lebih beruntung, lebih maju, lebih damai dan lebih bisa terhindar dari marabahaya pikiran aneh dan dosa yang kadang tidak terasa.