Ibuku Seorang Ustadzah dan Ia Menemani Pelacur

Ibuku Seorang Ustadzah dan Ia Menemani Pelacur

Ibuku mungkin orang biasa, tapi ia mengerti agama. Aku sempat bertanya, mengapa ia mau menemani pelacur itu?

Ibuku Seorang Ustadzah dan Ia Menemani Pelacur

Ini kisah ibuku, seorang ustadzah dan memilih menemani seorang pelacur asal Kota. Tapi, sebelum ke sana, aku aku ingin bertanya kepadamu. Tahukah kamu, apa yang membuat seorang perempuan muda desa-miskin-tak terdidik menjadi seorang pelacur di kota? Jika ada seorang perempuan desa yang tak berpendidikan dan berasal dari keluarga miskin kemudian menjadi seorang pelacur di kota, bisa dipastikan motifnya bukan karena kemewahan hidup.

Tak akan ada angan-agan tentang tidur dengan seorang laki-laki semalam kemudian esoknya pulang membawa uang puluhan juta. Bahkan, uang jutaan mungkin hanya khayalan yang dia sendiri sadar agar tak terbersit di benaknya sejak awal, karena itu hanya akan menyiksa batinnya.

Di desaku dulu, sebagian besar, jika bukan semua, perempuan desa yang miskin dan tak terdidik yang berangkat ke kota berharap dapat memperoleh pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga atau penjaga warung. Jika mendapatkan majikan yang baik, si perempuan ini akan pulang ke desanya, mungkin sebulan sekali, dengan penuh keriangan sambil membawa uang yang jumlahnya tak seberapa. Keluarga akan menyambutnya dengan bahagia karena mendapati putrinya pulang dengan selamat dan membawa uang.

Lumayan, uang itu bisa digunakan untuk memberi bahan-bahan makanan atau membantu biaya sekolah adiknya atau membeli bibit atau pupuk untuk mengolah sawah yang tak seberapa luasnya.Namun, jika si perempuan itu mendapat juragan yang kejam, jika dia berani menantang kehidupan kota, dia mungkin akan lari meninggalkan majikannya.

Nasibnya sepenuhnya digantungkan pada ketakmenentuan dan keliaran jalanan kota. Berbagai kemungkinan bisa terjadi, termasuk salah masuk gerbang hitam kota. Mungkin dia akan menjadi pelacur di pinggir jalan atau di warung reyot remang-remang atau di lokalisasi kelas teri yang terselinap di antara gemerlap kemegahan kota.

Kurang lebih, inilah yang terjadi pada Mbak R. Dia adalah salah seorang perempuan muda di desaku dulu. Bahkan mata bocahku saat itu sudah bisa melihat kecantikannya.

Setiap senja, bersama dengan teman-teman sebayanya, berangkat ke surau putri samping rumahku. Dia akan ikut shalat maghrib berjama’ah yang diimami ibuku, kemudian mengaji al-Qur’an di bawah bimbingan ibu.

Ibuku adalah seorang Ustadzah, seorang Bu Nyai (sebutan untuk istri seorang ulama/kiai), bukan semata-mata karena ayahku seorang kiai di desa itu. Sebagai putri seorang kiai, ibuku pandai ilmu agama, setidaknya yang dibutuhkan untuk mendidik agama orang-orang desa. Ibuku menjadi imam shalat, mengajar ngaji anak-anak perempuan, hingga mengurus jenazah jika ada perempuan di desaku yang meninggal dunia. Singkatnya, ibuku adalah istri ideal bagi bapakku yang seorang kiai.

Seperti remaja-remaja putri lain di desaku, begitu beranjak remaja, Mbak R berangkat ke Kota S untuk menjadi pembantu rumah tangga. Tidak ada yang aneh karena begitulah adatnya. Namun, lama kelamaan terdengar berita bahwa Mbak R menjadi pelacur di kota.

Di mata orang-orang desaku, bagaimanapun juga, pelacur tetaplah “pekerjaan” yang tidak baik. Sekalipun demikian, setiap kali Mbak R pulang, dia tidak pernah dikucilkan. Dia akan tetap bertatap muka dengan siapa saja secara wajar. Orang-orang akan menyapanya dan memperlakukannya dengan baik.

Saat dia pulang, dia pasti datang ke rumahku untuk bertemu bapak dan ibuku, biasanya sambil bawah buah tangan. Bapak dan ibuku menyambutnya dengan baik. Tak ada penghinaan, tak ada perendahan. Tak ada nasihat-nasihat moral yang diberondongkan kepadanya.

Semua berjalan wajar sewajar kehidupan sehari-hari di desa kami. Bahkan, ibu tak segan minta tolong diantar ke kota untuk belanja alat-alat seni samroh. Samroh adalah seni kasidah dengan alat musik utamanya adalah rebana. Para remaja putri di surau biasanya ber-samroh selepas mengaji.

Suatu hari, Mbak R pulang. Seperti biasa, dia datang ke ruamhku. Kali ini ada sesuatu yang berbeda. Tak ada senyum sumringah di wajahnya. Tanpa kata-kata, dia memeluk ibuku sambil menangis.

Aku yang masih bocah hanya berani ngintip di balik selambu yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah. Aku melihat ibuku mengelus kepala Mbak R sambil berkata, “Yang tegar ya. Hidup ada yang mengatur. Allah Maha Pengampun. Kamu tetap santriku, kamu tetap R seperti yang dulu.”

Kini Mbak R telah berubah menjadi Mak R. Seperti ibu-ibu di desaku, dia menjalani hidup dengan bersahaja. Mengolah sawah yang hanya sepetak, sambil berjualan tahu lontong untuk menyambung hidupnya bersama suami tercintanya.[]