Dahulu sekali, saat fasilitas hiburan belum sesemarak saat ini, kehadiran pertunjukan ebeg (kuda lumping), sintren, dan layar tancap, menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh warga dusun kami di pedalaman Banyumas, Jawa Tengah. Di rumah siapa pun pertunjukan-pertunjukan itu digelar, saya akan tahu.
Layar tancap, promosinya, biasa disiarkan setelah shalat ashar dengan pengeras suara dan diarak dengan mobil bak terbuka. Hanya dengan promosi beberapa jam sebelum jam delapan pada malam harinya, penonton layar tancap biasanya penuh.
Adapun dengan ebeg, walaupun tidak disiarkan promosinya, saat calung pengantar pertunjukan (pra opening) mulai ditabuh, bisa saya tangkap suaranya.
Terhadap pertunjukan-pertunjukan itu, saya tak pernah ketinggalan karena ‘indra penangkap’ saya yang kala itu sudah cukup tajam.
Jika siang atau sore hari, ada kakak-kakak saya yang mengantar, walaupun mungkin dengan terpaksa.
Disebut ‘mungkin dengan terpaksa’, sebab pada satu ketika ada sepupu kami, yang datang ke rumah. Dia tahu saya paling suka nonton ebeg, lalu bertanya, “Kamu berangkat jam berapa?”
Langsung saja sepupu kami kena omel kakak saya. Kakak saya marah karena sebenarnya saya belum tahu ada pertunjukan ebeg siang itu. Seandainya saudara sepupu kami tidak bilang, karena lokasi pertunjukan ebeg hari itu cukup jauh, saya tak mungkin tahu dan kemudian meminta menonton.
Saking gilanya saya kepada pertunjukan ebeg, sampai muncul gurauan di keluarga kami. Ayah saya akan menyiapkan tali panjang yag ujungnya diikatkan di tubuh saya. Saya dibiarkan jalan sendiri setiap mau menonton pertunjukan. Kalau sudah waktunya bubar, tali itu akan ditarik dari rumah, jadi saya bisa pulang.
Adanya pertunjukan-pertunjukan semacam iu, bakal sangat merepotkan jika kakak saya sedang sibuk atau kami harus menjemur jagung, menjemur gaplek, menjemur baju, tapi semua harus ditinggal demi mengantar saya menonton ebeg.
Lagipula kalau berangkat menonton pasti harus bawa uang buat jajan.
Perlu diketahui di lokasi pertunjukan ada cenil, rujak, sembarangan, gorengan tahu, dan kawan-kawan, makanan tradisional kesukaan saya. Anggaran pengeluaran bisa lebih menonjol jika menonton layar tancap karena penonton dikenai karcis 300 rupiah. Harga beras 250 rupiah kala itu.
Saya sering diingatkan kakak saya, “Oke nanti kita nonton film, tapi tidak usah jajan.”
Saya pun menjawab, “Asssiap Kakak.” Walaupun di lokasi nonton layar tancap, saya tetap dibelikan kacang rebus atau sroto, benar-benar sroto, bukan soto atau coto.Hal merepotkan lainnya adalah pertunjukan film layar tancap berlangsung malam. Itu kata orang-orang dewasa jam tidur saya. Jarak yang jauh dari rumah, bisa tiga kilo dan melewati banyak tempat gelap.
Belum ada lampu listrik di dusun kami waktu itu. Keinginan menonton film layar tancap atau pertunjukan ebeg malam hari, harus sering saya abaikan, walaupun saya sudah nangis kejang-keang di lantai tanah rumah kami. Kadang lantai tanahnya jadi bercampur ompol saya dan deraian air mata. Maka Ibu, ayah, dan kakak-kakak saya senantiasa memiliki ide kreatif untuk mengantisipasi jika ada pertunjukan ebeg dan layar tancap malam hari.
Biasanya saya dikasih makanan yang spesial, misalnya kakak saya membelikan dawet kalau ada pedagang lewat sore hari. Atau saya dibuatkan teh manis. Teh manis di rumah kami waktu itu juga hal yang istimewa. Sering pula saya disuruh tidur lebih sore.
Nah, suatu sore, saya kekenyangan dan tidur gasik. Tapi saya tahu malam itu film yang diputar dibintangi Bary Prima. Itu terdengar dari siaran pakai spekaer dengan mobil bak terbuka dari arah pusat kecamatan ke dusun kami dan dusun-dusun sesudah dusun kami.
Saya sudah dari ashar niat banget minta diantar nonton film Bary Prima. Lagipula saya sudah punya rencana minggat nonton dengan teman-teman ngaji dan teman main gundu saya. Eladalah saya malah tertidur dan bangun sudah jam sembilan.
Saya minta baik-baik ke kakak saya untuk diantar nonton Bary Prima. Ternyata mereka semua tidak bersedia. Saatnya saya minta buruk-buruk, yaitu dengan menangis di atas ranjang. Alhamdulillah tidak sampai ngompol. Tahu apa yang terjadi?
“Ya sudah sana nonton. Bawa obornya,” kata ibu saya.
“Bawa senter saja,” kata ayah saya.
Sekejap kemudian, clinggg. Air mata saya sudah kering.
Kakak saya menyisiri rambut saya. Waktu itu rambut saya masih cukup banyak jadi mudah disisir.
Saya pun berangkatlah diantar kakak saya. Belum 20 meter keluar dari rumah, terdengar suara pohon bambu tetangga di dekat rumah kami seperti terkena lemparan kerikil. Beberapa saat hal itu belangsung. Kakak saya memegang erat tangan saya. Kami sudah terhenti dan mematung sejak bunyi kerikil menghajar pohon bambu itu pertama terdengar.
“Itu hantu. Ayo pulang saja,” kata kakak panik, setengah berbisik.
Suasana gelap. Senter yang kami bawa kerlip-kerlip. Padahal batrenya pada siang hari sudah dijemur. Saya tak bisa menolak.
Kami pulang, tidak jadi nonton layar tancap Bary Prima. Bertahun-tahun kemudian, karena kekinian peristiwa tersebut sering dibahas di pertemuan keluarga kami, saya tahu peristiwa itu rekayasa belaka. Hoaks. Agar saya tidak usah nonton. Agar saya besoknya sekolah dengan baik, tidak mengantuk. Sering dan banyak hoaks di keluarga dan dusun kami. Misalnya, “Jangan duduk di pintu, nanti lamarannya ditolak.” Atau, “Jangan memukul meja, nanti didatangi orang gila.” Dan lainnya.
Tidak ada yang tahu pasti apakah ada hubungan duduk di pintu dengan lamarannya ditolak. Tidak ada yang tahu pasti apakah dengan memukul-mukul meja, akan didatangi orang gila. Yang jelas duduk di pintu bukanlah pemandangan yang enak dilihat. Dan memukul-mukul meja, walaupun dengan ritme dan nada tertentu yang diharapkan mengeluarkan irama yang mengasyikkan, tetap saja bukan hal yang pantas dilakukan.
Begitulah hoaks yang bertujuan baik.
Saya pun tahu makna-makna hoaks itu setelah cukup besar, setelah rambut mulai habis.
Eladalah, sekarang jaman makin modern. Kok teman saya yang sudah bukan anak-anak lagi, pintar, soleh solehah, dekat dengan Tuhan, percaya dan ikut menyebarkan hoaks yang bertujuan untuk ketidakbaikan. Dan karena hoaks pula, dia menyalahkan pihak lain, mengagung-agungkan dan hanya menganggap pihak dia yang benar.
Terima kasih kakak-kakak saya, ibu dan ayahku yang membuat dan menggunakan hoaks dengan tujuan kebaikan, tidak menyakiti siapa pun. Ibu, saya membahas tentang hoak yang kalian buat, bukan menyesali karena sempat percaya. Saya justru bersyukur, sempat menerima hoaks yang bertujuan untuk kebaikan. Ibu, saya sedih karena sekarang semakin semarak hoaks yang menghilangkan kewarasan.