Ia dianiaya mereka yang buruk, dan yang secara intelektual jauh di bawahnya.
Remaja berusia 16 tahun itu tiba-tiba menjelma sebatang kara. Bapak-ibu dan keluarganya habis dibantai. Tarikh 1055, Baghdad luluh lantak dijarah Seljuk.
Oleh Ali ibn Muhammad Abu al Wafa ibn Aqil, cobaan itu diterjemahkannya sebagai tempaan menuju kemandirian. Dengan bakat kecerdasannya yang terkandung sejak kecil, ia menjadi penyalin. Cukuplah upah dari pencahariannya itu ia gunakan untuk keperluan makan, juga ongkos belajar.
“Tidak akan kutinggalkan pencarian ilmu,” kata Ibn Aqil, lirih. “Terkecuali pada dua malam; malam pernikahan, juga kala itu, di malam duka kepergian orang tuaku.”
Ibn Aqil terus tumbuh. Kecerdasannya kian matang. Beruntung, kegemarannya memburu pengetahuan di kemudian hari tertopang kemurahan hati seorang saudagar; Abu Manshur ibn Yusuf.
Sekali waktu, Ibn Aqil tertarik mendalami ilmu hukum. Ia mendatangi hakim kepala dari mazhab Hanbali, al-Qadhi Abu Ya’la. Di sana, ia makin tampak cemerlang. Bak satu-satunya murid kesayangan.
Konon, kecerdasan kerap memacu seseorang menjadi serba penasaran. Seiring berkubang dalam keilmuan Abu Ya’la, Ibn Aqil tak membiarkan barang sedetik pun waktunya kosong. Ia merasa perlu dan tertarik menyambangi guru-guru lainnya. Sebut saja, kepada Abu al Thayib at Thabari, al Khatib al Baghdadi, Abu Ishaq al Syirazi, dan Abu Muhammad al Tamimi, Ibn Aqil sedikit banyak turut belajar. Hal serupa, ia lakukan pula kepada para penyeru pemikiran rasionalis. Di sinilah muasal perkara itu dimulai.
Murid-murid Abu Ya’la lainnya merasa jengkel. Tindakan Ibn Aqil dianggap mengotori almamater Hanabilah. Diawali fitnah mencampur-adukkan mazhab, hingga tuduhan sesat; bertubi-tubi mengarah kepada sosok kelahiran 1039 itu.
Dihujani berjuta kabar hoax, kuping Ibn Aqil tak lekas merah. Ia tetap tenang, tidak pula menganggap penyerangnya sebagai lawan. Nahasnya, sikap bijak Ibn Aqil dimaknai lain. Fitnah tak mempan, kekerasan pun diberlakukan. Ibn Aqil dikeroyok dan dipukuli hingga tersungkur ke tanah, di suatu hari.
“Ia dianiaya mereka yang buruk, dan yang secara intelektual jauh di bawahnya,” tulis Khaled Abou el-Fadl, dalam Conference of the Book: The Search for Beauty in Islam.
Ibn Aqil lebih memilih menyingkir dari perdebatan-perdebatan kualitas rendah. Kegigihannya menuntut ilmu dan pengetahuan juga tak lantas pupus. Sebab ia memahami, pengetahuan seluas-luasnya akan menuntun seseorang menjadi kian bijak, dan berintegritas.
Integritas tak bisa dibagi, kata Ibn Aqil. Ia mesti dihadirkan dalam setiap sudut pikiran. Termasuk dalam memahami dan menjalani ketakwaan kepada Tuhan. Seorang Muslim, sudah semestinya menatap segala hal dengan terang benderang. Keragaman dan perbedaan di benak Ibn Aqil; dipahami sebagai rahmat, kekayaan, juga peluang.
Integritas itu pula yang kemudian bakal menampilkan Islam sebagai laku hidup yang penuh keadilan. Islam tak bisa, bahkan haram digunakan sebagai atas nama sebentuk pemaksaan, kekerasan, dan tingkah barbar lainnya.
Menginjak usia 20, Ibn Aqil terlibat perseteruan serius dengan Menteri Keuangan Dinasti Seljuk, Abu Sa’ad al Musthawi. Ibn Aqil menentang proyek pemugaran makam Imam Abu Hanifah. Pasalnya, penguasa kala itu memerintahkan militer untuk merampok pintu-pintu besar milik gereja dan sinagog di Samarra.
Ibn Aqil juga merilis, bahwa proyek penggalian untuk fondasi baru itu pun sangat berkemungkinan menyerok tulang belulang sang imam. Penghormatan kepada seseorang secara substansial, menurut Ibn Aqil, jauh lebih utama ketimbang cuma dalam kemasan.
Kontan, lontaran kritik Ibn Aqil dibalas dengan cap sebagai ulama sesat, penganut taklid buta dan bid’ah, pelindung gereja, serta penolak kemajuan Islam. Darahnya; dihalalkan.
Kebenaran telah disampaikan, Ibn Aqil tak gusar; ia tetap menulis dan belajar. Prinsip humanisme Islam yang ia anut melahirkan kitab al Funun. Tak tanggung-tanggung, hingga setebal 800 jilid.
Ibn Aqil adalah mutiara dalam sebuah peradaban. Islam punya banyak. Tapi dalam setiap periodenya, tak usah heran, jika “Ibn Aqil-Ibn Aqil itu”; akan kenyang dengan fitnahan. []
Sobih Adnan adalah jurnalis, aktif juga di jaringan Gusdurian, www.sobihadnan.com