Suatu hari Nasruddin dan sahabatnya, Abdullah, berjalan bersama melintasi padang gurun di daerah Arab sana. Sembari berjalan, mereka saling berbincang akrab. Mungkin karena lelah berjalan sementara rasa haus dan lapar mulai menyerang, perbincangan akrab berubah menjadi perdebatan dan adu argumen. Abdullah yang kesal dan emosional karena merasa kalah debat tiba-tiba menampar wajah Nasruddin. Nasruddin terkejut menerima tamparan tersebut. Sambil menahan sakit di wajahnya, ia membuat tulisan di pasir gurun itu, bunyinya, “Hari ini, sahabatku menampar wajahku.”
Setelah saling berdamai, kedua sahabat itu melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba mereka menemukan oase di tengah gurun itu. Segera saja mereka berlari, berlomba-lomba menyongsong oase itu. Melihat danau yang berair jernih dan segar, mereka yang sudah kepanasan dan kelelahan itu tentu kepingin mandi di sana. Nasruddin segera nyemplung terlebih dahulu. Namun, ia baru menyadari bahwa danau itu ternyata sangat dalam. Karena tidak pandai berenang, ia pun mulai tenggelam.
Abdullah yang melihat sahabatnya mulai tenggelam cepat-cepat nyemplung juga ke kolam itu. Untunglah Abdullah pandai berenang sehingga ia berhasil menyelamatkan Nasruddin. Nasruddin dibawanya ke pinggir danau agar dapat menenangkan diri dari shock karena nyaris tenggelam. Setelah pulih dari shock-nya, Nasruddin menulis di sebuah batu, bunyinya, “Hari ini, sahabatku menyelamatkan nyawaku.”
Melihat itu, Abdullah heran dan bertanya pada Nasruddin, “Sahabat, kenapa setelah aku menamparmu tadi, kamu menulis di atas pasir? Dan kenapa sekarang kamu menulis di atas batu?”
Nasruddin menjawab, “Ketika seseorang menyakitimu, tulislah di atas pasir supaya angin maaf segera menghapusnya. Tapi, ketika seseorang berbuat baik padamu, ukirlah pada permukaan batu sehingga angin takkan pernah mampu menghapusnya.”