Indonesia merupakan negara multikultural dengan beragam tradisi. Salah satu tradisi yang sering kita temui adalah sungkem. Tradisi yang melekat pada masyarakat suku Jawa ini merupakan cara penghormatan seorang anak kepada orangtuanya.
Dalam kamus Bahasa Jawa, sungkem berarti sujud, bekti banget (sujud, sangat berbakti). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sungkem bermakna sujud sebagai tanda bakti dan hormat.
Tradisi sungkem biasanya dilakukan seorang anak kepada orang tuanya pada momen tertentu, misalnya Idul Fitri dan pernikahan. Sungkem saat Idul Fitri dimaksudkan untuk memohon maaf kepada kedua orangtua.
Sedangkan sungkem seorang pengantin kepada kedua orang tua ditunjukkan sebagai tanda bakti dan rasa terimakasih atas bimbingan orangtua kepada anaknya sejak lahir hingga menikah, serta sebagai permohonan doa restu untuk membangun rumah tangga.
Jika sungkem diartikan sebagai sujud, lalu bagaimana Islam memandang tradisi ini?
Dalam hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah Saw bersabda: “Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka akan aku perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya”.
Hadis di atas menunjukkan pengandaian sujud seorang istri kepada suaminya. Namun, itu hanya pengandaian karena sujud kepada manusia tidak diperbolehkan.
Meskipun redaksi yang digunakan adalah sujud, makna yang kita ambil dari hadis ini adalah makna konotatif (majas) bukan denotatif (hakikat). Yakni seorang istri harus selalu taat kepada suaminya.
Jika kita perhatikan makna tekstual, hadis ini mengandung larangan bersujud kepada manusia, karena sujud yang dimaksud adalah sujud sebagai penghambaan. Sedangkan sujud untuk penghambaan merupakan hal yang dilarang. Perumpaan sujud menunjukkan betapa besarnya ketaatan yang harus ada pada diri istri kepada suami.
Namun, beberapa ayat Al-Qur’an justru menunjukkan kebolehan bersujud kepada manusia. Allah Swt berfirman :
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat “Bersujudlah kamu kepada Adam! Maka mereka semua pun bersujud, kecuali Iblis. Dia enggan dan menyombongkan diri, dan dia termasuk dalam golongan orang-orang kafir”. (Al-Baqoroh 34)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa arti kata sujud pada ayat tersebut adalah sujud penghormatan untuk Adam.
Sujud kepada Adam di sini pun merupakan ibadah karena menunjukkan ketaatan dalam melaksanakan perintah Allah Swt. Dengan bersujud kepada Adam, berarti Malaikat taat dan melaksanakan perintah Allah Swt. Sedangkan Iblis dikatakan kafir dan dikeluarkan dari surga karena tidak menaati perintah Allah Swt.
Saudara-saudara Nabi Yusuf dan orang tuanya juga pernah bersujud kepada Nabi Yusuf As, Allah Swt berfirman:
وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا
“Dan ia (Yusuf) menaikkan kedua orangtuanya ke atas singgasana. Lalu mereka semua merendahkan diri dan bersujud kepadanya (Yusuf)”. (QS. Yusuf: 100)
Makna sujud kepada Yusuf pada ayat ini juga bukan sebagai penghambaan, melainkan penghormatan. Abu Hatim mengatakan bahwa penghormatan orang terdahulu dilakukan dengan bersujud.
Kita tidak bisa menyamakan sujud kepada Allah Swt dengan sungkem. Karena tradisi sungkem di Indonesia bukan dimaksudkan sebagai penghambaan, melainkan wujud ketaatan dan penghormatan seorang anak kepada orangtua.
Sujud untuk beribadah dalam praktiknya pun berbeda dengan tata cara sungkem. Sujud harus disertai dengan niat penghambaan dan juga dilaksanakan dengan syarat-syarat tertentu, yakni posisi dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua telapak jari harus menempel ke tempat sujud.
Sedangkan cara sungkem yaitu menundukkan kepala dan duduk dengan posisi orangtua berada lebih tinggi darinya. Lalu anak mencium tangan orangtua sambil mengucapkan kata-kata maaf dan sebagainya.
Oleh karena itu, sungkem dan sujud (seperti dalam shalat) tidak bisa disamakan. Karena keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Sungkem bukan lah sebuah simbol penghambaan. Berbeda dengan sujud pada saat shalat. Hal itu malah harus diniatkan sebagai penghambaan kita kepada Allah Swt.
Wallahu A’lam.