Salah satu permasalahan yang diperdebatkan para pendukung khilafah atau penegakkan syariah Islam adalah permasalahan penerapan hukum pidana Islam. Menurut mereka, Indonesia merupakan negara thagut atau kafir karena tidak menerapkan hukum cambuk, potong tangan, rajam, dan lain sebagainya. Bahkan yang lebih ekstrim lagi sebagian mereka beranggapan bahwa pemerintahan yang tidak menerapkan hukum Islam dalam konteks bernegara wajib diperangi dan dikudeta. Sebagian jihadis baik yang pro-ISIS ataupun Jabhah Nushrah menjadikan buku al-‘Umdah fi i’dâd al-‘Uddah karya Abdul Qadir bin Abdul Aziz sebagai rujukan.
Oleh karena itu, sasaran utama mereka adalah aparat keamanan yang dalam hal ini adalah polisi, dan bahkan masyarakat sipil yang tidak berdosa pun menjadi korban bom bunuh diri sejak beberapa tahun silam. Kadiv Humas Mabes Polri Mabes Polri, Inspektur Jenderal Anton Charliyan, dalam jumpa pers pada Kamis (07/04/16) mencatat bahwa total korban tewas di Indonesia akibat bom sudah melebihi dari korban teroris yang meninggal dunia yang berjumlah 121 orang. Pada bom Bali pertama, korban tewas dari masyarakat sipil mencapai 406 jiwa. Artinya, jumlah ini lebih banyak tiga kali lipat korban teroris yang meninggal dunia. Menurutnya, belum lagi korban luka akibat aksi terorisme.
Ada kutipan menarik dari Syekh Tajudin as-Subki dalam karyanya, Jam’ al-Jawami’ yang mecantumkan salah satu pendapat al-Karkhi terkait tidak wajibnya mengamalkan Hadis Ahad yang berkaitan dengan hukum pidana. Selain itu, ulama bermazhab Hanafi ini lebih mempertimbangkan hadis Nabi yang diriwayatkan Aisyah yang mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Lakukan seminimal mungkin memidanakan seseorang. Jika dia bertobat dan berkelakuan baik, berikanlah remisi padanya. Hal ini karena hakim yang salah dalam memberikan remisi itu lebih baik daripada hakim yang salah dalam memberikan hukuman” (HR Baihaqi).
Sementara itu, Hadis-hadis Mutawatir jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan Hadis Ahad. Al-Kattani menyebutkan dalam karyanya, Nazhm al-Mutanatsir min al-Hadits al-Mutawatir, bahwa Hadis Mutawatir hanya berjumlah 310 hadis, dan sisanya adalah Hadis Ahad.
Di sisi lain, Sahabat Umar pernah mempunyai kebijakan yang berbeda dengan penetapan dari Alquran dan Sunah terkait potong tangan pencuri. Ketika stabilitas perekonomian negara terganggun akibat krisis moneter yang menyebabkan kesenjangan sosial di masyarakat, sahabat Umar mencabut kewajiban potong tangan bagi para pencuri.
Perubahan kondisi sosial-masyarakat dapat mempengaruhi kebijakan pemimpin dalam menetapkan hukum. Al-hukm yataghayyar ma’a taghayyur al-amkinah, wa al-azminah, wa al-ahwâl, hukum itu dapat berubah sesuai kondisi geografis, temporal, dan sosial-masyarakat. Belum lagi bila kita pendapat para sesepuh NU yang mengutip pendapat penulis Bughyah al-Mustarsyidin yang menyatakan bahwa Indonesia dikategorikan sebagai negara Islam pada masa penjajahan Belanda.
Dari penjelasan ini dapat kita pahami bahwa penerapan hukum pidana tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama. Artinya, negara diberikan kewenangan menentukan hukum pidananya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Yang terpenting dari penerapan hukum pidana itu sendiri adalah membuat jera para pelakunya. Selain itu, negara juga tidak boleh sewenang-wenang menghukum seseorang sebelum dibuktikan melalui persidangan dengan adanya bukti dan saksi.
Oleh karena itu, kita perlu mempertegas sekali lagi bahwa apa yang disepakati oleh para pendiri bangsa ini, baik dari kalangan nasionalis maupun islamis, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila dan UUD 45 sudah final dan tidak dapat diganggu gugat lagi.
Bila ada orang yang melecehkan simbol-simbol negara itu sama saja melakukan makar terhadap negara dan melanggar ijmak para pendiri bangsa ini. Jangan biarkan mereka kokoh dan besar bila negeri kita tidak ingin seperti Timur Tengah yang konfliknya hingga kini belum usai. []
Ibnu Kharis adalah Peneliti Hadis di el-Bukhari Institute dan Redaktur Bincang Syariah.com