Hukum Perempuan Mengimami Laki-Laki (2)

Hukum Perempuan Mengimami Laki-Laki (2)

Hukum Perempuan Mengimami Laki-Laki (2)
US professor Amina Wadud (R) prepares to kneel in front of the congregation whilst leading Friday prayers for men and women at the Oxford Centre in Oxford, in southern England, on October 17, 2008. AFP PHOTO/Adrian Dennis (Photo credit should read ADRIAN DENNIS/AFP/Getty Images)

Kritik Aktifis Gender Kontemporer

Kritikan mereka bukan berarti tanpa alasan, sebagian mereka mengajukan sebuah riwayat yang disebut-sebut bisa menjadi antitesis dari pendapat ulama yang telah penulis sebutkan di atas. Riwayat yang dimaksud adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah ahli hadis seperti Imam Ahmad ibn Hambal dalam Musnad-nya, Abū Dāūd dalam Sunan-nya, Ibn Khuzaimah dalam Shahīh-nya, al-Thabrāni dalam al-Mu’jam al-Kabīr-nya, al-Dāruquthnī dalam Sunan-nya, Ibn Jarud dalam al-Muntaqa-nya, al-Hākim dalam al-Mustadrak-nya, dan al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Shaghir-nya dengan total sebelas jalur sanad.

Hadis ini populer melalui riwayat Imam Abū Dāūd. Dalam riwayat tersebut diceritakan bahwa Ummu Waraqah binti Naufal berkata kepada Nabi pada saat beliau akan berangkat menuju Badar (Perang Badar), “Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk ikut berperang bersama Anda! Saya akan merawat orang-orang yang luka dari prajurit-prajurit Anda. Mudah-mudahan Allah Swt menganugerahi saya mati sebagai syahid.” Nabi Saw menjawab, “Kamu di rumah saja, karena Allah Swt akan memberi kamu pahala sebagai syahid”.

Abd al-Rahmān al-Khallād, perawi hadis ini, menyebutkan, “Ummu Waraqah akhirnya akrab dengan panggilan Syahidah. Ia juga membaca (hafal) al-Qur’an. Ia meminta izin kepada Nabi untuk mengangkat seorang muazzin di rumahnya. Nabi Saw pun mengizinkannya.” Ia melanjutkan, “Ummu Waraqah berjanji untuk memerdekakan seorang budak laki-laki dan perempuan miliknya sesudah ia meninggal dunia. Namun pada suatu malam, (pada masa kekhalifahan Umar) keduanya bangun dan menghampiri Ummu Waraqah, kemudian menyumpalnya dengan kain sampai meninggal, lalu keduanya melarikan diri.

Keesokan harinya di hadapan masyarakat banyak, Umar ibn al-Khatthāb mengumumkan : Siapa yang mengetahui keberadaan dua orang hamba sahaya pembunuh Ummu Waraqah tersebut, hendaklah ia melapor dan membawa keduanya ke hadapan kami. Lalu Umar memerintahkan supaya menyalib kedua hamba tadi, keduanya adalah orang pertama yang disalib di Madinah.

Dalam riwayat lain dengan jalur (sanad) yang berbeda, Imam Abū Dāūd menyebutkan bahwa Abd al-Rahmān al-Khallād berkata, “Rasulullah sering mengunjungi Ummu Waraqah di rumahnya dan menunjuk seorang muazzin untuk berazan. Rasulullah juga menyuruhnya untuk mengimami salat jamaah bagi penghuni rumahnya”. Abd al-Rahmān al-Khallād juga mengatakan bahwa tukang azannya adalah seorang laki-laki tua. Berdasarkan ungkapan al-Khallād ini sebagian ulama seperti Imam Abū Tsaur, al-Muzani, dan al-Thabari membolehkan perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Ibn Qudāmah, Ibn Rusyd dan al-Syaukāni dalam karya-karya mereka.

Namun dalam riwayat-riwayat lain selain Abū Dāūd tidak disebutkan bahwa Ummu Waraqah mengimani makmum campuran antara laki-laki dengan perempuan. Bahkan dalam riwayat al-Dāruquthnī dijelaskan bahwa Ummu Waraqah hanya mengimami kaum perempuan yang ada di rumahnya. Dengan demikian para ulama yang menjadikan hadis ini sebagai dalil kebolehan perempuan menjadi imam bagi laki-laki hanya berdalil dari hal yang tersirat (mafhum) dari hadis tersebut, bukan dengan apa-apa yang tersurat (manthuq).

Ada beberapa catatan terkait hadis tersebut, hal ini sebagaimana juga dijelaskan secara panjang lebar oleh Kyai Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya Imam Perempuan. Pertama, hadis ini disampaikan oleh seorang yang bernama Abd al-Rahmān al-Khallād, seorang perawi kontroversial yang dianggap tsiqah (kredibel) oleh Ibn Hibbān, namun majhūl al-hāl (tidak diketahui identitasnya) oleh Ibn al-Qatthan. Perawi yang majhūl al-hāl menurut mayoritas ulama hadis –sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Hajr- adalah dhā’if (lemah).

Kedua, meskipun Imam Abū Dāūd tidak mengomentari hadis tersebut –sebagai pertanda bahwa hadis tersebut tidak bermasalah, karena Imam Abū Dāūd dalam sebuah suratnya kepada warga Kota Mekah pernah mengatakan bahwa setiap hadis yang tidak beliau komentari dalam kitabnya berarti hadis tersebut sahih/tidak bermasalah bahkan lebih sahih dari hadis lain-, namun setelah diteliti lebih lanjut ternyata tidak demikian. Perawi yang menjadi madar sanad (titik sentral) hadis di atas adalah seorang rawi yang kontroversial (bermasalah).

Ia bernama al-Walīd ibn al-Juma’i. Seorang perawi yang dianggap kredibel oleh Yahya ibn Ma’in, al-‘Ijlī, dan Abū Zur’ah. Sementara itu Imam Ahmad menyebutnya dengan istilah la ba’tsa bih yang menandakan bahwa ia adalah seorang perawi yang tidak bermasalah namun kemampuan daya ingatnya diragukan. Sedangkan Abū Hātim menilainya lebih rendah dengan ungkapan shālih al-hadīs (hadisnya baik). Bahkan Ibn Hibbān menggolongkannya sebagai salah satu perawi yang dhā’if dalam kitabnya al-Dhu’afa.

Parahnya lagi, Ibn Hibbān menyebutkan bahwa periwayatan al-Walīd tidak pernah diiringi oleh perawi-perawi lain yang kredibel. Imam Hākim juga menyayangkan sikap Imam Muslim yang menjadikan al-Walīd ibn al-Juma’i sebagai salah seorang rijal-nya. Dengan demikian, berdasarkan kaedah jarh ta’dīl yang berlaku dalam Ilmu Hadis, yaitu jika ungkapan jarh dan ta’dīl berlawanan pada seorang perawi, maka yang diunggulkan adalah ungkapan yang men­jarh, sekalipun jumlah mereka yang menta’dil lebih banyak dari mereka yang menjarh.

Ketiga, terdapat kerancuan dalam memaknai hadis tersebut. Para ulama yang menjadikan hadis itu sebagai dalil kebolehan perempuan mengimami laki-laki kurang arif dalam mengambil kesimpulan. Sebagaimana yang diketahui bahwa hadis riwayat Abū Dāūd mempunyai makna yang lebih umum, karena di sana tidak dijelaskan apakah Ummu Waraqah mengimami jamaah yang terdiri dari laki-laki dan perempuan atau hanya perempuan saja. Sedangkan riwayat al-Dāraquthni menyajikan informasi yang lebih rinci, yaitu Ummu Waraqah hanya mengimami kaum perempuan yang ada di rumahnya saja, bukan bersama-sama dengan laki-laki.

Oleh sebab itu, keumuman makna yang terdapat pada riwayat Abū Dāūd harus ditakhshis dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Dāraquthni. Demikian kata sebuah kaedah dalam Ilmu Usul Fikih. Selain itu, kita tidak bisa memahami sebuah hadis secara mandiri tanpa mengkompromikannya dengan hadis lain karena kaedah al-hadīs yufassiru ba’dhuhu ba’dhan (hadis sebagiannya menjelaskan sebagian yang lain) sebagaimana halnya al-Qur’an yang sebagian ayatnya juga menjelaskan ayat yang lain. Keempat, seandainya hadis ini bernilai sahih pun, maka ia hanya dikhususkan untuk Ummu Waraqah semata, karena tidak satu pun riwayat sahih lainnya yang mendukung dan menyebutkan adanya perempuan yang menjadi imam untuk laki-laki, kecuali hanya untuk perempuan saja.

Meskipun hadis di atas dinilai lebih berpihak kepada laki-laki (sebut bias gender), namun bukan berarti dalam hal ini Islam menganggap rendah perempuan. Akan tetapi dalam Islam, terdapat syariat yang hanya bisa dilakukan oleh kaum laki-laki dan ada syariat yang hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuan serta ada juga yang bisa dilaksanakan oleh kedua-duanya secara bersamaan. Klasifikasi seperti ini juga diakui oleh Nasarudin Umar (pakar gender UIN Jakarta). Ia mengatakan tidak semua perkara agama bisa didekati dengan sudut pandang gender. Sebagiannya ada yang bersifat konstan dan ada juga yang fleksibel.

Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, penulis cendrung mengatakan bahwa persoalan imāmah al-shalāh adalah salah satu di antara perkara agama yang dibebankan kepada laki-laki. Asumsi ini diperkuat oleh beberapa dalil dan pendapat dari sebagian besar ulama dari masa ke masa. Perempuan boleh menjadi imam, akan tetapi hanya dalam komunitas mereka saja, dengan catatan di tempat tersebut tidak ada seorang laki-laki yang memenuhi syarat untuk menjadi imam salat. Demikian ulasan pendek terkait hadis di atas, semoga bermanfaat. Wallahu A’lam