Hukum Perempuan Mengimami Laki-Laki (1)

Hukum Perempuan Mengimami Laki-Laki (1)

Hukum Perempuan Mengimami Laki-Laki (1)
US professor Amina Wadud (R) prepares to kneel in front of the congregation whilst leading Friday prayers for men and women at the Oxford Centre in Oxford, in southern England, on October 17, 2008. AFP PHOTO/Adrian Dennis (Photo credit should read ADRIAN DENNIS/AFP/Getty Images)

khususnya dalam persoalan imāmah al-shalāh, bahwa orang yang sah menjadi imam salat hanyalah laki-laki. Sejak dari kitab fikih terkecil seperti Matan Abī Suja’, Fath al-Qarīb, Fath al-Mu’in, I’ānah al-Thālibīn, sampai kepada kitab fikih yang agak besar seperti Hāsyiyah al-Qalyūbi wa ‘Umayrah li Minhaj al-Thālibin dan lain sebagainya juga mengajarkan bahwa hanya laki-laki yang boleh menjadi imam.

Bahkan dalam kitab al-Umm karya Imam Syāfi’i sendiri disebutkan bahwa seandainya ada seorang perempuan mengimami segolongan kaum yang terdiri dari laki-laki, perempuan, dan anak laki-laki, maka salat para makmum perempuan adalah sah, sedangkan salat para makmum laki-laki dan anak laki-laki tidak sah. Hal itu menurut Imam Syāfi’i karena Allah Swt menjadikan laki-laki sebagai pemimpin untuk perempuan. Selain itu, Allah Swt juga tidak menjadikan perempuan sebagai wali dan lain-lain. Serta perempuan dalam keadaan bagaimanapun tidak boleh menjadi imam salat untuk makmum laki-laki.

Salah satu dalil yang digunakan oleh Imam Syāfi’i dalam hal ini adalah firman Allah Swt dalam Surah al-Nisā ayat ke-34. Ayat tersebut secara tersurat menegaskan bahwa kaum laki-laki merupakan pelindung, pemimpin, dan pengayom bagi perempuan. Dengan demikian, karena imam merupakan pemimpin dalam salat maka secara otomatis ia harus laki-laki, tidak boleh perempuan. Lebih jauh ayat ini diinterpretasikan oleh K.H. Ali Mustafa Ya’qub sebagai ayat yang menegaskan ketidakbolehan perempuan untuk menjadi pemimpin.

Beliau menegaskan, meskipun ayat ini berbicara tentang kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, namun perlu digarisbawahi bahwa urusan rumah tangga merupakan komunitas terkecil yang ada dalam kehidupan manusia, lebih kecil dari urusan salat jamaah, apalagi masalah masyarakat ataupun bahkan kenegaraan. Sehingga kalau dalam hal yang kecil saja seorang perempuan tidak diperbolehkan untuk menjadi pemimpin, maka dalam persoalan yang lebih besar seperti kemasyarakatan dan kenegaraan tentu perempuan lebih tidak diperbolehkan lagi untuk menjadi pemimpin.

Selain itu Kyai Ali juga memahami bahwa kendati ayat tersebut secara tegas tidak menyebutkan larangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin -karena ayat tersebut berbentuk kalimat berita (khabr), bukan larangan (insya’)-, namun sejatinya ia adalah kalimat perintah/insya’, yaitu perintah untuk kaum laki-laki untuk menjadi pemimpin, pelindung, dan pengayom bagi perempuan sekaligus larangan terhadap perempuan untuk menjadi pemimpin bagi kaum laki-laki. Demikian menurut salah satu kaedah dalam Ilmu Usul Fikih.

Selain ayat di atas sebenarnya ada dalil lain yang digunakan oleh sekelompok ulama untuk melarang perempuan menjadi imam bagi laki-laki, yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Mājah yang artinya, “ingatlah, jangan sekali-kali ada wanita menjadi imam salat untuk laki-laki”. Namun sayang, Imam Busyairi dalam kitabnya Zawāid Ibn Mājah ‘ālā al-Kutub al-Khamsah menyebutkan bahwa hadis di atas bernilai dha’if (lemah), karena di dalam sanadnya terdapat dua orang perawi yang lemah periwayatannya, yaitu Ali ibn Zaid ibn Ju’dan dan Abdullāh ibn Muhammad al-‘Adawi.

Secara teoritis hadis tersebut tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk melarang perempuan menjadi imam bagi laki-laki, akan tetapi karena makna dari hadis ini diterima dan diamalkan oleh mayoritas ulama dari masa ke-masa –semenjak masa Rasulullah sendiri hingga sekarang- maka hadis tersebut tetap bisa dijadikan sebagai acuan pelarangan di atas. Hal inilah yang disebut dalam Ilmu Hadis sebagai Khabr al-Ahad al-Maqbūl al-Muhtaffi bi al-Qarāin (hadis yang diterima karena faktor-faktor eksternal).

Syekh Ismāil al-Anshāri pernah menyebutkan bahwa hadis yang substansinya telah diterima dan diamalkan oleh para ulama, tidak perlu diteliti lagi sanadnya. Dalam arti kata hadis tersebut dhā’if secara lafadz namun sahih secara makna. Hadis yang seperti ini juga sering dikutip oleh Imam al-Tirmidzī dalam kitab Sunan-nya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyid Muhammad dalam bukunya Tahqīq al-Āmāl fī Mā Yanfa’u al-Mayyit min al-A’māl. Alasan inilah yang kemudian mendorong Imam Ibn Qudāmah tetap mencantumkan hadis di atas sebagai salah satu dalil yang melarang perempuan menjadi imam salat dalam kitabnya al-Mughnī.

Sementara itu Imam al-Syāfi’i tidak menggunakan hadis tersebut dalam al-‘Umm-nya disebabkan semata-mata hanya karena status hadis itu yang bernilai dhā’if, meskipun sebenarnya beliau setuju dan menerima maknanyaBeliau pernah menyebutkan bahwa idzā shahha al-hadīs fa huwa madzhabī (apabila sebuah hadis itu sahih maka itu adalah mazhabku). Itulah beberapa alasan ulama dari berbagai mazhab yang ada, konsisten dengan pendapat terlarangnya perempuan menjadi imam salat untuk laki-laki. Walaupun sebagian aktifis gender kontemporer ada yang mengkritik dan menyebutnya sebagai hadis yang berbau misoginis. 

Bersambung