Hukum Merapatkan Shaf

Hukum Merapatkan Shaf

Hukum Merapatkan Shaf

Sebelum memulai salat, seorang imam disunahkan untuk memastikan bahwa saf para makmumnya sudah rapat dan lurus. Biasanya seorang imam akan mengatakan, “Sawwu shufufakum, fa inna tashfiyah al-shaf min tamam al-shalah” dan sebagian yang lain membaca “min iqamah al-shalah” yang bermakna, “Luruskanlah saf kalian, karena lurusnya saf adalah bagian dari kesempurnaan salat atau bagian dari mendirikan salat”. Kedua redaksi tersebut sama-sama benar karena hadisnya berstatus sahih, riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim.

Imam al-Syaukani dalam karyanya Nail al-Authar menjelaskan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menghukumi rapatnya saf dalam salat jama’ah. Ibn Hazm mengatakan hukumnya adalah wajib sebagaimana wajibnya mendirikan salat, karena menurutnya sesuatu yang merupakan bagian dari ibadah yang wajib maka otomatis hukumnya juga wajib. Sementara itu Ibn al-Batthal, Ibn Daqiq al-‘Id, dan mayoritas ulama hanya menghukuminya sunah saja. Artinya saf yang lurus dan rapat berpotensi menambah kekhidmatan salat.

Namun pertanyaannya sekarang adalah apakah standar lurus dan rapatnya sebuah saf itu.? Haruskah seorang makmum menempelkan kakinya dengan kaki makmum yang disebelahnya atau bahkan menginjaknya untuk merapatkan saf.? Atau haruskah seseorang makmum menempelkan bahunya ke bahu teman di sampingnya.? Hal ini sering menjadi masalah bagi sebagian muslim yang memahami bahwa rapatnya saf itu harus dengan mempertemukan kaki dengan kaki dan bahu dengan bahu. Benarkah halnya demikian? Mari kita bahas.

Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’-nya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lurusnya saf pada hadis di atas adalah memenuhi saf yang pertama terlebih dahulu, kemudian baru menyambungnya dengan saf yang selanjutnya serta menutup ruang/celah kosong yang terdapat di dalam saf. Termasuk ke dalam makna hadis itu juga menyejajarkan barisan dengan standar dada salah seorang makmum tidak terkedepan dari dada para makmum yang lain. Begitu juga dengan tumitnya, tidak ada yang terkebelakang dari tumit makmum yang di sebelahnya.

Sementara itu, Syekh Zainuddin al-Malibari dalam karyanya Fath al-Mu’in menegaskan bahwa yang menjadi standar lurusnya saf adalah kesejajaran bahu dan tumit antar makmum, bukan jari-jari kaki mereka, karena jari-jari kaki seseorang bisa saja berbeda-beda dalam hal panjang dan lebarnya, sehingga tidak bisa dijadikan patokan. Sedangkan standar rapatnya saf adalah tidak adanya ruang atau celah yang kosong antar makmum yang ada. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh para ulama dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah.

Hal senada juga dijelaskan oleh Abu al-Naja Musa ibn Ahmad ibn Musa al-Hijawi, seorang ulama bermazhab Hambali, dalam karyanya yang berjudul Zad al-Mustaqni’ fi Ikhtishar al-Muqni’. Kitab ini juga dikomentari langsung oleh Syekh Muhammad ibn Shaleh al-‘Utsaimin, mantan mufti Kerajaan Saudi Arabia, sebagai kitab kecil yang mempunyai kandungan yang padat dan lengkap. Abu Naja menggarisbawahi bahwa yang dimaksud rapat di sini bukan berdesak-desakan dalam artian menempel secara ketat antar satu sama lain.

Abu Naja juga menyindir sebagian kalangan yang, mungkin lantaran kecintaan mereka terhadap sunah, keliru dalam memahami hadis tentang anjuran merapatkan saf. Mereka memahami bahwa rapat itu harus dengan menempelkan ujung kaki mereka dengan ujung kaki makmum yang lain. Malahan menurutnya hal ini dapat saja menyakiti makmum yang disebelahnya karena membuatnya terganggu dan sulit untuk melakukan gerakan sunat-sunat haiat salat seperti duduk tawaruk, duduk untuk tumakninah, dan gerakan-gerakan sunah lainnya.

Sehingga dengan demikian, dapat dipahami bahwa tidak seorangpun dari ulama yang sudah penulis sebutkan di atas yang mengharuskan kaki seorang makmum harus menempel dengan kaki makmum yang disebelahnya, karena hal itu dapat menyakiti serta menyusahkan makmum yang di sampingnya. Hanya saja yang dianjurkan adalah tidak menyisakan ruang kosong di tengah saf yang berpotensi memutuskan saf. Bagi makmum yang mendapati kondisi seperti ini hendaknya segera menutupinya dengan masuk ke saf yang bolong tersebut.

Adapun hikmah dari rapat dan lurusnya saf, menurut riwayat-riwayat yang sahih, di antaranya adalah untuk menyempurnakan pelaksanaan salat sebagaimana yang sudah disebutkan di atas. Di samping itu, rapatnya saf merupakan simbol persatuan umat, sehingga dengan saf yang bolong-bolong serta tidak lurus itu dikhawatirkan akan merusak hati dan persatuan umat. Begitu juga, di antara saf-saf yang kosong akan dengan mudah dimasuki oleh setan yang bertugas menganggu serta mempengaruhi manusia agar tidak khusyuk dalam salatnya.

Tulisan ini pernah dimuat di Bincangsyariah.com