Hukum Menghadiahkan Pahala Untuk Orang Meninggal

Hukum Menghadiahkan Pahala Untuk Orang Meninggal

Hukum Menghadiahkan Pahala Untuk Orang Meninggal

Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Annajm: 39 yang berbunyi:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya”.

Ayat ini merupakan salah satu di antara dalil penting yang dijadikan landasan oleh kebanyakan kaum tekstualis (memahami landasan hukum hanya berdasar teks, tanpa konteks) yang memberlakukan keumuman sebuah teks secara mutlak tanpa mengaitkannya dengan dalil-dalil lain yang (mungkin saja) membatasi keumumannya.

Padahal seharusnya teks-teks sumber hukun berupa Alquran dan hadis harus dipahami secara komprehensif agar menghasilkan sebuah pengetahuan yang padu (utuh) dan saling berkaitan antara satu sama lain, sehingga dapat mendekati apa yang dikehendaki oleh sang pembawa syariat (Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw).

Sayid Muhammad ibn ‘Alawi al-Maliki dalam berbagai karyanya mengkritik keras golongan yang berprinsip memahami dasar hukum hanya berdasar teks belaka. Memang benar, secara tekstual ayat ini memberi pemahaman kepada kita bahwa seseorang manusia hanya mendapatkan ganjaran pahala dari apa yang dilakukannya secara pribadi pada saat dia masih hidup. Konsekuensinya secara otomatis, orang yang sudah meninggal dunia tidak dapat memperoleh manfaat dari apa pun setelah kematiannya, karena sekali lagi, bagiannya hanya terbatas dengan apa yang telah dia usahakan selama hidup di dunia.

Namun, selain ayat di atas (jika dibaca secara komprehensif), terdapat teks lain yang menegaskan bahwa orang yang telah meninggal ternyata masih bisa memperoleh manfaat dari usaha selain usahanya pribadi sebagaimana dijelaskan dalam banyak riwayat.

Di antara teks penting yang berkaitan dengan ayat di atas adalah sebuah hadis sahih lagi masyhuryang bersumber dari Abī Hurayrah r.a, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “apabila seorang hamba meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang selalu mendoakan kedua orangtuanya”. (H.R. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i).

Sayyid Muhammad dalam salah satu karyanya Tahqiq al-Amal fi Ma Yanfa’u al-Mayyit Min al-A’mal ketika menjelaskan hadis ini menyebutkan bahwa orangtua beliau, Sayid al-Imam ‘Alawi ibn Abbas al-Maliki al-Hasani r.a pernah menjelaskan hadis ini sembari berkata:

Ketahuilah bahwa terputusnya amalan dengan sebab kematian merupakan persoalan yang jelas, karena orang yang telah meninggal tidak mungkin beramal dan begitu juga ia tidak akan dibebani dengan hukum agama setelah kematiannya.

Hanya saja yang dimaksud oleh hadis tersebut adalah bahwa efek sebagian amalan dapat saja berkelanjutan hingga setelah kematian seseorang, sehingga pahalanya tidak akan terputus ketika amalan tersebut terus diulang-ulang oleh orang lain.

Dalam hadis tersebut disebutkan setidaknya ada tiga amalan yang pahalanya tidak akan terputus, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, serta anak saleh yang selalu mendoakan kedua orangtuanya”.

Di samping itu, Imam Ibn Mājah juga meriwayatkan sebuah hadis yang juga bersumber dari Abī Hurayrah, ia berkata, “Rasulullah Saw telah bersabda, “Sesungguhnya di antara amal dan kebaikan yang akan memberikan manfaat terhadap seorang hamba setelah kematiannya adalah ilmu yang telah ia ajarkan, anak saleh yang ia tinggalkan, Alquran yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, begitu juga dengan bangunan untuk para ibn sabil, sungai yang ia alirkan, serta sedekah yang ia keluarkan dari hartanya di saat ia sehat dan masih hidup. Semua itu akan memberikan manfaat kepadanya setelah ia meninggal dunia”.

Hadis ini mencakup tujuh perkara yang menjadi pelengkap dari tiga hal yang disebutkan pada hadis pertama, sehingga jumlahnya menjadi sepuluh perkara.

Oleh karena itu, maka para ulama sunah, khususnya para imam kaum Salafi seperti Syekh Ibn Taymiyah dan Ibn al-Qayim yang memahami ayat ini secara benar mengakui bahwa orang yang sudah meninggal dapat memperoleh manfaat dari usaha selain usahanya sendiri.

Bahkan Ibn Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa­-nya menyebutkan bahwa setidaklah lebih dari 30 dalil yang menjelaskan bahwa seseorang yang sudah meninggal dunia bisa saja mendapatkan manfaat dan aliran pahala dari mereka yang masih hidup.

Sehingga keliru besar mereka yang mengatasnamakan pengikut Ibnu Taimiyah, tapi tidak mengakui sampainya hadiah pahala dari orang masih hidup kepada mereka yang sudah meninggal.

Syekh Fakhruddin Utsman ibn Ali al-Zayla’i menerangkan dalam penjelasannya terhadap Kitab Kanz al-Daqāiq, bab tentang menghajikan orang lain, “Terkait dengan ayat ke-39 dari Surah Annajm tersebut Ibn Abbas berkomentar bahwa ayat tersebut telah dinasekh (dihapus) oleh ayat lain, yaitu ayat ke-21 dari Surah Atthūr (Dan orang-orang yang beriman serta yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya).

Dengan demikian, jelaslah bahwa amat sangat picik pemikiran orang yang hanya memahami satu ayat saja, tanpa mengaitkannya dengan dalil lain yang semakna dengannya.

Selengkapnya, klik di sini