Hukum Mengganti Kurban dengan Uang, bukan Hewan Ternak

Hukum Mengganti Kurban dengan Uang, bukan Hewan Ternak

Hukum Mengganti Kurban dengan Uang, bukan Hewan Ternak

Umat Muslim memilki banyak kesempatan dalam mengamalkan ajaran agamanya. Salah satunya adalah berkurban, yang kita kenal selepas Idul Adha dengan cara menyembelih hewan ternak yang dianjurkan dalam Islam setelah melaksanakan shalat Idul Adha. Lalu, pertanyaannya, bolehkahkah menggant kurban ini dengan uang?

Para ulama banyak yang menyimpulkan bahwa yang dimaksud hewan ternak (al-an’am) di antaranya adalah sapi, unta, domba, dan kambing. Ibadah ini memiliki dasar hukum syar’i dari dalam Alquran misalnya di dalam surah al-Kautsar, Allah berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka berdoalah kepada Tuhanmu, dan berkurbanlah.”

Rasulullah Saw. bersabda di dalam hadis yang diriwayatkan dari Anas:

“Dirawayatkan dari Anas yang bercerita bahwa Rasulullah Saw. berkurban dengan dua kambing putih, lalu aku melihat beliau meletakkan kakinya disalah satu sisi lehernya seraya menyebut nama Allah dan bertakbir, lalu menyembelih sendiri kedua kambing tersebut” (HR Bukhari).

Nash yang saling mengisi satu sama lain ini, di mana yang awal bersifat umum dan di-takhsish oleh hadis yang diriwayatkan di atas menunjukkan ketegasan perintah kurban tersebut, meskipun para ulama berbeda pendapat tentang makna perintah berkurban tersebut.

Misalnya, di masa para sahabat, Abu Bakar al-Shidiq tidak melakukannya karena dikhawatirkan akan dianggap wajib. Ulama Syafi’iyyah menilai bahwa berkurban hukumnya sunah, namun ulama Hanafiyyah menilai hukumnya wajib bagi yang memilki kelapangan harta.

Namun, dari keragaman penilaian hukum di atas kita bisa menyimpulkan bahwa keberadaan ibadah kurban sangat penting bagi kemashlatan umat muslimin.

Kesimpulan hukum ulama Hanafiyyah bisa menjadi pelajaran bahwa berkurban memiliki fungsi kesetiakawanan sosial yang strategis karena ia menjadi wadah berbagi kepada yang tidak mampu dan kaum yang membutuhkan.

Daging yang dihasilkan dari hewan yang disembelih tidak hanya dinikmati oleh mereka yang berkurban, tapi juga oleh yang kurang mampu di mana notabene-nya mungkin tidak mampu untuk membeli daging sehari-harinya. Rasa berbagi yang dihasilkan dari proses ibadah kurban ternyata masih menimbulkan beberapa pertanyaan, terutama di Indonesia.

Apakah mungkin, jika penerima daging yang dari kalangan kurang mampu ternyata lebih membutuhkan makanan pokok lain seperti beras, sehingga lebih baik menjual daging yang diterima untuk dibelikan beras dan makanan pokok sehari-hari yang nilainya jauh lebih murah dibanding daging.

Mungkinkah sunah yang dilakukan Nabi diatas diambil maknanya saja, yaitu sebagai sarana berbagi kepada yang tidak mampu, dan mengesampingkan teks yang menyebutkan bahwa berkurban lazimnya menggunakan hewan ternak, seperti sapi, unta, domba, atau kambing?

Kami akan coba ulas di bawah ini kutipan Ibnu Qudamah terkait pendapat Ummu al-Mu’minin ‘Aisyah dan Bilal bin Rabah.

Almarhum Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub melalui bukunya at-Thuruq As-Shahihah fi Fahmi as-Sunnah yang dirilis bulan Juni lalu, dan diterbitkan bersama edisi bahasa Indonesia-nya dengan judul Cara Benar Memahami Hadis.

Beliau menemukan beberapa riwayat yang dikutip oleh Ibnu Qudamah, ulama bermazhab Hanbali, yang menyodorkan perkataan ‘Aisyah:

لأن أتصدق بخاتمي هذا أوجب إلي من أن أهدي إلى البيت ألفا

“Sungguh aku bersedekah dengan cincinku ini, lebih aku sukai daripada aku berkurban seribu ekor kepada penduduk Mekah.”

Pendapat senada juga disampaikan Bilal bin Rabbah yang dikutip dalam al-Mughni oleh Ibnu Qudamah:

ما أبالي أن لا أضحي إلا بديك ولأن أضعه في يتيم قد ترب فوه فهو أحب إلي من أن أضحي

“Aku tidak perduli kalau aku hanya berkurban dengan seekor ayam, karena memberikan uang berkurban itu untuk anak yatim yang membutuhkan lebih aku sukai dibandingkan menyembelih hewan kurban.”

Ibnu Qudamah pada akhirnya tetap mengambil pendapat yang mengunggulkan berkurban daripada bersedekah dengan nilai kurban, karena menurut ulama yang hidup di pertengahan abad ke-5 ini, mayoritas sahabat dan para khalifah sesudah Rasulullah melakukan amaliah kurban.

Kalau memang bersedekah dengan nilai hewan kurban lebih utama, maka mereka akan lebih memilih bersedekah dibanding berkurban (al-Mughni, XI/36).

Yang menarik untuk dicermati, K.H. Ali Mustafa Yaqub menggunakan kedua hadis di atas yang dikutip oleh Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni sebagai landasan bahwa ada beberapa sahabat seperti ‘Aisyah dan Bilal yang memiliki sudut pandang kontekstual dibandingkan para Sahabat yang berpendapat sebaliknya. Benarkah demikian? Nampaknya pertanyaan demikian masih membutuhkan diskusi yang mendalam di lain waktu.

Riwayat ‘Aisyah

Riwayat pernyataan ‘Aisyah yang dikutip oleh Ibnu Qudamah di atas rupanya bersumber di antaranya dari Mushannaf Abi Syaibah karya Abu Bakar bin Abi Syaibah.

Selain itu, kitab Ithaf al-Masanid al-‘Asyrah, yang ditulis al-Bushiri rupanya menyebut riwayat Aisyah ini. Misalnya yang disebutkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah:

عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : لأَنْ أَتَصَدَّقَ بِخَاتَمِي هَذَا أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أُهْدِيَ إلَى الْكَعْبَةِ أَلْفًا

Sementara yang disebut didalam al-Ithaf misalnya:

عن عائشة- رضي اللّه عنها، – قالت: “لأن أتصدق بخاتمي هذا على مسكين أحب إلي من ألف درهم أهديها إلى البيت

Riwayat yang tercatat dalam kitab al-Ithaf diriwayatkan oleh Musaddad. Al-Bushiri mengomentari riwayat diatas dengan mengatakan bahwa seluruh periwayatnya shahih.

Memang, kami belum mendapati riwayat yang bersumber dari Musaddad sendiri, karena al-Ithafdisusun dalam bentuk Athraf, di mana hadis-hadis di dalam sepuluh kitab musnad, termasuk Musnad al-Musaddad dikumpulkan dan diurutkan kata awalnya sesuai abjad.

Kembali kepada kedua teks di atas, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi tentang kaitannya dengan berkurban, pertama, apa sebenarnya yang dimaksud dengan al-Ihda ilal Bait?

Apakah maksudnya adalah al-hadyu yang dikenal sebagai hewan yang disembelih oleh orang yang melaksanakan haji setelah melaksanakan ‘umrah pada bulan yang sama (dikenal sebagai hajitamattu’), namun tidak kembali ke tempat memulai miqot?

Ataukah ia adalah sekadar hadiah yang memang ditujukan ‘Aisyah kepada Kakbah, di mana Kakbah sebagai kiblat umat muslim dan menjadi bentuk rasa syukur yang ingin dibagi kepada masyarakat sekitar Kakbah?

Pemahaman pertama nampaknya perlu dikiritisi menjadi jawabannya, karena al-hadyu tidak ditujukkan untuk Kakbah, namun sebagai sebuah denda (dam) bagi mereka yang melaksanakan haji tamattu’, dan pendistribusiannya diberikan kepada fakir miskin.

Dan, dua riwayat di atas menunjukkan bahwa yang diberikan bukanlah hewan kurban, namun uang sebesar seribu dirham. Memang, menurut catatan pakar sejarah, kebiasaan masyarakat Mekah untuk menghadiahkan hartanya bagi Kakbah sudah ada sejak pra-Islam.

Setelah agama Islam hadir, tradisi ini tetap ada namun dirubah orientasinya, dan memang disunahkan bagi mereka yang melaksanakan haji ifrad dan ‘umrah untuk menyembelih hewan ternak sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Adapun penamaan hadyu sebagai damadalah salah satu makna syar’i yang hadir setelah adanya syariat Islam.

Sementara itu, pemahaman kedua yang menyatakan bahwa yang dimaksud hadiah umumnya ditunjukkan dari satu pihak kepada orang tertentu, atau masyarakat tertentu sebagai pemberian dengan motivasi untuk menjaga keharmonisan antar sesama.

Namun, dari riwayat di atas, nampaknya yang dimaksud bukanlah hadiah yang dimaksudkan di dalam kitab-kitab fikih. Penjelasan tadi menyimpulkan bahwa yang dimaksud memang bukan hadiah, tapi bukan juga dimaknai sebagai kurban yang didalam bahasa Arab disebut denganudhhiyyah.

Imam Abu Bakar bin Abi Syaibah memang memasukkan hadis di atas di dalam tema Man Kariha al-Hadiyyah ila al-Bait wa Ikhtara as-Shodaqoh ‘ala dzalik (mereka yang tidak menyukai memberikan hadiah untuk Ka’bah dan lebih memilih bersedekah).

Artinya, riwayat ‘Aisyah di atas sebenarnya bernada untuk memberikan dukungan tentang asas kemanfaatan bersedekah dibandingkan harus mempersembahkan hadiah kepada Kakbah.

Namun, seperti pendapat Ibnu Qudamah, bahwa itu bukanlah sebagai sebuah kurban tapi tetap sebagai hadyu. Dengan demikian, nampaknya penggunaan dalil ini sebagai dasar bahwa bersedekah senilai dengan hewan kurban daripada menyembelih hewan kurban tidak tepat.

Berjalan Pada Koridor Masing-Masing

Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub memang menjadikan hadis ini sebagai dasar bolehnya melakukan amaliah bersedekah senilai dengan hewan untuk berkurban, disebabkan kesamaan tujuan yang terkandung di dalamnya yaitu bentuk kepedulian sosial kepada mereka yang membutuhkan.

Beliau menggolongkan pemahaman ini berdasarkan motif hukum yang tidak tersurat secara langsung pada teks syariat, namun tersirat berdasarkan kesimpulan yang disampaikan oleh seorang mujtahid ketika melakukan ijtihad hukum, atau yang dikenal dengan al-‘illah al-mustanbathah.

Sehingga, sangat wajar jika terjadi perbedaan pendapat dalam masalah ini karena beragamnya sudut pandang mujtahid dalam menentukan ‘illat (motif) hukum, jika motifnya tidak disebutkan secara langsung didalam syariat.

Kalau begitu, adakah cara lain untuk tetap menyimpulkan bahwa bersedekah lebih utama dari berkurban? Kalau memang ini berangkat dari kenyataan sosial yang ada, maka tidak perlu diunggulkan satu dibandingkan dengan yang lain.

Berkurban, yang disimpulkan Ibn al-Qasim al-Ghazi didalam kitabnya Fath al-Qorib sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, bisa difungsikan sebagai media rasa syukur umat muslim atas nikmat yang beraneka ragam yang diberikan oleh-Nya, dan juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu.

Dalam sebuah hadis yang juga diriwayatkan oleh Siti Aisyah Ra:

ماعمل ابن آدم يوم النحر عملا أحب الله من اراقه دم وإنه ليؤتى يوم القيامة بقرونها واظلافها وأشعارها وإن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع على الأرض فطيبوا بها نفسا

“Tidak ada amal yang dikerjakan manusia pada hari ‘idul adha lebih Allah cintai dari berkurban, dan sesungguhnya ganjaran dari hewan yang dikurbankan itu akan datang pada hari kiamat, sebanyak tanduk, tulang, dan rambut yang ada pada hewan itu. Dan sesungguhnya Allah akan menghapus dosa-dosa sebelum darah sembelihan kurban itu jatuh dipermukaan tanah. Maka, perbaguslah dirimu dengan hewan kurban itu” (H.R. Ibnu Majah).

Sementara itu, hadis yang menyebutkan tentang fadhilah sedekah tentunya sangat banyak. Apalagi, sedekah menjadi wasilah yang paling sering dan mudah difungsikan dalam rangka pengentasan kemiskinan.

Namun, dengan menafikan menyembelih hewan kurban dengan alasan mengedepankan sedekah nampaknya perlu dicermati kembali. Kurban memiliki hari khusus dalam pelaksanaannya, dan karena ia adalah sebuah ibadah maka ia harus mengikuti syariat yang ada, berangkat dari kaidah: al-Ashlu fi al-‘Ibadati al-Iqtidha.

Barangkali, tugas umat muslim hanyalah tinggal memperbaiki sistem pendistribusian daging kurban agar benar-benar bisa diterima dan dinikmati seluruh lapisan masyarakat.

Selain itu, perlu juga adanya perbaikan sistem pemberian sedekah agar bisa difungsikan untuk pengentasan kemiskinan, hingga tidak ada yang lebih memilih menguangkan daging kurban yang diterimanya untuk mendapatkan makanan pokok, seperti beras. Wallahu A’lam.

Muhammad Masrur, Lc. Alumni PP. Darrussunnah (Ciputat).