Salah satu problematika kehidupan yang terjadi dalam masyarakat Islam adalah tentang pengawetan jenazah, karena adanya orang meninggal namun yang meninggal berada jauh dari keluarga sedangkan keluarga ingin memakamkan jenazah di kampung halaman.
Sedangkan jika jenazah tidak diawetkan, ketika dibawa pulang ke kampung halaman yang membutuhkan waktu lama, jenazah akan rusak. Apakah dalam hal ini diperbolehkan mengawetkan jenazah supaya tidak cepat rusak dan bisa dimakamkan di kampung halaman?
Mengawetkan jenazah dalam Islam diperbolehkan dan disunnahkan mengawetkan jenazah dengan memakai kapur barus atau minyak khusus untuk jenazah yang mengandung kapur barus, kayu cendana, dan minyak tumbuh-tumbuhan agar jenazah bisa bertahan lama dan tidak rusak.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Mughni al-Muhtaj juz 4 halaman 229;
(ويذر) بالمعجمة في غير المحرم (على كل واحدة) من الفائف قبل وضع الأخرى (حنوط) بفتح الحاء، ويقال له الحناط بكسرها، وهو نوع من الطيب يجعل للميت خاصة يشتمل على الكافور والصندل وذريرة القصب، قاله الأرهري. وقال غيره : هو كل طيب خلط للميت (وكافور) ونص الإمام وغيره على استحباب الإكثار منه فيه، بل قال الشافعي : ويستحب أن يطيب جميع بدنه بالكافور، لانه يقويه ويشده.
“Setiap helai kain kafan -selain kain kafannya mayat yang mati saat tengah berikhrom- diolesi hanuth (minyak khusus mayat yang mengandung kapur, kayu cendana dan minyak tumbuh-tumbuhan menurut al-Zuhri. Versi lain, hanuth adalah minyak yang diperuntukkan bagi mayat) sebelum ditumpuki lapis yang lain dan diolesi kapur. Imam Haromain dan lainnya menegaskan bahwa maksud dari mengolesi kapur adalah sunnah, dengan memperbanyak kandungan kafur dalam hanuth. Imam Syafi’i juga mengatakan disunnahkan mengolesi semua tubuh mayat dengan kapur, karena kapur bisa menjadikan tubuh mayat kuat dan bisa bertahan lama”.
Selain itu, dalam Fatawa Al-Azhar 8/46 juga membolehkan mengawetkan mayat dengan bahan kimia, asalkan dengan dosis yang sesuai untuk tujuan agar mayat tidak cepat busuk. Pengawetan jenazah dengan tujuan untuk penyelidikan dalam kasus criminal, agar dapat mengungkap bukti dari kasus yang terjadi, juga diperbolehkan dengan tujuan untuk pendidikan dan penyelidikan.
Pengawetan jenazah agar tidak rusak atau busuk, karena punya hajat tertentu sebagaimana di atas yaitu ingin memakamkan jenazah dikampung halaman. Akan tetapi letak kampung halaman yang jauh, maka pengawetan jenazah tersebut diperbolehkan karena ada hajat. Dan pengawetan tersebut tidak bisa dihindari karena layaknya perkara yang darurat, sebagaimana kaidah fikih;
الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة
Hajat atau kebutuhan itu menduduki kedudukan darurat, baik secara umum maupun khusus.
Akan tetapi Islam melarang mengawetkan mayat atau jenazah dengan tujuan bukan untuk dikuburkan, akan tetapi untuk pajangan. Sebagaimana firman Allah swt dalam Surah Abasa ayat 18-21, yang inti dari ayat tersebut adalah manusia diciptakan dari setetes mani, kemudian ditetapkan takdirnya, kemudian dimudahkan jalannya, kemudian dimatikan dan ditetapkan untuk dikuburkan.
Wallahu a’lam