Zakat fitrah adalah salah satu kewajiban umat Islam di penghujung bulan Ramadhan untuk menyambut hari raya Idul Fitri. Untuk itu, syariat Islam mewajibkan zakat sebagai ibadah sosial yang bertujuan berbagi kebahagiaan dan membantu pihak-pihak yang membutuhkan agar mereka juga merasakan manisnya hari raya.
Dalam Al-Qur’an, golongan yang berhak menerima zakat fitrah sudah ditentukan. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. At-Taubah : 60)
Namun realita di masyarakat zaman sekarang ada beberapa permasalahan zakat fitrah yang sangat memerlukan ketegasan hukum fikih, khususnya terkait pengalokasian zakat fitrah pada beberapa golongan yang berhak menerimanya. Sebab jika tidak tepat sasaran sesuai aturan maka dapat berakibat zakat fitrah yang ditunaikan menjadi tidak sah.
Salah satu permasalahan yang terus bergulir setiap menjelang akhir bulan Ramadhan adalah hukum memberikan zakat fitrah kepada tokoh agama, semisal kiai atau ustadz. Hal ini menjadi problematika ketika yang bersangkutan sudah terbilang mampu secara finansial namun masih menerima zakat fitrah yang diberikan oleh masyarakat kepadanya dengan dalih bahwa seorang tokoh agama termasuk kategori Sabilillah yang disebut Al-Qur’an sebagai pihak yang berhak menerima zakat.
Jika diteliti lebih mendalam, mayoritas ulama mengartikan kata Sabilillah hanya tertentu pada pasukan perang umat Islam yang berjihad secara sukarela serta tidak mendapatkan gaji. Syekh Zakaria Al-Anshori (wafat 926 H), salah satu ulama kenamaan dalam Syafi’i, menjelaskan dalam kitab Fath Al-Wahhab:
وَلِسَبِيْلِ اللهِ وَهُوَ غَازٍ مُتَطَوِّعًا بِالْجِهَادِ فَيُعْطَى وَلَوْ غَنِيًّا إعَانَةً لَهُ عَلَى الْغَزْوِ
“Dan (zakat) untuk Sabilillah, yaitu orang yang berperang jihad (di jalan Allah SWT) secara sukarela. Maka ia berhak diberikan zakat fitrah walau statusnya kaya. Hal ini bertujuan untuk sebagai bentuk dukungan kepadanya dalam berperang.” (Lihat: Zakaria Al-Anshori, Fath Al-Wahhab, [Beirut: Dar Al-Fikr, 1994] II/34)
Dr. Wahbah Az-Zuhaili mempertegas dalam karyanya yang berjudul Tafsir Al-Munir sebagai berikut:
وَفِي سَبِيْلِ اللّٰهِ وَهُمْ فِي رَأْيِ الْجُمْهُوْرِ الْغُزَّاةُ المُجَاهِدُوْنَ الَّذِيْنَ لَا حَقَّ لهُم فِي دِيْوَانِ الْجُنْدِ
“Dan golongan Sabilillah. Menurut mayoritas ulama mereka adalah pasukan perang jihad yang tidak memiliki bagian hak dalam buku catatan tentara.” (Lihat: Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, [Damaskus: Dar Al-Fikr Al-Mu’ashir, 1998] X/273)
Namun menurut sebagian ulama Mazhab Maliki, diperbolehkan memberikan zakat kepada para tokoh agama walaupun mereka terbilang mampu. Hal ini dilandasi karena kontribusi dan manfaat yang telah mereka berikan sangatlah besar bagi agama dan kaum muslimin. Imam Al-Kharsyi (wafat 1101 H) menguraikan permasalahan ini dengan redaksi:
يَجُوْزُ إِعْطَاءُ الزَّكَاةِ لِلْقَارِئِ وَالْعَالِمِ وَالْمُعَلِّمِ وَمَنْ فِيْهِ مَنْفَعَةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَلَوْ كَانُوْا أَغْنِيَاءَ لِعُمُوْمِ نَفْعِهِمْ وَلِبَقَاءِ الدِّيْنِ
“Boleh memberikan zakat kepada ahli qiraat, orang alim, pengajar, dan orang yang bermanfaat bagi kaum muslimin meskipun mereka terbilang mampu. Hal ini dikarenakan manfaat mereka yang bersifat umum serta dapat melestarikan agama.” (Lihat: Muhammad bin Abdullah Al-Kharsyi, Syarh Mukhtashar Khalil, [Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.] II/216)
Sekilas, pandangan ulama Mazhab Maliki ini memberikan angin segar atas legalitas tokoh agama untuk menerima zakat. Namun nyatanya, hukum di atas hanya berlaku pada zakat Mal (harta benda). Adapun zakat fitrah dalam Mazhab Maliki hanya diperuntukkan kepada fakir miskin saja, tidak yang lain. Sebagaimana ditegaskan Ibnu Rusyd (wafat 595 H) dalam karya monumentalnya yang berjudul Bidayah Al-Mujtahid berikut:
فَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ تُصْرَفُ لِفُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ
“Para ulama (Madzhab Maliki) sepakat bahwa zakat fitrah hanya diberikan pada golongan fakir umat muslim.” (Lihat: Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, [Kairo: Dar Al-Hadits, 2004] II/44)
Dengan demikian, tidak sah memberikan zakat fitrah kepada tokoh agama semisal kiai atau ustadz yang terbilang mampu secara finansial atas nama Sabilillah. Namun jika memang yang bersangkutan terbilang tidak mampu, maka boleh menerima zakat fitrah atas nama golongan fakir atau miskin.
Hal ini juga sepatutnya menjadi catatan dan acuan bagi para tokoh agama dalam mengambil langkah terkait hukum menerima zakat fitrah. Jika memang tokoh agama tersebut terbilang orang yang kurang mampu secara finansial, maka boleh baginya untuk tetap menerima zakat fitrah.
Namun jika ia terbilang mampu, maka seharusnya sudah tidak menerima zakat fitrah dan mengarahkan masyarakat untuk menyerahkan zakat fitrah kepada yang berhak. Di sisi lain, akan lebih baik lagi jika disertai memberikan edukasi akan hukum-hukum fikih yang berkaitan dengan zakat fitrah yang benar kepada masyarakat. (AN)
WaAllahu a’lam.