Puasa sunnah merupakan ibadah yang manakala dilakukan mendapatkan pahala dan meninggalkannya tak dapat apa-apa. Secara aturan, puasa sunnah jelas berbeda dengan puasa-puasa yang diwajibkan seperti, puasa Ramadhan, puasa kafarat atau puasa nadzar.
Sabda Nabi Saw. kepada Ummu Hani’ Ra. yang ketika itu dia sedang puasa kemudian membatalkannya. Beliau bersabda: “Apakah kamu akan meng-qadha’-nya?” Kemudian Ummu Hanni’ menjawab “Tidak”.
Kemudian Rasulullah menegaskan “Tidak masalah jika itu puasa sunnah”. Melalui hadis tersebut, maka puasa sunnah diperbolehkan untuk diputus atau dibatalkan.
Jumhur ulama telah menerangkan beberapa faktor keinginan seseorang memutuskan puasa. Di antaranya adalah lintasan batin. Ketika seseorang sedang beribadah puasa, terkadang terlintas berbagai macam keinginan.
Misalnya, seorang yang sedang berpuasa melewati makanan, dan seketika terlintas keinginannya untuk mencicipi makanan itu. Mengenai hal ini, Rasulullah Saw. bersbadda:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي عَمَّا وَسْوَسَتْ، أَوْ حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا، مَا لَمْ تَعْمَلْ بِهِ أَوْ تَكَلَّمْ
“Sesungguhnya Allah memaafkan was-was batin yang terjadi pada umatku atau lintasan hatinya, selama tidak diamalkan atau diucapkan.” (HR. Bukhari, Ibnu Majah, dan yang lainnya).
Oleh: Subhan Syamsuri, disarikan dari buku “Panduan Lengkap Ibadah Menurut Al-Qur’an, Al- Sunnah dan Pendapat Para Ulama” karya Muhammad Bagir.