Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum membaca al-Qur’an bagi perempuan yang haid. Perbedaan itu dikarenakan mereka berbeda pula dalam menyikapi hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum membaca al-Qur’an bagi orang yang junub dan haid.
Dalam hadis riwayat Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, Rasulullah Saw bersabda:“Wanita haid dan orang yang junub tidak boleh membaca (satu ayat pun) al-Qur’an”
Dalam hadis lain, Jabir Ra berkata “Wanita haid dan nifas, serta junub tidak boleh membaca al-Qur’an”.
Namun tidak ada satupun hadis yang shohih mengenai pelarangan tersebut. Pada hadis pertama, sumber permasalahannya berada pada “Ismail bin Ayyash”. Imam Bukhari mengatakan, riwayat dari Ismail bisa shahih, bisa pula dhaif, tergantung dari mana ia meriwayatkan.
Jika diriwayatkan dari ulama Syam maka shahih, tetapi bila dari ulama hijaz dhoif. Dalam hadis ini Ismail meriwayatkan dari Musa bin Uqbah yang merupakan ulama hijaz. Oleh karena itu hadis ini dikategorikan dhaif dan tidak bisa dijadikan sandaran.
Muhammad Mutawali as-Sya’rawi dalam kitabnya “Fiqhul Mar’ah Al-muslimah” mengatakan “Perempuan yang haid boleh mendengarkan Al-Qur’an, namun tidak boleh mambaca surat apapun. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an hanya boleh dibaca dalam keadaan suci.”
Al-Auzai juga melarang perempuan yang haid membaca Al-Qur’an, kecuali membaca ayat-ayat berupa doa. Begitu pula Ibnu Abbas yang membolehkan membaca wirid dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Adapun Imam Bukhori membolehkan perempuan yang haid untuk membaca al-Qur’an, pendapatnya disandarkan kepada hadis dari Aisyah Ra.
Suatu ketika, ‘Aisyah R.a. pergi haji bersama Nabi Muhammad Saw. Di tengah pelaksanaan haji, ‘Aisyah R.a. haid, ia pun menangis karena takut hajinya batal. Lalu Rasulullah Saw bersabda
Sesungguhnya (haid) adalah ketentuan Allah Swt untuk perempuan. Lakukanlah apa saja yang dilakukan orang berhaji, kecuali thawaf, sampai engkau bersuci.
Haji merupakan rangkaian ibadah yang dipenuhi doa dan dzikir. Rasulullah Saw. tidak melarang Aisyah untuk melakukan rangkaian haji selain thawaf. Hal ini dikarenakan thawaf hanya boleh dilaksanakan dalam keadaan suci. Oleh karena itu, Imam Bukhari memperbolehkan perempuan yang haid membaca Al-Qur’an.
Selain Imam Bukhari, ada pula beberapa ulama memperbolehkan perempuan yang haid membaca al-Qur’an, diantaranya adalah Ibnu Taimiyah, Said bin Musayyib dan Daud.
Imam Malik mengatakan, perempuan haid boleh membaca al-Qur’an, namun bagi orang yang junub tidak boleh. Hal ini dikarenakan waktu haid cukup panjang, dikhawatirkan akan mengganggu hafalan yang dimiliki.
Imam Bukhari dan beberapa ulama yang sependapat dengannya memang memperbolehkan membaca al-Qur’an bagi perempuan haid. Namun, jumhur ulama menyatakan sebaliknya, yaitu tidak boleh membaca al-Qur’an dalam keadaan haid. Dalam perkara ini, pendapat jumhur lah yang lebih kuat.
Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya “Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal” mengatakan, meskipun jumhur melarang perempuan yang haid membaca al-Qur’an, namun ia diperbolehkan membaca al-Qur’an apabila hujjahnya karena darurat, seperti dikhawatirkan hafalannya hilang atau rusak karena tidak di-takrir.
Pembolehan ini didasarkan kaidah fiqh yang berbunyi “Adh-dhoruurotu tubiihul mahdhurat” (keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang)
Wallahu a’lam bis showab